Ketika Suamiku Berubah Pelit 4
Aditya yang merasa telah melampiaskan emosinya pada sang istri kini merasa bersalah. Namun, bibirnya kelu hanya sekedar untuk meminta maaf. Susah memang jika kebiasaan meminta maaf ketika salah tidak dibiasakan sedari kecil.
Setelah makanan tertata di atas meja, Fitri kembali pulang dengan perasaan sedikit lega. Meskipun Aditya tak meminta maaf secara langsung, dari wajahnya terpancar sinar penyesalan. Bagi Fitri, meskipun tidak meminta maaf, minimal suaminya sadar jika perlakuannya itu adalah sebuah hal yang bisa menyakiti siapapun, termasuk anak kandung mereka sendiri.
Fitri berjalan dengan sedikit cepat. Bagaimanapun bayangan Nisa saat gemetar tadi membuatnya tak tega jika haru meninggalkannya sendirian dalam keadaan yang masih ketakutan.
"Nduk, buruan siap-siap, biar bisa sedikit lama di rumah budemu. Biar bisa bantu nyiapin acaranya buat malam nanti," ujar Bu Rohmah saat Fitri baru saja masuk ke rumah.
"Sekarang, Buk?"
"Ya kamu siap-siap dari sekarang. Jangan lupa kirim pesan sama Rika biar jaga rumah sama Nida." Bu Rohmah berujar sambil memasukkan gula yang baru dibelinya ke dalam tas anyaman bambu.
"Iya, Fitri mau lihat Nisa dulu," jawabnya sambil berlalu menuju kamar.
Sesampainya di kamar, dilihatnya sang putri tengah tertidur dengan bantal yang basah dibawah pipinya. Terlihat sekali bahwa bentakan Aditya menimbulkan bekas yang dalam terhadap putri bungsunya itu.
Bagaimanapun salahnya seorang pasangan, suami atau istri, tak seharusnya melampiaskan amarah di depan anak-anak. Semoga saja rasa itu tidak menjadikan Nisa trauma akan sikap sang ayah.
Fitri pun memutuskan untuk bersiap-siap lebih dulu, agar jika Nisa bangun tak perlu banyak waktu lagi untuk mempersiapkan diri.
Ketika Fitri bersiap di dalam kamar, Aditya tiba-tiba datang menghampiri Fitri. Ia membawa amplop cokelat yang tadi diambilnya dari dalam lemari. Melihat Fitri sudah berpakaian rapi, Aditya seketika memandang Fitri dengan penuh tanya.
Fitri hanya melirik. Toh ketika diminta uang untuk membeli bingkisan, ia tak peduli.
Aditya yang masih merasa bersalah berusaha mendekati istrinya yang tengah mematut diri. Hijab segi empat yang membalut wajahnya membuat penampilan Fitri kian terlihat anggun. Wahah segar natural tanpa mekap membuatnya tampak cantik alami. Hanya ada sapuan lipstik warna nude yang membuat wajah putih itu kian terpancar.
"Kamu mau kemana, Dek?" tanya Aditya ragu-ragu. Fitri memang tergolong istri yang patuh. Sekalipun menjadi sasaran amarah sang suami, ia masih bisa menjaga sikapnya di depan suami.
"Ke rumah Bude, kan aku sudah bilang kemarin?"
"Oh, jadi berangkat?" tanya Aditya lagi. Ia tengah duduk di sisi ranjang yang berada tepat di belakang kursi rias yang tengah dipakai oleh Fitri duduk.
"Iya, lah! Masak waktu lahiran Nisa, dia datang bawa bingkisan sekarang giliran dia mau punya anak, aku ngga datang? Malu, Mas!" sela Fitri tegas.
Aditya lantas berdiri sambil merogoh sesuatu dalam sakunya. Kemudian ia berjalan menghampiri Fitri sambil mengeluarkan sesuatu dalam jemarinya.
"Ini buat kamu beli bingkisan," lirih Aditya sambil mengulurkan selembar uang lima puluh ribu ke hadapan Fitri.
Fitri kaget. Tetapi ia berusaha menguasai diri. Dengan cepat ia merubah mimik wajah kagetnya menjadi sebiasa mungkin. Ia tak mau terlihat bahagia atas apa yang diberikan oleh Aditya, suaminya. Sudah terlambat. Bu Rohmah sudah membeli sesuatu untuk oleh-oleh.
Namun Fitri tak bodoh. Diraihnya uang itu dari tangan sang suami sambil berucap, "Makasih, Mas.".
