Share

Bab 6

Ketika Suamiku Berubah Pelit 6

Kepala Fitri terasa pening memikirkan apa yang telah diucapkan oleh Bu Rohmah. Pasalnya memang benar jika perlakuan Aditya pada dirinya terbilang kurang baik. Sedikit demi sedikit tabir mulai tersingkap untuk mengungkapkan bagaimana karakter Aditya yang sesungguhnya.

Apalagi semenjak Nisa lahir. Waktu Fitri yang harus terbagi untuk mengurus kedua buah hatinya membuatnya tak sempat lagi memperhatikan suaminya. Bagi Fitri, sudah bisa menyajikan makanan setiap hari dan mengantarkannya ke bengkel saja sudah cukup.

Namun itu tak membuat Aditya peduli terhadap istrinya. Ia hanya membantu bila ingin. Bila tak ingin maka Fitri sendiri yang akan mengerjakannya. Meskipun terkadang badannya terasa letih. Demi kedua buah hatinya, Fitri dengan ikhlas mengerjakan semuanya sendiri.

Bu Rohman juga tahu jika semua manusia pasti ada salahnya dan kurangnya, tapi baginya kesalahan itu cukup untuk dijadikan pelajaran, bukan untuk diulangi.

Melihat apa yang dilakukan Aditya, menurut Bu Rohmah itu bukan hal yang wajar. Kemarahan yang diulang-ulang, apalagi di depan anak adalah bukan hal yang baik. Setiap manusia harus punya rem untuk mengendalikan apa yang ada dalam pikirannya dan lisannya. Dan itu bisa di dapat dari pendekatan kepada Tuhan yang rutin dilakukan setiap hari. Salat.

Bu Rohmah mulai jengah mengingatkan Fitri untuk Aditya agar memperbaiki solatnya, namun nihil. Aditya selalu abai. Bahkan jika Fitri terlalu keras mengingatkan, tak jarang malah terjadi perselisihan yang berujung pertengkaran.

"Kamu harus bisa ambil hati suamimu, biar dia berubah jadi lebih baik." Bu Rohmah kembali bersuara. Meskipun ada sedikit rasa kesal, Bu Rohmah tak henti menasehati Fitri.

"Fitri akan coba, Bu. Semoga saja nanti membuahkan hasil. Sebab seringkali Fitri ingatkan tetapi selalu diulang-ulang. Ibu tahu sendiri kan? Apalagi kalau marah seperti itu," ujar Fitri sambil menoleh pada Ibunya yang tengah berdiri. Mata Fitri menatap mata Bu Rohmah dengan ragu. Takut jika sikap suaminya malah membuat sang ibu tak suka.

Ketika keduanya sedang asik berbincang, di luar terdengar suara wanita berucap salam. Fitri pun bergegas keluar untuk melihat siapa yang datang. Diletakkannya pisau dan wortel yang tengah dikupas dengan asal. Ia tak mau tamunya menunggu terlalu lama, apalagi Fitri ingat ada suami yang sedang beristirahat di ruang tamu.

"Waalaikumsalam," sahut Fitri lirih. Ia melirik ke arah sofa di mana suaminya masih berbaring dengan takut. Ia lalu membuka kunci perlahan.

"Ibu," sapa Fitri. Ia segera mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan mertuanya. Kemudian Fitri membuka pintu lebar-lebar untuk memberi ruang pada mertuanya masuk.

Mata Bu Siti membelalak ketika melihat tubuh sang putra meringnkuk di atas sofa ruang tamu dengan berselimut tebal. Dengan satu bantal dan tangan bersedekap, Aditya menikmati tidurnya. Tubuh letihnya semalam membuatnya nyaman-nyaman saja tidur di mana pun asal punggungnya mendapat tempat untuk berbaring.

"Aditya kenapa tidur di luar?" pekik Bu Siti. Matanya menatap wajah Fitri seakan menuntut jawaban yang melegakan.

Fitri takut-takut menjawab pertanyaan mertuanya itu. Bagaimana tidak, Bu Siti adalah orang yang paling tegas bila anak atau keluarganya tidak diperlakukan semestinya.

"Semalam, Nisa rewel, Bu," jelasnya pelan. Fitri takut suaranya akan membangunkan sang suami yang bisa saja menambah kadar emosi dalam diri Aditya.

"Kok bisa anak rewel suami yang tidur di luar! Kamu nggak kasihan sama suamimu? Sudah lelah kerja nafkahi kamu malah kamu suruh tidur di luar begitu! Kalau sakit gimana?" cecar Bu Siti lagi.

"Maaf, Bu. Biar saya bangunkan Mas Aditya supaya pindah ke kamar," lirih Fitri dengan jemari memainkan ujung baju. Rasa takut menjalari tubuh Fitri mana kala ia mencoba mendekati sang suami. Ia takut jika dibangunkan secara paksa, amarahnya kembali meledak seperti kemarin. Sedangkan Bu Siti memandang sikap Fitri dengan kening berkerut.

Fitri lantas mendekati tubuh Aditya yang masih meringkuk. Ia berjongkok hingga tinggi badannya sejajar dengan kepala Aditya. Perlahan tangan Fitri mengusap lengan Aditya dengan lembut dan takut-takut.

"Mas, bangun. Pindah ke kamar yuk!" ajak Fitri lirih.

Sekali usapan, tubuh Aditya tak merespon. Hingga tiga kali usapan mata itu mulai mengerjap pelan dan terus buka.

Kening Aditya bertaut mana kala melihat sang Ibu tengah berdiri di atas kepalanya.

"Ibu?" seru Aditya. Tubuhnya reflek bangkit dari tidurnya. Ia kemudian meraih tangan sang Ibu untuk diciumnya. Kemudian menggeser duduknya untuk memberi ruang pada Bu Siti untuk duduk.

Fitri berdiri. Ia memberi ruang pada Bu Siti untuk berbicara pada putranya.

"Duduk, Bu," ujar Aditya. Bu Siti lantas duduk tepat di sebelah Aditya sedangkan Fitri masuk untuk menyiapkan secangkir teh hangat untuk mertuanya.

"Tumben pagi-pagi kemari, Bu?" tanya Aditya heran. Sebab tak biasanya Bu Siti berkunjung sepagi ini.

"Ibu bawa sarapan buat kamu, sekalian mau ada perlu." Bu Siti meletakkan bungkusan yang dibawa dengan tangan yang lainnya. Diletakkannya bungkusan itu di atas meja ruang tamu. Ia lantas kembali mencari posisi terenak untuk bicara pada putranya.

"Perlu apa, Bu?" Aditya bertanya lagi. Tangannya sibuk mengusap muka juga rambutnya yang kusut karena gesekan bantal.

"Rumah Ibu rasanya sudah tak nyaman. Semalam hujan, rumah Ibu banyak kebocoran. Ibu minta tolong buat kamu renovasi atap rumah," ujar Bu Siti sendu. Nada suaranya dibuat semelas mungkin agar putranya iba.

Di sudut ruangan sebelah ada Fitri yang tengah mendengar permintaan mertuanya kepada suaminya. Hati Fitri berdebar menunggu jawaban sang suami. Teh hangat di atas nampan yang dibawanya terpaksa urung ia bawa ke depan, menunggu sang suami menyampaikan jawabannya.

Bersambung🌵🌵🌵

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status