Share

4. Suami Pemarah

Derit kursi yang beradu dengan lantai menimbulkan bunyi yang mampu mengalihkan perhatian Ajeng. Wanita itu tengah menata sandwich di atas piring, menolehkan kepala melewati bahu hingga dia dapat melihat suaminya yang menarik kursi makan untuk dia duduki.

Buru-buru Ajeng menyelesaikan pekerjaannya. Mengelap pinggiran piring yang terkena noda mayonaise. Hal kecil seperti ini terkadang menjadi debat panjang lagi. Aji benar-benar tidak suka jika ada hal yang tak mengena di hatinya. Maunya dia, selalu perfect baik soal makanan atau pun segala hal. 

Dengan cekatan Ajeng membawa dua porsi menu sarapan mereka pagi ini. Lalu dengan hati-hati meletakkan piring di atas meja makan. Satu bagian untuk Aji, Ajeng sodorkan di hadapan suaminya itu. Tak lupa menyiapkan sekalian garpu dan pisau pemotong sandwich di sebelah piring milik Aji. Kopi hitam pekat tanpa gula juga sudah tersaji. Namun, rupanya Aji tak langsung menyantap makanannya, melainkan menatap tajam pada Ajeng. 

"Baju yang aku pakai ini, kapan kamu setrika?" Pertanyaan absurd yang membuat mulut Ajeng menganga. Mana dia ingat kapan dan hari apa baju itu dia setrika. Ajeng tak pernah memberi tanggal pada setiap baju yang sudah ia rapikan di dalam lemari pakaian. 

"Memangnya kenapa, sih, Mas. Aku sudah tidak ingat lagi kapan aku menyetrikanya. Lagipula, ada banyak baju yang harus aku setrika setiap harinya. Jadi maaf jika aku tak bisa mengingat satu per satu baju itu kapan aku menyetrikanya."

"Lihat baik-baik bagian lengan kanan." Aji mengangkat sedikit tangan kanannya. Ajeng pun mencoba memperhatikan, tapi tak menemukan keganjilan.

"Kenapa memangnya, Mas?"

"Astaga, Ajeng! Kamu ini kelewatan memang. Hal sekecil ini saja kamu tidak perhatian. Lihat baik-baik. Kenapa bagian lengan ini lecek? Kamu kurang rapi menyetrikanya."

Mata Ajeng membola. Ia melihat ada satu garis kusut di lengan kanan, tapi tidak kentara terlihat. 

"Ya, ampun, Mas. Itu hanya sedikit bagian. Mungkin terlipat ketika aku memasukkannya ke dalam lemari."

"Lain kali hal seperti ini harus kamu perhatikan lagi. Apa kamu tidak malu jika suamimu bertemu dengan klien dalam kondisi baju tidak rapi." 

"Iya ... iya, Mas. Aku minta maaf. Aku tak akan mengulanginya lagi."

"Sebaiknya kamu setrika ulang semua baju kerjaku yang ada di dalam lemari."

"Apa, Mas?"

"Sudah jangan mendebatku dan jangan kamu pura-pura tak mendengar apa yang barusan kukatakan. Perutku lapar. Aku ingin makan."

Ajeng menelan ludah. Ini sungguh penyiksaan namanya. Mau protes pun mana berani Ajeng lakukan. Aji tetaplah Aji yang tak mungkin bisa dia bantah lagi. 

Keduanya saling bungkam karena sibuk menyantap sarapan. Sampai beberapa menit berlalu ketika makanan di piring Aji telah bersih, pria itu beranjak berdiri.

"Jangan lupa nanti malam kita ke dokter. Dan ingat! Begitu aku pulang ... Kamu sudah harus bersiap-siap agar kita bisa langsung pergi. Malas sekali jika harus menunggumu yang selalu lama mempersiapkan diri."

Ajeng hanya mampu mengangguk. Padahal yang sebenarnya terjadi acapkali mereka akan pergi, Ajeng tak kunjung mempersiapkan dirinya sendiri karena sibuk mengurus sang suami. Entah itu mau pergi ke mana pun, Aji tak pernah mau mandiri yang apa-apa harus Ajeng layani. Alhasil, ketika Aji sudah rapi dan siap pergi, Ajeng justru masih kucel dan kumal karena belum sempat mengurus diri sendiri. Itulah salah satu hal yang selalu membuat Aji kembali mengomeli Ajeng.