Fitri bangkit dari duduknya. Ia mengambil tas selempang yang biasa digunakan ketika bepergian. Dimasukkannya uang itu ke dalam tas. Lumayan, bisa untuk tambahan jajan anak-anaknya.
Aditya yang merasa diabaikan lantas pergi setelah memandang tubuh putri bungsunya di atas ranjang. Perasaan bersalah sungguh membuat hatinya tak tenang. Bagaimana pun ini harus ditebus ketika sang putri bangun nanti.
Aditya berjalan dengan gontai menuju bengkel miliknya. Benar saja, perasaan bersalah itu membuatnya tak lagi fokus untuk menyelesaikan mesin-mesin yang telah dibongkarnya sejak kemarin.
Namun, perlahan satu persatu pelanggan datang. Mau tak mau rasa malas karena kalutnya hati harus ia singkirkan agar tak mengecewakan pelanggan.
Konsentrasi Aditya perlahan meningkat seiring dengan mesin-mesin yang memang butuh tangan dinginnya untuk diselesaikan. Banyak yang merasa cocok dengan hasil kerja Aditya, itulah mengapa bengkelnya tak sepi pelanggan meskipun terkadang hanya satu dua kendaraan yang butuh servis.
"Mas, ganti oli ya?" ujar salah seorang pelanggan setelah memarkir motornya. Lelaki muda bertubuh jangkung itu lantas menunggu di kursi tunggu yang sengaja dibuat dari keramik.
"Iya, antri ya, Mas." Aditya menjawab tanpa menoleh, sebab matanya lagi sibuk mengamati baut yang harus pas masuk ke dalam lubangnya.
Tak lagi menjawab lelaki itu duduk dengan sabar menunggu giliran.
Lagi, seorang bapak-bapak berperut buncit datang menghampiri Aditya setelah memarkir motornya.
"Mas, nambah angin ya?" ujar bapak-bapak itu seraya berjalan menuju kursi tunggu.
"Iya, Pak." Aditya lantas bangkit menuju alat kompresor untuk mengambil selangnya.
Tanpa banyak bicara lagi, Aditya mengerjakan sesuai permintaan pelanggan tersebut.
Satu persatu pelanggan mulai meninggalkan bengkel Aditya dengan perasaan lega. Senyum sumringah pun menghiasi bibir tiap pelanggan yang berlalu pergi. Senyum yang sama pun tersungging dari bibir Aditya yang menerima upah dari hasil kerja kerasnya.
Sedikit demi sedikit, uang yang tadi pagi ia gunakan untuk membayar hutang pada rentenir itu, perlahan tertutupi dengan hasil bengkel hari ini. Hati Aditya lega tetapi tidak dengan tubuhnya. Letih dan lelah mendera tubuh gagahnya saat senja mulai merayap naik.
Segera ia beberes bengkel dan membersihkan diri dari peluh dan kotoran yang menempel pada tangan dan bajunya.
Di tempat yang lain, Fitri tengah sibuk membantu menata kue dan nasi dalam kotak untuk acara malam nanti. Perasaan bersalahnya karena datang dengan tangan kosong membuatnya bekerja keras membantu sebisa yang ia mampu.
Peluh membanjiri keningnya siring dengan pekerjaan yang mulai beres.
Acara tujuh bulanan berjalan dengan lancar dan khidmat. Doa terlantun dengan khusyuk seiring dengan harapan kelancaran proses persalinannya kelak.
"Nduk, Ibu biar disini dulu. Kamu pulang sama suamimu saja," pinta Bu Rohmah pada Fitri saat acara telah usai. Aditya pun turut hadir beserta saudara lainnya di ruang tamu.
Fitri yang baru selesai menyuapi Nisa, hanya mengangguk pasrah menuruti permintaan Ibunya.
Beberapa berkat hajatan menjadi buah tangan Fitri untuk pulang ke rumah. Tak terbayang bagaimana senangnya Nida melihat banyak makanan yang ia bawa nanti ketika sampai di rumah.
Dalam perjalanan pulang, Fitri dan Nisa hanya diam. Rasa kesal masih menyelimuti hati keduanya. Terlebih Nisa yang baru bertemu dengan Ayahnya setelah kejadian tadi siang.
"Assalamu'alaikum," ucap Fitri ketika membuka pintu ruang tamu.
Sedang Aditya lebih dulu masuk menuju kamar mandi untuk membuang hajatnya.
