Ketika Suamiku Berubah Pelit 5
"Apa sih kamu! Orang lagi capek ada aja! Aku tuh capek! Seharian nggak istirahat! Ngga bisa apa lihat orang santai sejenak!" hardik Aditya dengan tangan kanan dan kiri menekuk di pinggang. Matanya menyala penuh dengan kobaran api.
Fitri terpekik kaget melihat suara suaminya dengan nada tinggi itu. Ia tercengang menatap wajah suaminya dengan hati berdebar. Ditambah lagi kini di hadapannya ada Nida yang tengah belajar. Kejadian siang tadi kembali terulang.
"Aku tuh capek! Di bengkel banyak kerjaan, terus ke rumah Budemu! Sekarang mau istirahat aja kamu nyuruh-nyuruh! Besok kamu saja yang kerja, biar tahu capeknya orang cari uang!" Lagi Aditya berujar. Tak peduli bagaimana suasana rumah, ia asal mengeluarkan emosinya.
Fitri hanya mampu menunduk dan memeluk Nida dalam dekapan. Hatinya sudah jengah melihat emosi suaminya yang selalu meledak-ledak. Nelangsa dengan uang belanja seadanya nyatanya tak hanya menjadi satu-satunya ujian dalam hidupnya. Masih ada sikap kasar suaminya, meskipun tak sampai memukul tetapi nada tinggi milik suaminya itu cukup untuk menambah luka dalam hatinya.
Aditya lantas pergi dari hadapan Fitri dan anaknya. Ia masuk ke kamar dan segera merebahkan diri. Rasa letih yang menderanya membuatnya lagi-lagi khilaf melakukan kesalahan.
Sedangkan di sisi Aditya, Nisa tengah memeluk guling sambil terisak. Ia menenggelamkan wajahnya ke bawah bantal. Air matanya mengalir menganak sungai. Lagi, ia mendengar luapan emosi ayahnya yang semakin membuatnya enggan mendekati sang ayah.
Nisa memberanikan diri untuk bangkit dari posisinya. Ia berjalan berjinjit untuk melewati tubuh gagah ayahnya yang tengah berbaring sambil tangannya mengusap sisa air mata. Nisa malas melihat ayahnya. Nisa kesal karena tiap kali emosi, selalu ibunya yang menjadi pelampiasan amarah sang bapak.
Fitri melihat Nisa tengah berjalan menuju arahnya duduk. Ia lantas bangkit dan segera menggendong tubuh putrinya. Terbayang bagaimana isakan Nisa saat kejadian tadi siang, ditambah dengan kejadian malam ini. Hati Fitri terluka melihat kondisi sang anak.
Nida segera membereskan buku-buku pelajarannya. Suasana rumah sedang tidak enak membuatnya malas melanjutkan kegiatan belajarnya.
"Sudah, Mbak, kamu bereskan bukunya terus cuci kaki dan tangan lalu tidur." Fitri berucap pada Nida yang dijawab anggukan cepat.
"Jangan menangis lagi ya, Nak? Maafkan ayah," ujar Fitri sambil mengusap kepala Nisa.
"Ayah jahat, Ibu!" pekik Nisa sedikit keras. Sengaja. Agar sang ayah mendengar.
Tak lagi menghiraukan ucapan Nisa, Fitri segera bangkit menggendong sang putri kembali berjalan menuju kamar.
"Yuk tidur sama Ibu," ajak Fitri lagi. Nisa malah semakin mengeratkan pelukannya. Ia kembali meraung dalam dekapan ibunya.
"Nisa kenapa?"
"Ngga mau tidur sama ayah!" rengek Nisa.
"Nggak apa-apa, Nak. Ayah sudah tidur, nggak akan marah-marah lagi," papar Fitri meyakinkan. Namun rasa takut sudah terlanjur membebat hati Nisa untuk sang ayah.
Fitri kembali mengusap punggung Nisa dalam posisi berdirinya. Ia tak lagi berani memaksa sang putri untuk tetap tidur bersama ayahnya.
Di sudut hati Aditya, ada yang terasa nyeri. Lagi-lagi penyesalan dalam dirinya timbul setelah beberapa saat tadi tenggelam karena amarah. Lagi-lagi luapan emosinya menjadi momok bagi sang anak. Lagi-lagi ia khilaf menyombongkan diri dihadapan istri yang seharusnya dihormati dan dihargai dengan penuh kasih.
