Share

3. Perfeksionis

"Aku hamil, Mas!" Dengan mata berbinar Ajeng keluar dari dalam kamar mandi, mengulurkan sebuah benda pipih bernama test pack pada sang suami.

Aji yang pagi ini baru saja membuka mata, dengan kening mengernyit heran menerima apa yang istrinya berikan. Dua garis merah yang Aji lihat, itu artinya adalah Ajeng positif hamil. Karena seringnya dia meminta pada Ajeng untuk selalu melakukan tes kehamilan di pagi hari, membuat Aji sudah paham akan apa arti dari benda keramat yang sejak mereka menikah sudah tak lagi asing baginya.

Senyum Aji mengembang. Mengucek matanya berharap apa yang sedang ia lihat memang nyata. Dan yah, dua garis merah masih terlihat olehnya.

"Jadi benar kamu hamil?" tanyanya sembari mendongak menatap pada Ajeng yang berdiri di sisi ranjang. Istrinya itu menganggukkan kepala dengan senyum tak pernah lepas dari bibirnya, tanda jika sedang bahagia.

"Itu artinya aku positif hamil, Mas. Tapi ... untuk memastikannya kita harus mendatangi dokter kandungan," jelas Ajeng.

Sekian bulan menikah dan ia tak kunjung hamil juga, rasanya bagai sebuah beban. Terlebih lagi ketika mama mertuanya sudah sering mempertanyakan kapan dia hamil, semakin menambah kadar beban di pundak Ajeng. Sekarang begitu ia mendapati dua garis merah pada test pack yang ke sekian ia pakai, rasa bahagia membuncah meski dalam hati kecilnya ada ketidak yakinan sebelum ia mengunjungi dokter kandungan untuk melakukan pemeriksaan lanjutan.

"Baiklah. Nanti malam aku temani kamu pergi ke dokter."

"Siap, Mas. Nanti aku akan telepon dokternya dulu untuk mengadakan janji temu."

Begitulah dokter kandungan. Biasanya jika tidak mengadakan janji temu terlebih dulu, ditakutkan mereka akan mengantre panjang.

"Terserah kamu saja. Aku mau mandi dulu. Baru nanti aku akan memberitahu mama akan hal ini."

"Eum ... Mas. Apa tidak sebaiknya kita memberitahu mama nanti saja setelah dari dokter. Aku takut membuat Mama kecewa. Jadi kita pastikan dulu saja ke dokter kandungan baru nanti kita beritahu mama."

"Ya, kamu benar. Semoga saja kamu beneran hamil. Apalagi jika kanu hamil anak laki-laki." Aji mengatakan itu sembari beranjak turun dari atas ranjang.

Ajeng yang mendengarnya sedikit merasa terganggu akan apa yang baru saja suaminya ucapkan. Ia pun menimpali, "Laki-laki atau perempuan itu sama saja, Mas. Sama-sama anak kita."

"Tapi jika anak pertama adalah laki-laki maka dialah yang akan aku andalkan nanti untuk menjadi penerusku. Lagipula jika yang lahir pertama adalah anak laki-laki, maka dia nanti bisa menjadi pelindung yang akan menjaga dan mengayomi adik-adiknya."

Tetap saja Ajeng tidak setuju dengan persepsi demikian. Hanya saja karena dia tidak mau berdebat dengan Aji, terlebih ini masih pagi, dan euforia kebahagiaan karena kehamilannya, oleh sebab itulah Ajeng memilih membungkam mulutnya. Tak mau berdebat yang berujung pertengkaran dalam rumah tangganya. Biarlah Aji dengan statemen-nya itu. Yang jelas bagi Ajeng anak laki-laki ataupun perempuan sama saja. Toh, sama-sama lahir dari dalam rahimnya.

Suara pintu yang berdebam, menunjukkan jika Aji telah masuk ke dalam kamar mandi. Gegas Ajeng membuka lemari pakaian. Memilih baju kerja yang akan suaminya kenakan hari ini. Kemeja lengan panjang, celana panjang juga dasi yang semua memiliki warna sepadan. Setelah meletakkan di atas ranjang Ajeng menuju meja rias untuk menyiapkan arloji. Semua harus matching karena meski lelaki, Aji selalu mengutamakan penampilan. Semenjak Ajeng tak lagi bekerja, segala kebutuhan Aji, Ajeng lah yang harus menyiapkan. Dan jika apa yang telah Ajeng siapkan tak sesuai selera, tidak segan juga Aji akan protes. Begitulah Aji. Lelaki perfeksionis yang maunya selalu di mengerti. Untungnya Ajeng sudah mulai terbiasa dengan semua sikap dan sifat suaminya.

