Share

Bab 3

Ketika Suamiku Berubah Pelit

Aditya mengacak rambutnya frustasi. Uang yang ia simpan nyatanya terpaksa ia gunakan untuk membayar hutang yang telah ia ambil beberapa bulan lalu. 

"Semua gara-gara kamu!" hardik Aditya keras. 

"Dasar kamu ngga bisa bantu suami! Malah nyusahin aja!" lanjut Aditya lagi. Ia berjalan ke arah lemari pakaian yang ada di depannya, lalu mengambil amplop cokelat yang kemarin ditemukan Fitri di bawah tumpukan baju. Benda itu lalu dimasukkan ke dalam saku celananya dan kemudian keluar setelah membanting pintu dengan keras. 

Beberapa langkah dari depan pintu, Aditya berhenti lantas menoleh ke arah Fitri duduk. 

"Sudah untung kamu kunafkahi rutin, tapi masih nyusahin suami aja kerjaannya! Makanya belajar cari uang sendiri!" hardik Aditya lantang dengan mata penuh kobaran amarah. 

Mendengar itu, Fitri hanya mampu menangis sambil memeluk Nisa. Gadis kecilnya itu tengah menangis karena takut dengan amukan Bapaknya. Tak henti Fitri mengusap pucuk kepala Nisa agar ia tenang, tetapi sia-sia. Gadis kecil itu tetap terisak dengan air mata bercucuran. 

Melihat kondisi Nisa dalam pelukannya membuat hati Fitri perih bak teriris sembilu. Ia tak sampai hati melihat respon Nisa atas apa yang telah diperbuat Aditya, bapaknya. Yang ia takutkan hanya satu, Nisa trauma dengan lelaki yang seharusnya menjadi cinta pertama seorang putri. 

"Sudah, Nak. Jangan bersedih lagi. Ayah sedang khilaf, nanti kalau Ayah sudah nggak marah lagi, pasti jadi baik lagi."

"Nisa takut, Bu," sahut Nisa lirih. Isakan masih mendominasi suaranya. 

Fitri kembali memeluk erat putri bungsunya. Gerakan tangannya mengusap-usap lembut punggung Nisa membuat Nisa sedikit lebih tenang, meskipun masih menangis lirih. 

"Jangan khawatir, ada Ibu di sini. Kamu jangan takut ya, Nak?"

"Nisa benci sama Ayah, Bu." Wajah Nisa semakin ia tenggelamkan ke dalam pelukan Fitri. Hal itu malah membuat Fitri kembali nelangsa. 

"Jangan benci, Nak. Ayah hanya sedang emosi. Maklum ya, Ayah sudah lelah bekerja, tapi Ibu malah tak sengaja membuatnya marah. Ibu yang salah, Nak. Maafkan Ayahmu ya?"

Nisa tak lagi menjawab. Ia hanya menikmati pelukan hangat sang Ibu yang membuatnya nyaman. Fitri pun semakin mendekap erat buah hatinya. Ia menyadari bahwa tak seharusnya anak melihat orangtuanya bertengkar. 

"Tidakkah Mas Aditya memberiku kesempatan untuk menjelaskan sebelum mengeluarkan semua amarahnya," batin Fitri dalam hati. 

Fitri pun tak bisa menutupi kesedihannya. Bulir-bulir bening itu tak lagi mampu ia tahan. Napas dalam yang sejak tadi ia hembuskan, nyatanya tak mampu membuat air mata itu berhenti mengalir. Fitri kembali kalut karena permasalahan ekonomi yang selalu menjadi pemicu amarah suaminya. 

"Nisa di kamar dulu, ya? Ibu mau ke dapur." 

Nisa menganggukkan kepalanya. Lantas ia turun dari gendongan Fitri kemudian meraih bantal dan berbaring di atasnya. Guling kesayangan menjadi pengganti tubuh Ibunya yang menghangatkan dan menenangkan. Nisa mendekap erat guling itu sambil menikmati slide demi slide kejadian yang baru saja dilihat dengan mata kepalanya sendiri. Air mata itu kembali mengalir. Kejadian yang dilihatnya bak paku yang sudah ditancapkan, sekalipun dicabut masih terlihat bekasnya. 

"Jangan main dulu ya, Nak? Ibu mau nyiapin makan siang Ayah. Tunggu sampai Ibu kembali," ujar Fitri sebelum kakinya melangkah keluar ruangan. 

Tangan Fitri sibuk menyusut air mata yang masih juga belum mampu berhenti dengan sendirinya. Ia tak mau kondisinya dilihat oleh sang Ibu. Fitri tak boleh terlihat lemah. Fitri kuat. 

