Home / Romansa / Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku / Bab 9 – Cap ‘Cari Muka’

Share

Bab 9 – Cap ‘Cari Muka’

last update Huling Na-update: 2025-09-02 15:09:45

Suasana kantor belum juga tenang sejak gosip tentang kedekatanku dengan Rayyan merebak. Sudah hampir dua minggu aku menahan diri, berusaha membuktikan dengan kerja keras bahwa semua itu tidak benar. Tapi ternyata, semakin aku berusaha, semakin gosip itu mencari jalannya untuk berkembang.

Dan pagi ini, gosip itu seperti dilemparkan tepat ke wajahku.

---

“Aisyah, ikut saya ke ruangan,” suara Rayyan terdengar di balik meja.

Aku menghela napas, mencoba menetralkan ekspresi. Kali ini aku sudah bersiap agar tidak tampak ‘spesial’ ketika dipanggil. Tetap saja, aku bisa merasakan tatapan menusuk dari kanan-kiri.

Di ruangannya, Rayyan menyerahkan map tebal berisi dokumen.

“Ini proyek klien baru. Saya ingin kamu yang memimpin tim penyusunan proposal awal.”

Aku mengerutkan kening. “Saya, Pak? Bukannya biasanya hal seperti ini ditangani oleh staf senior?”

Rayyan menatapku lekat, lalu berkata datar, “Saya butuh orang yang bisa berpikir cepat, detail, dan mampu bekerja di bawah tekanan. Kamu sudah membuktikan itu.”

Aku membuka-buka map itu dengan tangan bergetar. Proyek ini besar. Kalau berhasil, nama perusahaanku pasti melambung. Tapi di saat yang sama, aku bisa membayangkan apa yang akan terjadi begitu rekan-rekan kerjaku tahu aku yang memimpin.

“Pak… dengan segala hormat, apakah tidak akan menimbulkan… salah paham lagi kalau saya yang memimpin proyek ini?” tanyaku hati-hati.

Rayyan menyandarkan diri di kursinya, menautkan jari-jari. “Kamu mau menolak kesempatan emas hanya karena takut pada gosip?”

Aku tercekat. Tatapannya menusuk, dingin, tapi ada tantangan di baliknya.

“…Baiklah,” jawabku akhirnya, suara nyaris berbisik.

---

Sore itu, ketika pengumuman resmi dikeluarkan bahwa aku ditunjuk sebagai koordinator proposal, kantor seperti mendidih.

“Serius? Staf baru langsung dapat proyek besar? Ini keterlaluan.”

“Udah jelas kan, pasti ada ‘perlakuan khusus’ dari atas.”

“Halah, rajin banget sih senyum-senyum di depan bos. Pantas aja.”

Bisikan itu menusuk telingaku meski mereka mencoba menutupi dengan tawa.

Aku menahan napas panjang, berusaha fokus pada tugas. Tapi saat aku melangkah ke pantry, dua staf perempuan menatapku dari ujung kepala sampai kaki, lalu mendengus.

“Cari muka aja terus. Lihat aja nanti kalau gagal.”

Aku berhenti sejenak, ingin sekali menegur, tapi lidahku kelu. Rasanya seperti ditampar tanpa bisa membalas.

---

Malam itu aku pulang lebih larut dari biasanya. Hana menemaniku sampai halte. Di wajahnya tampak jelas kekhawatiran.

“Sya… kamu nggak apa-apa? Aku dengar tadi siang ada yang nyeletuk nggak enak.”

Aku menghela napas berat. “Nggak apa-apa, Han. Aku cuma… muak.”

“Muak gimana?”

Aku berhenti melangkah, menatap lampu jalan yang temaram. Suaraku pecah.

“Muak dianggap cari muka! Muak seolah-olah semua kerja keras aku itu cuma karena aku dekat sama Pak Rayyan! Padahal aku bahkan… aku bahkan nggak dekat sama dia! Aku cuma karyawan biasa yang berusaha sebaik mungkin. Kenapa semua orang nggak bisa lihat itu?”

Hana terdiam, lalu menepuk pundakku. “Aku tahu, Sya. Aku yang lihat sendiri bagaimana kamu kerja keras. Kalau orang lain nggak mau percaya, itu masalah mereka, bukan kamu.”

Air mataku menggenang. Aku berusaha menahannya, tapi akhirnya menetes juga.

“Kenapa sih aku harus jadi sasaran? Aku cuma ingin bekerja dengan tenang.”

Hana merangkul bahuku. “Kadang orang paling kuat diuji dengan gosip paling kejam. Tapi kamu jangan kalah, ya.”

---

Keesokan paginya, aku memberanikan diri mengetuk pintu ruangan Rayyan. Ia sedang menatap layar laptop, tapi mengangkat wajah begitu aku masuk.

“Ada apa?” tanyanya datar.

Aku menarik napas panjang, menahan gejolak dalam dada. “Pak, saya ingin bicara soal proyek ini.”

“Kenapa? Ada masalah?”