Fitri sibuk dengan makanan yang dibawanya dari rumah bude. Makanan itu dipilah dan dipilih untuk disisihkan sesuai jenisnya agar tak basi esok hari.
"Bu, bantu ngerjain tugas sekolah, ini aku ada yang nggak paham," pinta Nida pada Fitri. Mendapati permintaan putrinya, Fitri segera meletakkan pekerjaannya. Ia segera menghampiri Nida di ruang tengah agar belajarnya segera selesai dan bisa segera istirahat.
"Bu, ayo tidur!" teriak Nisa dari dalam kamar.
Fitri yang masih sibuk dengan pelajaran putri sulungnya celingukan ke kana dan kiri mencari keberadaan sang suami.
"Mas, bantu Nisa sebentar," teriak Fitri.
"Ayo, Bu! Nisa ngantuk!" sahut Nisa dari dalam kamar.
"Sebentar, Nak. Nunggu Ayah. Ibu masih nemeni Mbak belajar," balas Fitri dengan berteriak pula.
"Mas!" panggil Fitri lagi.
"Apa sih kamu! Orang lagi capek ada aja! Aku tuh capek! Seharian nggak istirahat! Ngga bisa apa lihat orang santai sejenak!" hardik Aditya dengan tangan kanan dan kiri menekuk di pinggang. Matanya menyala penuh dengan kobaran api.
Bersambung🌵🌵🌵
Bab 13Fitri terdiam tak sanggup berkata saat tanpa aba-aba bocah kecil yang tadi pagi ditemuinya tiba-tiba memeluknya dengan erat. Tangannya memeluk kaki Fitri seakan tak ingin jauh lagi."Mama ... Hasbi kangen Mama. Hasbi mau makan kalau sama Mama," rengek Hasbi dengan tangan masih memeluk kaki Fitri erat. Ia menenggelamkan kepalanya diantara dua kaki Fitri."Nak, jangan begitu. Ini Tante Fitri, bukan Mama." Wanita paaruh baya di belakang Hasbi itu tampak sungkan pada Fitri. Ia hendak menarik badan Hasbi tapi bocah itu memeluk kaki Fitri erat. Janganka pergi, mengangkat kepalanya saja ia tak mau."Maaf ya, Nak Fitri. Ibu terpaksa ajak Hasbi ke sini, soalnya dia mogok makan takut besok kamu ngga datang," sambung wanita paruh baya itu dengan tatapan sungkan. Tangannya masih berusaha menarik badan Hasbi, tapi tak bisa.Fitri mengangguk paham. "Iya, Bu. Tidak apa-apa. Saya besok janji akan datang." Ia berusaha memaklumi. Selain butuh kerjaan, ia juga tak tega melihat Hasbi seperti itu.
Bab 12"Aku tuh nggak bisa belikan ibuku perhiasan, minimal jangan menjualnya!" Lagi Fitri menjadi sasaran amarah sang suami. "Lalu?" Fitri menyahut dengan cepat. Matanya menatap wajah lelaki di depannya dengan pandangan penuh emosi."Ya kembalikan!!" bentak Aditya lagi, tak peduli pada wajah Fitri yang sudah merah.Fitri terdiam sejenak. Ia berusaha mengatur napasnya agar bisa mengeluarkan semua beban yang mengganjal hati."Mas, aku sudah baik selama ini sama kamu tapi kamu selalu saja bentak-bentak aku!! Aku minta uang belanja tambahan kamu ngga mau kasih tapi sekarang kamu sok ngga mau ngerepotin ibumu!! Maumu apa? Aku nikah sama kamu bukannya seneng malah menderita!! Aku capek, Mas! Aku capek!" sembur Fitri yang tak lagi bisa menahan sesak di dadanya.Air mata Fitri sudah menggenang di pelupuk matanya. Ia tak sanggup lagi menahan rasa nyeri yang tiap hari bukannya sembuh tapi malah semakin dalam lukanya.Aditya bangkit dari duduknya. Matanya nyalang menatap wanita yang sedang ber
Suamiku Pelit 11Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Aditya. Tetapi ia tak sempat membukanya karena pekerjaan yang masih menumpuk, juga tangan yang masih berbalut kotoran perbengkelan. Aditya sibuk dengan pekerjaannya hari itu. Beruntung Fitri datang tepat waktu sehingga Aditya tak harus telat makan karena tak sempat melihat jam dinding. Dengan lincah Fitri menyiapkan makanan di atas meja seperti biasanya. Hingga saat ia telah selesai menyiapkan nasi dan lauk, Aditya juga telah selesai mencuci tangannya. Sebelum makan, Aditya menyempatkan diri melihat ponselnya terlebih dahulu. Ia berjalam menuju tas kecil yang ia letakkan di atas rak. Mata Aditya memicing melihat sebuah gambar yang menurutnya sedikit berlebihan. Mata itu lantas beralih ke wajah ayu di depannya yang juga tengah sibuk mengamati aktivitas Aditya. "Ada apa, Mas?" tanya Fitri tak biasa. Jarang Aditya memandang dirinya dengan tatapan yang demikian. Entah itu tatapan amarah atau tatapan cemburu. "Kamu habis dari mana?"