Aditya bangkit. Ia berdiri dari tidurnya dan beranjak pergi. Ia sengaja memberi ruang pada istri dan anaknya untuk istirahat. Sebagai bentuk kasih ... ah kasih, apa pantas ini disebut sebagai bentuk kasih setelah bentakan yang terlontar dari bibirnya?
Fitri hanya diam saat melihat sikap suaminya. Sedikit demi sedikit luka yang ia dapat, lama-lama menjadi bukit nelangsa yang harus diterimanya. Masihkah ia mampu untuk berbakti pada suaminya meskipun kerap menjadi sasaran emosi sang pasangan hidup?
"Ayah sudah pergi, Nisa sekarang tidur di kamar ya?" tanya Fitri lembut. Perlahan kepala Nisa mendongak, lalu celingukan mencari sesuatu.
Setelah tak menemukan apa yang ia cari, Nisa kemudian menganggukkan kepalanya. Ia lantas meminta turun dari dekapan ibunya dan berjalan menuju ranjang tidur miliknya.
Nisa berbaring sambil terisak, membuat Fitri semakin tak tega melihatnya. Ia rela memendam lara seorang diri, tetapi tidak dengan buah hatinya.
"Sungguh tega kamu, Mas," batin Fitri bermonolog.
Serpihan kaca berdesakan memenuhi ruang yang tersisa dalam kelopak mata indah milik Fitri. Hembusan napas dalam dan tenang selalu ia upayakan agar serpihan itu tak berlomba berubah menjadi butiran air mata. Bagaimana pun kesedihan yang ia rasakan, tak pantas dilihat oleh mata kepala putrinya sendiri.
Tubuh yang lelah membuat Fitri turut terlelap dalam buaian ranjang kapuk miliknya. Kebaikan yang mencoba ia balas dengan kebaikan pula membuatnya rela bekerja keras membantu keperluan hajatan di rumah Fisa. Namun, sang suami tak pernah paham akan apa yang sedang dilakukan istrinya.
Di ruangan sebelah, Aditya pun terlelap di atas sofa empuk yang bertengger di sudut ruang tamu milik mertuanya. Ia yang merasa dirinya benar, tak lagi turut merasa bersalah. Baginya, seorang suami, sebagai kepala keluarga ketika sudah lelah dengan urusan nafkah tak harus dibebani dengan urusan domestik rumah tangga.
Aditya segera memejamkan mata. Ia tak lagi kuasa menahan kelopak matanya untuk tetap terjaga. Biarlah ia tidur di sofa ruang tamu, yang penting tubuhnya segera mendapat tempat untuk beristirahat.
Esok paginya, Fitri bangun lebih awal. Ia turut membantu Bu Rohmah memasak sambil menyalakan mesin cuci. Sementara Nisa sudah duduk manis di halaman belakang menunggui Ibu dan neneknya memasak sambil ia bermain boneka. Sesekali Fitri mengajak bicara Nisa agar ia kembali ceria seperti kemarin. Bentakan sang ayah nyatanya menimbulkan bekas dalam dirinya.
"Mbok ya suamimu di kasih tahu, kalau marah itu jangan di depan anak-anak!" ujar Bu Rohmah sambil matanya fokus ke penggorengan. Tangannya sibuk membalik ikan mujair yang telah matang.
"Semalam Nida nangis sama Ibu! Takut sama Bapaknya! Ibu jadi nggak tega lihat dua anakmu diperlakukan kasar begitu!" lanjutnya lagi.
"Iya, nanti, Bu. Kalau lagi ada sela waktu. Ibu tahu sendiri gimana kerasnya Mas Aditya," lirih Fitri. Ia takut jika pembicaraannya terdengar oleh suaminya atau anaknya.
"Marah ya marah, tapi ya kudu kontrol. Ibu dengarkan lama-lama makin ngga karuan kalau marah," sambung Bu Rohmah lagi. Ia meletakkan sudip di atas wajan dengan posisi tertelungkup.