Aku menggenggam tangan di pangkuan, menahan emosi. “Masalahnya bukan di proyek, tapi di kantor. Semua orang menganggap saya dapat posisi ini karena ‘kedekatan’ dengan Anda. Mereka bilang saya cari muka.”

Alis Rayyan terangkat sedikit. “Dan kamu peduli?”

“Tentu saja saya peduli!” suaraku meninggi tanpa bisa ditahan. “Reputasi saya dipertaruhkan, Pak. Saya kerja keras bukan untuk dapat cap buruk seperti itu.”

Rayyan menatapku lama, matanya tajam tapi suaranya tetap tenang. “Aisyah, kamu harus belajar memilah mana yang penting dan mana yang tidak. Kalau kamu benar-benar yakin dengan kemampuanmu, buktikan dengan hasil. Biar mereka diam sendiri.”

Aku menggertakkan gigi. “Mudah bagi Anda bilang begitu. Anda tidak pernah dipandang rendah seperti saya. Anda tidak pernah dicap cari muka hanya karena atasan Anda memberi kepercayaan.”

Ada keheningan panjang. Untuk pertama kalinya, Rayyan terlihat kehilangan kata-kata. Ia menatapku, dan aku bisa melihat kilatan sesuatu 'mungkin pengakuan' di matanya.

“Aisyah,” katanya pelan, “saya memberi proyek ini bukan karena kasihan, apalagi karena gosip. Saya percaya kamu mampu. Itu saja.”

Dadaku berdegup keras mendengar kata-katanya. Tapi amarahku masih terlalu besar untuk luluh.

“Saya akan buktikan, Pak. Tapi jangan salahkan saya kalau suatu hari saya benar-benar menyerah karena hal yang tidak logis ini, permisi” ucapku sebelum berbalik meninggalkan ruangan.

---

Di meja kerjaku, aku menatap map proyek itu lama sekali. Tanganku masih gemetar, tapi kali ini bukan karena takut, melainkan karena tekad.

Baiklah. Kalau mereka ingin melihat aku jatuh, aku akan buktikan justru sebaliknya. Aku akan berdiri, membuktikan kalau aku tidak butuh ‘kedekatan’ dengan siapa pun untuk meraih hasil.

Dan entah kenapa, meski marah, kata-kata Rayyan terus terngiang: “Saya percaya kamu mampu.”

Aku menutup mata sejenak. Rasanya getir, tapi di balik semua gosip, ada sesuatu yang membuatku ingin berjuang lebih keras lagi.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku     Bab 52 - Antara Profesionalisme dan Perasaan

    Siang itu, Hana datang menghampiri mejanya dengan senyum usil.“Aku lihat Pak Rayyan tadi puji kamu lagi di depan tim. Kamu nggak deg-degan?” godanya.Aisyah pura-pura sibuk merapikan kertas. “Itu biasa aja, Han. Pujian kerja, bukan yang lain.”Hana mendekat, berbisik, “Kamu masih nggak sadar juga? Cara dia lihat kamu beda, Sya. Dia mungkin nggak ngomong, tapi aku yakin dia peduli lebih dari sekadar atasan ke bawahan.”Aisyah menghela napas. “Justru itu masalahnya. Dia nggak pernah ngomong. Kalau semua ini cuma aku yang salah paham, aku bisa kewalahan, Han. Dan aku nggak bisa ambil risiko itu.”Hana menepuk tangannya lembut. “Terus kalau Farid?”Pertanyaan itu membuat Aisyah terdiam lama. “Farid… baik. Dia jelas sama perasaannya. Tapi aku nggak tahu, Han. Aku nggak ngerasa deg-degan kayak… kayak kalau sama Pak Rayyan.” suaranya hampir tidak terdengar di akhir kalimat. Ini pertama kalinya ia mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya kepada orang lain.Hana tersenyum miris. “Kadang yang

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 51 - Strategi Berlapis

    Rayyan duduk di ruang kerjanya malam itu, hanya ditemani lampu meja dan layar laptop yang menyorot berkas-berkas proyek Dubai. Matanya menelusuri angka-angka, grafik, dan catatan rapat, tapi pikirannya sama sekali tidak tenang. Bayangan pertemuannya dengan Farid di kafe terus kembali. Senyum ramah pria itu, kalimat-kalimatnya yang terdengar tulus, seolah menggema di kepalanya. “Saya ingin ada di sisinya. Agar dia tidak merasa sendirian.” Kata-kata itu membuat Rayyan menggenggam erat pulpen di tangannya. Bukan marah—lebih kepada rasa tidak rela yang sulit ia definisikan. Merasa tidak mampu memberikan yang serupa. Ia tahu, kali ini, ia tidak hanya menghadapi kompetitor bisnis, tapi juga kompetitor hati. Dan yang membuatnya semakin sulit: kompetitor ini tidak bisa ia kalahkan dengan angka, kontrak, atau hukum. Rayyan menarik napas panjang, bersandar di kursinya. Ia harus berpikir elegan. Bukan frontal, bukan dengan kekuasaan yang bisa membuat Aisyah merasa terkekang. “Aku harus men