Ketika Suamiku Berubah Pelit 10"Kamu yakin?" tanya Bu Amiinah. Ia menatap Fitri dengan tatapan dalam setelah mengusap air matanya. "Saya sedang butuh pekerjaan, Bu. Jika berkenan saya bisa menemani Hasbi setiap hari sambil mengasuhnya," jelas Fitri lagi. Ia berusaha meyakinkan dua orang di depannya agar mau menerimanya bekerja. "Bagaimana Tsar?" tanya Bu Amiinah pada putra pertamanya. "Terserah Mama saja. Kautsar menurut saja asal Hasbi senang." Kautsar menatap Bu Amiinah pasrah. Ia sudah lelah menghadapi sikap Hasbi yang selalu merengek mencari mamanya.Kautsar mengusap wajahnya kasar. Sejenak ia menatap Fitri dalam-dalam. Ada debaran halus yang ia rasakan kala menatap perempuan sederhana di hadapannya itu. Sedetik kemudian Kautsar sadar bahwa wajah ayu yang dipandangnya itu bukan yang halal untuknya. Ia mengusap wajahnya kasar. Sedang yang dipandang masih sibuk dengan darah dagingnya. Kautsar makin tertarik kala melihat sikap Fitri yang penuh kasih sayang pada putranya itu. Ka
Ketika Suamiku Berubah Pelit 9 "Nak, itu bukan mama," sahut perempuan paruh baya dengan rambut tersanggul rapi. Tangannya berusaha melerai pelukan jagoan kecil yang sudah mendekap erat pinggang Fitri yang ramping. Namanya Amiinah. Fitri terenyuh melihat tingkah bocah cilik yang tanpa aba-aba itu. Ia pun memiliki anak yang seusia dengannya yang masih suka bermanja padanya. Fitri hanya diam sambil mengusap punggung bocah itu. Tak sampai hati ia untuk melerai tangan bocah kecil itu. "Ini Mama, Nek! Ini Mamaku!" "Bukan, Nak!" "Nggak apa-apa, Bu." Fitri mencoba mengerti. "Maafkan cucu saya ya, Mbak?" ujar perempuan itu. Matanya penuh duka. Sesekali ia menghembuskan napas dalam melihat sang cucu yang tak mau menurut padanya. Putus asa karena sudah berusaha meminta bocah itu melepas pelukannya, mata ibu paruh baya itu penuh dengan butiran air bening. Kepalanya menunduk dengan tangan sibuk menyapu air yang mulai bercucuran turun dari kelopak matanya. Fitri mencoba mengerti. Ia be
Ketika Suamiku Berubah Pelit 8"Mas Rahman?" lirih Fitri. Matanya terpaku menatap pemuda yang ada di depannya. Pemuda yang bernama Rahman itu lantas turun dari motornya dan menghampiri Fitri yang tengah terpaku. Ia mengulurkan tangannya pada Fitri. "Apa kabar?" ujarnya sambil tersenyum. Lesung pipi yang tampak ketika lelaki itu tersenyum membuat kedongkolan yang mencokol dalam hati Fitri seketika mencair. Setelah beberapa saat terpaku, Fitri lalu menerima uluran tangan Rahman sambil membalas senyuman Rahman. "Kabar baik, Mas. Kamu sendiri gimana? Eh ngapain ke situ?" jawab Fitri setelah melepas tangannya. Fitri tampak malu-malu melihat lelaki di hadapannya ini. Ia tak menyangka jika bertemu dengan pujaan hatinya semasa sekolah dulu. Dulu, waktu pulang sekolah menengah Fitri pernah terjatuh dari motor ketika hendak menaiki motornya. Kakinya berpijak pada sebuah batu lumayan besar yang membuatnya tergelincir. Kaki yang tidak bisa mengimbangi tubuhnya lantas ambruk ke atas tanah.