Fitri mendengar omelan Bu Rohmah sambil mengurut dada. Sebab ia sendiri pun kesal dengan sikap suaminya itu. Setiap kali bertengkar Fitri masih berusaha menutupi kejadian sesungguhnya di depan Ibunya, tetapi kali ini ia tak bisa berbuat apa-apa. Sebab kejadiannya didengar oleh telinga Bu Rohmah sendiri.
"Laki-laki itu dilihat ketika marah, Nduk! Kalau lagi marah saja dia bisa menahan untuk tidak berkata kasar, apalagi ketika tidak marah, dia pasti memperlakukanmu dengan baik. Tapi kalau lagi marah sudah membentak-bentak kamu seperti itu, bagaimana dengan kesehariannya? Ibu rasa kamu bisa menilai sendiri bagaimana suamimu memperlakukanmu."
Bersambung🌵🌵🌵
Bab 13Fitri terdiam tak sanggup berkata saat tanpa aba-aba bocah kecil yang tadi pagi ditemuinya tiba-tiba memeluknya dengan erat. Tangannya memeluk kaki Fitri seakan tak ingin jauh lagi."Mama ... Hasbi kangen Mama. Hasbi mau makan kalau sama Mama," rengek Hasbi dengan tangan masih memeluk kaki Fitri erat. Ia menenggelamkan kepalanya diantara dua kaki Fitri."Nak, jangan begitu. Ini Tante Fitri, bukan Mama." Wanita paaruh baya di belakang Hasbi itu tampak sungkan pada Fitri. Ia hendak menarik badan Hasbi tapi bocah itu memeluk kaki Fitri erat. Janganka pergi, mengangkat kepalanya saja ia tak mau."Maaf ya, Nak Fitri. Ibu terpaksa ajak Hasbi ke sini, soalnya dia mogok makan takut besok kamu ngga datang," sambung wanita paruh baya itu dengan tatapan sungkan. Tangannya masih berusaha menarik badan Hasbi, tapi tak bisa.Fitri mengangguk paham. "Iya, Bu. Tidak apa-apa. Saya besok janji akan datang." Ia berusaha memaklumi. Selain butuh kerjaan, ia juga tak tega melihat Hasbi seperti itu.
Bab 12"Aku tuh nggak bisa belikan ibuku perhiasan, minimal jangan menjualnya!" Lagi Fitri menjadi sasaran amarah sang suami. "Lalu?" Fitri menyahut dengan cepat. Matanya menatap wajah lelaki di depannya dengan pandangan penuh emosi."Ya kembalikan!!" bentak Aditya lagi, tak peduli pada wajah Fitri yang sudah merah.Fitri terdiam sejenak. Ia berusaha mengatur napasnya agar bisa mengeluarkan semua beban yang mengganjal hati."Mas, aku sudah baik selama ini sama kamu tapi kamu selalu saja bentak-bentak aku!! Aku minta uang belanja tambahan kamu ngga mau kasih tapi sekarang kamu sok ngga mau ngerepotin ibumu!! Maumu apa? Aku nikah sama kamu bukannya seneng malah menderita!! Aku capek, Mas! Aku capek!" sembur Fitri yang tak lagi bisa menahan sesak di dadanya.Air mata Fitri sudah menggenang di pelupuk matanya. Ia tak sanggup lagi menahan rasa nyeri yang tiap hari bukannya sembuh tapi malah semakin dalam lukanya.Aditya bangkit dari duduknya. Matanya nyalang menatap wanita yang sedang ber
Suamiku Pelit 11Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Aditya. Tetapi ia tak sempat membukanya karena pekerjaan yang masih menumpuk, juga tangan yang masih berbalut kotoran perbengkelan. Aditya sibuk dengan pekerjaannya hari itu. Beruntung Fitri datang tepat waktu sehingga Aditya tak harus telat makan karena tak sempat melihat jam dinding. Dengan lincah Fitri menyiapkan makanan di atas meja seperti biasanya. Hingga saat ia telah selesai menyiapkan nasi dan lauk, Aditya juga telah selesai mencuci tangannya. Sebelum makan, Aditya menyempatkan diri melihat ponselnya terlebih dahulu. Ia berjalam menuju tas kecil yang ia letakkan di atas rak. Mata Aditya memicing melihat sebuah gambar yang menurutnya sedikit berlebihan. Mata itu lantas beralih ke wajah ayu di depannya yang juga tengah sibuk mengamati aktivitas Aditya. "Ada apa, Mas?" tanya Fitri tak biasa. Jarang Aditya memandang dirinya dengan tatapan yang demikian. Entah itu tatapan amarah atau tatapan cemburu. "Kamu habis dari mana?"
