Share

Kompeni

Salahkan saja ia yang menggunakan pashmina dengan model melilit leher hingga masing-masing ujungnya menjuntai di belakang. Tubuhnya mundur dan kepala gadis itu mendongak mengikuti tarikan pada ujung kain panjang itu.

Ia memegang erat pashmina-nya yang menjuntai di belakang. Mempertahankan diri agar tak tertarik lebih jauh. Nyatanya kalah juga karena semakin melawan semakin terasa mencekik leher.

"Lepasin!" Ia mencerca. Ingin menoleh ke belakang, tapi lilitan di lehernya terlalu kencang hingga tak dapat gerakan kepala.

Di belakang sana salah satu anggota inti Kompeni yang bergelar sebagai perundung paling sadis seantero TB. Kabarnya beberapa anak yang menjadi korban memilih keluar dari SMA incaran ini demi kelangsungan hidup yang aman dan tenang.

Namanya Rehan Gunandya. Cowok itu bersandar di pintu dengan jemari tangan kanan mengetuk-etuk satu pahanya sendiri yang diposisikan menekuk. Sedangkan tangan kirinya menarik jilbab cewek dari kelas 11. Seorang adik kelas yang masuk sendiri ke dalam sini.

Ya, Rehanlah pelakunya.

Melihat cewek itu mundur dengan langkah yang tersendat-sendat seolah suatu kesenangan tersendiri untuknya. Tak heran ia mendapat gelar seorang pembuli paling sadis. Nyatanya ia memang suka menyiksa orang.

Seorang cowok bertubuh tinggi dengan kelopak menyipit tajam, tetapi bola mata hitamnya tampak lebar dan berkilau. Ia juga merupakan anggota inti Kompeni yang posisinya berjalan paling belakang tadi. Tak heran ia masuk paling terakhir. Arion Gazelle nama lengkapnya.

Ari berhenti tepat di pintu masuk melihat temannya yang sedang berulah. Siapa lagi jika bukan Rehan? Tangan Ari yang kekar menyentuh kepalan Rehan yang menggenggam ujung jilbab seorang cewek yang bukan anggota kelas ini.

"Lepas, Bro. Kasian," tuturnya.

Rehan mendengkus. Namun ia tetap menurut akan ucapan sahabatnya itu. Melepaskan genggamannya pada ujung jilbab gadis yang menjadi mainannya sesaat membuat sang empu detik itu juga menoleh ke belakang.

Eva melotot kesal pada kakel yang baru saja menjailinya tanpa dosa itu. "Rusak jilbab gue!" geram Eva sangat kesal. Tak takut sama sekali menunjukkan ekspresi kesalnya pada Rehan. Jiwa-jiwa penakut tak layak menjadi ketua OSIS!

Memakai jilbab dengan mempertahankan ciri khas serta berusaha untuk tampil rapih bukanlah hal gampang. Lantas mudah saja Rehan menghancurkan itu semua?!

Merasa tak dapat respon balik, Eva mengabaikan hal itu. Ia mengedar pandang dan bertanya cukup kencang. "Ketua kelasnya mana?"

Sayangnya beberapa detik berlalu tak ada sahutan. Eva benar-benar diabaikan membuat gadis itu terpancing emosinya sendiri. Malas teriak-teriak, ia mendatangi kakel berbandana marron tadi.

"Kak, ketua kelasnya mana?"

"Gak tau." Cewek itu menyahut ketus dan sangat cuek.

Sumpah demi apapun Eva juga sama muaknya. Sejujurnya absen yang ia bawa ini milik kelas ini 'kan? Tapi seakan-akan jadi Eva yang butuh sekali untuk meminta tolong mereka menyimpannya.

"Kemana?" tanya Eva lagi dengan datar. Tak tahu saja di bawah sana tangannya mengepal menahan emosinya yang hendak meluap-luap.

"Gak tau!" Agak ngegas. Pun kali ini pernyataannya penuh penekanan. Sepertinya kesal Eva tanyai terus sedari tadi.

Wah! Tidak tahu terima kasih sekali anak kelas satu ini, ya. Masih berbaik hati Eva membawakan absen ini pada mereka. Bisa saja Eva menolak ketika bu Minah menyuruh tadi 'kan?