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 50 - Langkah untuk Rival

    Rayyan pagi itu terlihat lebih serius dari biasanya. Wajahnya tegang, suaranya dingin ketika memberi instruksi.“Aisyah, laporan progress terakhir sudah kamu siapkan?”“Sudah, Pak.” Aisyah menyerahkan berkas dengan hati-hati.Rayyan menerimanya tanpa banyak bicara, tapi tatapannya singgah lebih lama dari biasanya. Ada sesuatu di balik mata itu—campuran antara ingin bicara, tapi menahan diri.Aisyah merasa tidak nyaman. Ia bisa menebak, mungkin Rayyan melihat dirinya dengan Farid kemarin.Siang hari, saat makan siang bersama Hana, gosip mulai muncul.“Halo, Nona populer,” Hana menyikutnya pelan.Aisyah mengernyit. “Apa lagi, Han?”“Aku lihat kemarin kamu jalan sama cowok ganteng bawa bunga. Siapa tuh? Jangan bilang pacar lama yang tiba-tiba balik.”Aisyah hampir tersedak. “Bukan, bukan. Dia teman kuliah. Namanya Farid.”Hana tertawa kecil. “Teman kuliah yang bawain bunga? Hmm, oke deh.”Aisyah mendesah. “Serius, Han. Jangan mulai gosip. Aku nggak mau ada yang salah paham lagi.”Tapi da

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 49 - Kehadiran yang Mengusik

    Ruang rapat utama dipenuhi tumpukan dokumen, presentasi yang berderet di layar besar, dan wajah-wajah tegang dari tim inti. Proyek kerja sama dengan Dubai bukan proyek biasa—ini adalah salah satu kontrak terbesar yang pernah ditangani Alfarizi Corporation. Semua detail, mulai dari teknis, regulasi internasional, hingga negosiasi, harus dipersiapkan tanpa cela.Di tengah ruangan, Aisyah duduk dengan teliti mencatat setiap poin yang disampaikan. Tangannya lincah menandai catatan penting, sementara pandangannya sesekali beralih ke Rayyan yang duduk di ujung meja, memberikan arahan dengan suara tenang namun tegas.“Divisi legal harus pastikan semua klausul perjanjian sesuai hukum internasional. Tim marketing siapkan strategi promosi lintas negara. Dan…” Rayyan berhenti sejenak, menoleh ke arah Aisyah. “Koordinasi keseluruhan laporan tetap melalui Aisyah. Saya ingin update setiap hari.”Beberapa kepala menoleh, sedikit terkejut mendengar nama itu disebut secara spesifik. Biasanya Rayyan ja

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 48 - Keputusan yang Menentukan

    Hari itu suasana kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Proyek baru sudah memasuki tahap peninjauan ulang dokumen, dan setiap detail harus dicek ulang sebelum diserahkan ke klien. Aisyah duduk di mejanya, laptop terbuka, dokumen-dokumen berjejer, tapi pikirannya melayang entah ke mana.Nama Rayyan berputar terus di kepalanya. Entah bagaimana, setiap kali mencoba fokus, bayangan tatapan pria itu muncul. Tatapan dingin di ruang rapat tempo hari, kalimat pendek tapi penuh makna, “Kamu tidak sendirian.” Semuanya seperti terpatri.Aisyah menggeleng pelan, menepuk pipinya sendiri. “Fokus, Sya. Fokus.”Tapi semakin ia memaksa, semakin pikirannya justru menjauh dari layar di depannya.Sampai akhirnya, ia tanpa sadar mengirimkan dokumen revisi ke klien… dengan lampiran yang salah.Baru satu jam kemudian ia menyadari. Hana, rekan kerjanya, berbisik panik sambil menunjuk layar: “Sya, ini kamu kirim yang draft awal, bukan yang sudah direvisi. Klien sudah balas email, katanya bingung kenapa data

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku     Bab 47 - Perhatian yang Mengganggu

    Udara sore itu terasa lebih padat dari biasanya. Aisyah baru saja kembali dari kampung setelah memastikan kondisi ibunya stabil. Tubuhnya lelah, namun pikirannya jauh lebih sibuk. Sejak duduk di dalam taksi menuju apartemen, bayangan satu nama terus berputar dalam benaknya: Rayyan Alfarizi.Ia sudah tahu. Ia sudah yakin. Semua kemudahan perjalanan ke kampung, tiket pesawat yang tiba-tiba tersedia, bahkan jalur cepat di klinik—semuanya ulah Rayyan.Meski tak pernah diucapkan langsung, Aisyah bisa merasakan betapa pria itu diam-diam menjaga. Tapi justru itulah yang membuatnya resah. Kenapa harus sembunyi? Kenapa tidak bicara terus terang?Keesokan harinya, Aisyah melangkah masuk ke kantor. Beberapa rekan kerja menyapanya hangat. “Hai, Sya! Bagaimana kabar ibumu? Sudah membaik?”Aisyah mengangguk sambil tersenyum tipis. “Alhamdulillah, sudah lebih baik. Terima kasih.”Namun, hatinya masih diselimuti kegelisahan. Ia tahu, hari ini ia harus menghadapi Rayyan. Dan, entah bagaimana, ia ingin

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status