Ketika Suamiku Berubah Pelit 10"Kamu yakin?" tanya Bu Amiinah. Ia menatap Fitri dengan tatapan dalam setelah mengusap air matanya. "Saya sedang butuh pekerjaan, Bu. Jika berkenan saya bisa menemani Hasbi setiap hari sambil mengasuhnya," jelas Fitri lagi. Ia berusaha meyakinkan dua orang di depannya agar mau menerimanya bekerja. "Bagaimana Tsar?" tanya Bu Amiinah pada putra pertamanya. "Terserah Mama saja. Kautsar menurut saja asal Hasbi senang." Kautsar menatap Bu Amiinah pasrah. Ia sudah lelah menghadapi sikap Hasbi yang selalu merengek mencari mamanya.Kautsar mengusap wajahnya kasar. Sejenak ia menatap Fitri dalam-dalam. Ada debaran halus yang ia rasakan kala menatap perempuan sederhana di hadapannya itu. Sedetik kemudian Kautsar sadar bahwa wajah ayu yang dipandangnya itu bukan yang halal untuknya. Ia mengusap wajahnya kasar. Sedang yang dipandang masih sibuk dengan darah dagingnya. Kautsar makin tertarik kala melihat sikap Fitri yang penuh kasih sayang pada putranya itu. Ka
Ketika Suamiku Berubah Pelit 9 "Nak, itu bukan mama," sahut perempuan paruh baya dengan rambut tersanggul rapi. Tangannya berusaha melerai pelukan jagoan kecil yang sudah mendekap erat pinggang Fitri yang ramping. Namanya Amiinah. Fitri terenyuh melihat tingkah bocah cilik yang tanpa aba-aba itu. Ia pun memiliki anak yang seusia dengannya yang masih suka bermanja padanya. Fitri hanya diam sambil mengusap punggung bocah itu. Tak sampai hati ia untuk melerai tangan bocah kecil itu. "Ini Mama, Nek! Ini Mamaku!" "Bukan, Nak!" "Nggak apa-apa, Bu." Fitri mencoba mengerti. "Maafkan cucu saya ya, Mbak?" ujar perempuan itu. Matanya penuh duka. Sesekali ia menghembuskan napas dalam melihat sang cucu yang tak mau menurut padanya. Putus asa karena sudah berusaha meminta bocah itu melepas pelukannya, mata ibu paruh baya itu penuh dengan butiran air bening. Kepalanya menunduk dengan tangan sibuk menyapu air yang mulai bercucuran turun dari kelopak matanya. Fitri mencoba mengerti. Ia be
Ketika Suamiku Berubah Pelit 8"Mas Rahman?" lirih Fitri. Matanya terpaku menatap pemuda yang ada di depannya. Pemuda yang bernama Rahman itu lantas turun dari motornya dan menghampiri Fitri yang tengah terpaku. Ia mengulurkan tangannya pada Fitri. "Apa kabar?" ujarnya sambil tersenyum. Lesung pipi yang tampak ketika lelaki itu tersenyum membuat kedongkolan yang mencokol dalam hati Fitri seketika mencair. Setelah beberapa saat terpaku, Fitri lalu menerima uluran tangan Rahman sambil membalas senyuman Rahman. "Kabar baik, Mas. Kamu sendiri gimana? Eh ngapain ke situ?" jawab Fitri setelah melepas tangannya. Fitri tampak malu-malu melihat lelaki di hadapannya ini. Ia tak menyangka jika bertemu dengan pujaan hatinya semasa sekolah dulu. Dulu, waktu pulang sekolah menengah Fitri pernah terjatuh dari motor ketika hendak menaiki motornya. Kakinya berpijak pada sebuah batu lumayan besar yang membuatnya tergelincir. Kaki yang tidak bisa mengimbangi tubuhnya lantas ambruk ke atas tanah.