"Gue nanya baik-baik lo bisa jawab baik-baik juga nggak?" bisik Eva emosi. "Ngegas mulu perasaan."

Kakel itu menatap Eva sangsi. "Apaan sih!" sinisnya balik. "Lo nanya mulu dari tadi! Gue udah bilang nggak tau 'kan? Ya berarti gue nggak tau! Dekel pantek!"

Tak disangka bisikan Eva tadi disahut sangat kasar. Ia meneriaki Eva hingga mereka berdua menjadi pusat perhatian satu kelas. Termasuk inti Kompeni menatap mereka juga.

Demi apapun tangan Eva gatal ingin banting absen ini di depan meja guru. Akan tetapi niat tersebut urung mengingat ada Kompeni di kelas ini. Gerombolan orang paling berkuasa di TB. Pastinya akan sangat segan sekali berlaku sesuka hati di depan mereka.

Sepertinya cewek ini termasuk orang yang ditakuti di kelas ini. Mungkin iya? Lihat saja Eva perhatikan sedari tadi ia sangat toxic dan sesuka hati sekali ketika bicara. Tak hanya pada Eva, tapi juga anak kelas ini.

Brak!

Dengan emosi yang meluap-lupa Eva membanting absen tersebut tepat di depan wajah cewek itu. Tak peduli dia kakak kelas. Tak peduli budaya senioritas. Tak peduli juga posisinya sebagai apa di sini. Kalau songong begini Eva tak mau menye-menye. Asal dia bukan termasuk Kompeni, Eva berani melawan karena sekolahnya pasti tetap aman.

"Anj! Maksud lo apa?!" Cewek itu berdiri dengan mata melotot murka.

Eva mendengus remeh melihatnya. "Nitip absen. Tolong kasihin ke ketua kelas!" Setelah bicara dengan tegas serta artikulasi yang jelas, Eva keluar dari kelas itu.

⋆•・ั⋆ᩡ🌸ꦿᩡ⋆・ั•⋆

Suara pijakan pada undakan tangga terdengar membuat Zahra si wanita berkepala empat, tapi tetap saja cantik itu menoleh menampilkan sosok putra tampannya yang telah siap dengan seragam. Rambut semrawut menutupi sebagian dahi. Mata tajam berlensa abu-abu, hidung mancung serta tubuh proporsional. Sungguh manifestasi yang sempurna.

Dia Arta.

Tersenyum tipis untuk sang mami ketika tatapan mereka bertemu. Kemudian ia mendekat lalu menyematkan sebuah kecupan ringan di dahi wanita yang hanya setinggi bahunya tersebut.

Cup

Zahra tersenyum lebar menyambutnya. Setelahnya Arta menarik kursi untuk ia duduki.

"Morning, Boy." Dia Zaki—kepala keluarga di rumah ini. Lelaki itu telah siap dengan pakaian formalnya bersiap untuk ke kantor di pagi hari.

"Too." Arta menyahut sapaan sang papi.

"Arta mau sarapan pakai apa, Sayang?" Kali ini Zahra yang bertanya. Ia selalu siap melayani kebutuhan suami juga anak-anaknya walau memiliki pembantu.

"Samain kayak papi aja, Mi," tuturnya.

Segera Zahra menyiapkannya. Arta duduk diam memperhatikan pergerakan maminya yang begitu cekatan itu. Hanya 30 detik saja kini piring itu sudah disajikan di hadapannya.

"More?"

"Emm." Arta bergeleng menggumam. "Done."

Zahra mengangguk dan membiarkan putra sulungnya itu makan sendiri. Tatapan matanya terus terarah pada tangga, tentunya menunggu kedatangan sang putri bungsu yang selalu terlambat setiap pagi.

"Itu anak udah bangun belum sih?" decak Zahra memberengut kesal.

"Tadi Mami bangunin dia bangun nggak?" Sang suami bertanya seraya menyuapkan makanan ke mulutnya

"Kalau pas dibangunin jelas bangunlah. Mami gorok doang kalo gak bangun. Cuma kebiasaan tuh anak kalo Mami tinggal langsung lanjut bobo lagi," gerutu Zahra mulai habis kesabaran.