Dulu ketika mereka masih awal menikah, untuk dapat menyesuaikan diri dengan gaya hidup Aji, jujur Ajeng merasa kesusahan. Acapkali mendapat teguran, cercaan juga makian yang terkadang membuat Ajeng sakit hati. Dan itu semua tak Aji sadari.

Seperti halnya pagi ini ketika pria itu telah selesai dengan ritual mandinya. Keluar dari dalam kamar mandi hanya dengan selembar handuk menutupi bagian pinggang ke bawah. Lalu menatap pada ranjang yang hanya ada setelan baju kerjanya saja. Kepala Aji menoleh ke kiri dan ke kanan mencari keberadaan sang istri yang tidak dia temukan berada di dalam kamarnya lagi.

"Ajeng!" Dengan suara lantang, Aji memanggil istrinya. Boro-boro Aji memberikan nama panggilan sayang misalnya. Tidak pernah kata itu terlontar dari mulutnya karena bagi Aji, memanggil dengan sebutan nama itu lebih mudah dilafalkan.

Menunggu sepersekian detik, akan tetapi tak kunjung mendapat sahutan dari istrinya. Aji mulai geram. Sekali lagi pria itu berteriak. Kali ini nada suaranya ditinggikan satu oktaf.

Tuli namanya jika sampai Ajeng tak mendengar. Karena dari arah dapur pun suara itu menggema sangat kencang. Buru-buru Ajeng mencuci tangannya. Padahal dia sedang menyeduh air untuk membuat kopi sebagai peneman sarapan paginya bersama sang suami.

"Ada apa sih, Mas?" Tanpa rasa bersalah Ajeng membuka pintu kamar dengan kepala melongok ke dalam. Menatap pada Aji yang sedang berkacak pinggang.

"Celana dalamku mana? Kenapa hanya ada baju dan celana panjang saja," decak kesal Aji, merutuki Ajeng yang lagi-lagi harus melupakan perlengkapan pribadinya. Padahal setiap hari pun sama, tapi kenapa Ajeng harus melewatkan satu hal yang menjadi rutinitasnya.

"Memangnya di atas kasur itu tidak ada, Mas?" Wanita itu masuk ke dalam kamar, matanya sibuk meneliti baju suaminya yang masih teronggok di atas ranjang.

"Jika ada ... aku tak akan memanggilmu."

"Ya, Tuhan, Mas. Ini hanya masalah celana dalam yang lupa aku siapkan. Kenapa harus teriak-teriak. Padahal jika Mas mau ... Mas tinggal mengambilnya sendiri di dalam lemari."

"Jadi kamu keberatan melayaniku?"

"Bukan begitu, Mas."

Dan stop, Ajeng menghentikan ocehan yang siap ia keluarkan. Namun, karena tak mau bertengkar karena sudah dapat Ajeng pastikan jika Aji tak akan mau kalah omongan. Memilih mengalah dengan mengambilkan apa yang Aji mau. Lalu menyerahkan pada sang suami.

"Ada lagi, Mas?"

"Ikat pinggang mana?"

Ajeng mengangguk. Melenggang membuka laci tempat penyimpanan accesories.

"Kaos kaki sekalian. Lagian heran aku sama kamu. Menyiapkan begini saja kenapa tidak sekalian. Apa aku harus menunjukkan mana saja yang belum kamu siapkan."

"Maaf, Mas. Karena aku pun juga kadang bisa lupa karena banyak yang harus aku kerjakan di setiap paginya."

Aji sudah membuka mulut untuk mendebatnya, tapi karena Ajeng teringat akan rebusan air yang ia tinggalkan, wanita itu menepuk pelan dahinya. "Astaga! Aku lupa sedang merebus air tadi. Sebentar, Mas. Aku tinggal dulu."

Dan ini adalah salah satu jurus penyelamat yang sering Ajeng lakukan acapkali ingin menghentikan omelan suaminya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status