Aji meninggalkan meja makan. Meskipun makanan di dalam piring Ajeng belum habis, perempuan itu tetap beranjak. Mengabaikan makanannya dan menyusul sang suami yang sudah duduk di teras. Tugas Ajeng selanjutnya adalah mengambil sepatu di dalam rak. Menyikatnya sebentar agar tak ada debu yang menempel. Selanjutnya Ajeng membawa mendekat pada Aji. Perempuan itu berjongkok untuk membantu sang suami memasang kaos kaki dan juga sepatu. Sementara Aji, pria itu sudah sibuk dengan gadget di tangan.

"Sudah, Mas." Ajeng berucap sembari beranjak berdiri. Mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan sang suami. Rutinitas acapkali Aji berangkat kerja.

Tak lupa setelahnya Aji akan mencium kening istrinya. "Buruan mandi. Kamu bau asem." Mengatakan itu sembari melangkah meninggalkan teras menuju mobil.

Ajeng hanya bisa mengerucutkan bibirnya. Merasa malu juga karena di jam segini dia belum sempat mandi. Hanya mencuci muka saja setelah bangun tidur tadi.

Lambaian tangan Ajeng mengiringi keberangkatan sang suami. Jangan harap Ajeng bisa leha-leha apalagi kembali tidur setelah Aji berangkat. Itu tak akan pernah bisa Ajeng lakukan. Ada banyak tugas yang menanti untuk segera Ajeng kerjakan.

***

Baru sekitar jam empat sore Ajeng selesai dengan kegiatan menyetrika baju milik suaminya. Rasa lelah yang mendera membuat punggungnya terasa kebas dan pegal. Padahal Ajeng belum mandi sore. Namun, karena punggungnya tak lagi dapat diajak kompromi, perempuan itu berjalan meninggalkan laundry room dan menjatuhkan diri di atas sofa ruang keluarga. Fiuh, lega rasanya ketika punggungnya menyentuh empuknya sofa. Memejamkan mata untuk sebentar saja Ajeng rasa tidak masalah. Sebelum dia kembali melanjutkan rutinitas.

Namun, siapa sangka jika Ajeng yang terlena juga terbuai akan indahnya mimpi sesaat harus dikacaukan oleh teriakan lantang sang suami.

"Ajeng! Cepat bangun! Bisa-bisanya aku pulang kamu justru tidur. Tidak sopan sekali." Teriakan juga gerutuan yang dibarengi dengan goyangan kasar pada lengan, memaksa Ajeng untuk membuka mata.

Wanita itu tergagap mendapati suaminya telah berdiri menjulang dengan tangan berkacak pinggang. Mata Aji yang melotot, memaksa Ajeng untuk gegas bangun dan menegakkan punggung. "M-maaf, Mas. Aku ketiduran," ucap Ajeng terbata, takut akan kemarahan selanjutnya yang sudah pasti diberikan Aji untuknya.

"Kau ini lama-lama jadi tidak tahu diri sebagai istri. Sesuka hati berbuat hal selagi aku bekerja dan sibuk mencari nafkah untukmu."

"Maaf, Mas. Sungguh aku tidak berniat tidur tadi. Hanya ...."

"Hanya apa! Ketiduran! Bulshit! Kau ini wanita macam apa, hah! Suami capek pulang kerja, bukannya disuguhi senyum manis dengan wajah cantik ... tapi ini kau tampak kucel dan belum mandi. Ya, Tuhan, Ajeng! Apa sih kerjaanmu di rumah sampai mandi pun tak sempat!"

Aji yang sudah diambang batas sabar, mengusap wajah frustasi. Tak tahu lagi bagaimana mendidik sang istri yang semakin hari makin susah diatur.

Dengan jari telunjuk menuding arah menuju kamar mandi, pria itu kembali berucap dengan sangat lantang. "Cepat mandi dan jangan membuatku semakin emosi. Sekarang!"

"I-iya, Mas."

Dengan langkah cepat Ajeng meninggalkan Aji untuk masuk ke dalam kamar mandi. Sementara Aji, pria itu dengan kepala berdenyut begitu saja menjatuhkan diri di atas sofa. Rasanya kepalanya hampir meledak saat ini juga. Dan itu semua karena istri yang dia anggap tak berguna.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status