Zahra menarik napas kemudian berteriak menggelegar memenuhi seisi rumah. "Sabilaa!! Kamu telat terus, ditinggal baru tau rasa!"

Dari dalam kamar gadis itu berdecak seraya memukul kasur dengan bantal guling karena kesal. "Aaaa Mamiii!! Kaos kaki aku gak tau di mana. Lupa naruh ish!" Tak kalah berteriaknya juga Sabila menyahut.

Cewek-cewek di rumah ini memang bersuara cempreng semua.

Zahra berdecak dan berdiri meninggalkan acara sarapannya, menunda sementara untuk mengurus si bungsu. Ia berkacak pinggang.

"Kan Mami udah bilang?! Siapin malam hari, Dek!! Malaaam! Kalo bangunnya pagi mendingan. Ini udah siang, siapin apa-apa siang juga. Salah sendiri!" teriak Zahra macam toa.

Sementara di dalam kamar bernuansa pink Sabila mengobrak-abrik seluruh isi kamarnya dengan perasaan kesal. Kamar yang pada dasarnya sudah berantakan dari awal, menjadi semakin berantakan tak berbentuk.

Beberapa waktu setelahnya seketika mata Sabila berbinar melihat benda putih yang ternyata teronggok di bawah keranjang cucian kotor. Dengan cekatan ia meraih dan memakainya. "Alhamdulillah," gumamnya.

"Ooh, Iya, Mi. Iyaa! Udah Ketemu, nih. Waitt, Sabila Turunn!"

Baru saja Zahra hendak menyusul ke atas, tetapi urung ketika Sabila katanya telah menemukan kaos kaki yang ia cari. Dengan begitu Zahra kembali duduk di kursinya.

Gadis cantik itu menuruni tangga dengan semangat 45. "Yuhuuu!"

Ia langsung bergabung bersama keluarga kecilnya dan ambil posisi menyempil duduk di tengah-tengah abang dan papinya.

"Astaghfirullah ...." Zahra beristighfar dan geleng-geleng kepala melihat kelakuan putri bungsunya itu. "Di sebelah Mami kosong nih ya Allah. Ngapain nyempil-nyempil di situ!" gemasnya.

Iya, saking gemasnya sampai rasanya ingin Zahra menampol anak itu dengan centong nasi di depannya ini.

"Mami, Sabila mau nasgor kayak papi sama abang," serunya tanpa peduli teguran dari maminya tadi.

Benar-benar kuping tembok!

Baru saja Sabila menyendokkan sesuap nasi tersebut ke dalam mulutnya, decitan dari kursi sebelah membuat gadis itu menoleh seketika menampilkan sosok cowok tampan yang menjulang tinggi.

Iya, siapa lagi cowok paling tampan di rumah ini kalau bukan abangnya?

Tentu saja Arta. Memangnya siapa lagi abangnya? Nothing!

"Pergi, Mi, Pi. Assalamu'alaikum."

Setelah menyalimi bonyok Arta menenteng tasnya dan berlalu begitu saja membuat adiknya tercengang atas tindakannya itu.

"Ish!! Swabila ditwin-nghal," gerutunya dengan wajah menekuk. Tak lupa mulutnya yang penuh dengan makanan ketika abangnya sudah tak nampak dalam pandangan lagi.

"Besok-besok telat lagi, ya," sindir sang mami.

Sabila meminum airnya kemudian mengelap mulutnya dengan punggung tangan. "Nanti Papi anterin Sabila, ya?"

"As you wish, Baby."

Seketika itu Zahra memutar bola matanya malas.

Sementara di luar Arta mengendarai motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Ia meninggalkan adik tersayangnya bukan tanpa alasan, melainkan karena Rehan sahabatnya, salah satu anggota inti geng Kompeni berkata akan mengantar Sabila ke sekolah pagi ini. Cowok itu memang sudah menganggap Sabila sebagai adiknya sendiri. Nasib jadi anak tunggal. Tipe cowok idaman. Putra tunggal kaya raya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status