Beruntung kejadian ini terjadi saat adik dan anak sulungnya sedang sekolah. Jadi Fitri tak perlu sibuk mencari alasan atas sikap Aditya yang terlampau kasar padanya. 

Namun tidak demikian dengan sang Ibu. Tanpa menjelaskan, sang ibu paham apa yang dialami putrinya. Tak banyak berkata, Bu Rohmah segera memeluk putrinya saat Fitri melintas di depan ruangan khusus yang digunakan untuk menjahit baju-baju pelanggannya. 

"Sabar ya, Nduk?" ucap Bu Rohmah saat Fitri sudah berada dalam dekapannya. Ibu yang paham akan kondisi rumah tangga putrinya semakin merasa bersalah atas apa yang terjadi hari ini. Beban yang harus dipikul Fitri sendiri membuatnya turut semangat mengerjakan baju-baju milik pelanggan agar bisa menyumbang untuk membeli kebutuhan hidup bersama-sama. 

Setelah dipeluk oleh Bu Rohmah, air mata Fitri tak henti mengalir. Ia merasa malu karena sudah membuat keributan di rumahnya karena sikapnya. Padahal ia tak tahu apapun tentang urusan suaminya. 

Aditya cenderung tertutup soal keuangan bengkel maupun pribadinya. Yang Fitri tahu, tiap bulan Aditya rutin memberinya uang belanja bulanan. Itu saja. 

"Maafin Fitri ya, Bu. Siang-siang sudah bikin keributan," ujar Fitri penuh rasa bersalah. 

"Tak apa, Nak. Dalam rumah tangga, pertengkaran itu lumrah terjadi. Asal dia tidak main tangan dan selingkuh, kamu harus tetap patuh padanya."

"Tapi Fitri lelah, Bu. Seolah Fitri hanya beban untuknya. Padahal Fitri adalah tanggung jawabanya."

"Suamimu sudah lelah mencari uang, wajar jika ia emosi akan satu hal yang tidak sesuai dengan pikirannya," jawab Bu Rohmah yang masih berusaha untuk menjadi penengah. 

"Tapi ucapannya seolah Fitri adalah beban untuknya. Fitri mau bekerja saja, Bu. Fitri mau bantu keuangan keluarga. Fitri sudah banyak mengalah, tapi masih salah di mata suami."

"Yang sabar, Nduk. Kalau mau kerja, minta izin suamimu dulu," pinta Bu Rohmah. 

"Tanpa minta izin, dari ucapannya sudah menyiratkan sebuah perintah, Bu. Percuma juga minta izin nanti dia marah lagi. Asal Ibu mau bantu Fitri jaga Nisa di rumah saja sudah membuat hati Fitri lega," jelas Fitri. 

"Terserah kamu kalau begitu. Kamu yang menjalani, kamu yang tahu mana yang terbaik buat keluargamu," jawab Bu Rohmah akhirnya. 

Fitri pun melangkah menuju dapur untuk menyiapkan makan siang buat Aditya. Meskipun hatinya marah, dongkol dan kesal, Fitri berusaha menutup semua rasa itu demi baktinya pada sang suami. 

Fitri harus mengalah untuk bertahan demi keutuhan rumah tangganya. 

Sebuah rantang makanan kembali ia bawa dengan berjalan kaki menuju bengkel suaminya. Bekas air mata yang membuat wajahnya lembab dan bengkak tak ia pedulikan. Padahal wajah itu sudah sukses membuat siapapun yang melihatnya bertanya-tanya. 

Aditya yang menyadari perubahan wajah istrinya hanya mampu memandang dengan hati yang, entahlah. Antara kesal, rasa bersalah bercampur malu. 

Aditya lalu meletakkan obeng yang ia gunakan untuk memperbaiki mesin motor pelanggannya. Lelaki seperempat abad lebih itu lantas mengikuti kaki Fitri menuju ruangan tempat ia biasa beristirahat. 

"Lelaki tadi mau menagih hutang yang masih belum jatuh tempo." Aditya berusaha menjelaskan perihal kejadian yang tadi terjadi. 

Fitri tak menjawab. Rasa kesal dan marahnya masih mendominasi perasaan dalam dirinya. 

Aditya meraih kursi yang berada di sebelah Fitri. Ia menikmati gerak lincah Fitri menyiapkan makanan untuk dirinya, sekalipun ia tahu bahwa lagi-lagi ucapannya telah menyakiti hati istrinya. 

"Nggak apa-apa. Bukannya aku selalu menjadi pelampiasan amarahmu? Apalagi soal uang. Selalu aku yang salah."

Aditya tak mampu menjawab sebab apa yang diucapkan istrinya itu adalah fakta. Bibirnya kelu hanya sekedar untuk meminta maaf pada pasangan halalnya itu. 

Bersambung🌵🌵🌵

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status