Pernah malas sekolah karena dimusuhi satu circle?
Seperti seorang gadis yang saat ini berdiri di samping podium seorang diri. Ia menunduk dalam tak kuasa menerima terpaan sinar mentari yang begitu menyengat.
Padahal sedari tadi ia hanya diam tanpa ada sepatah kata dan tindakan apapun. Namun karenanya pula seluruh siswa yang menghadiri upacara Senin pagi ini mendemo pihak guru bagian pengurus OSIS. Hingga OSIS tahun lalu turun tangan mengamankan para siswa yang semakin ricuh.
Ketika sudah tenang, bu Rani selaku guru pembimbing OSIS berdiri di atas podium untuk menyampaikan beberapa hal. Semua yang telah beliau sampaikan sangatlah masuk akal, tapi tetap saja para siswa tak setuju akan hal itu. Lebih tepatnya mereka tak mau menerima.
Kerumunan siswa dibubarkan setelah mereka dinyatakan kalah telak dalam argumen. Akhirnya dengan terpaksa menerima keputusan sepihak oleh pembimbing OSIS tahun ini.
Sementara seorang gadis yang menjadi alasan kericuhan tetap terlihat tenang. Bola mata coklat terang yang indah itu melirik sekilas ke arah lelaki tampan satu angkatan dengannya di sekolah ini.
Ke-duanya saling berjabat tangan dan berjanji akan mensukseskan sekolah bersama. Tak lupa pula bagian dokumentasi memotret momen itu.
Gadis bernama lengkap Eva Nur Shafaah itu bedeham pelan. Sedikit mendongak untuk menatap wajah ganteng lawan bicaranya ini. Kelopaknya menyipit akibat terpaan cahaya mentari pagi.
"Banyak yang bilang gue sama lo bertolak belakang. Gue yang dikenal cewek pemalu dan gak pandai bergaul. Sedangkan lo cowok dingin dan cuek sama sekitar."
Jeda sejenak. Saat ini Eva mencoba mengatur detak jantungnya yang berpacu kelewat cepat entah memburu apa. Eva yang kurang bisa bergaul hanya punya empat orang teman semasa hidupnya. Semuanya segender. Jadi jujur, baru kali ini Eva berbicara sedalam ini pada seorang cowok.
Merasa gadis di depannya ini tak jua melanjutkan ucapannya yang terhenti, cowok berkulit putih bersih kemerah-merahan bernama lengkap Brian Adam Girikan itu menaikkan sebelah alis dengan tatapan merunduk ke bawah demi dapat melihatnya.
"Jadi?" Suara Adam yang berat akhirnya mengudara.
Hal yang membuat lamunan Eva buyar seketika. Berdiri berdepanan begini membuat perbedaan warna kulit mereka tampak kentara. Eva yang kuning langsat sedikit kecoklatan dan cowok itu justru putih bersih. Eva yang sedikit pesek sedangkan cowok itu dikaruniai hidung mancung. Alis dan bulu mata tebal berwarna hitam. Indah sekali dipadukan dengan kulitnya yang seputih susu. Meski demikian ia selalu tampak cool di setiap saat. Ketika olahraga perut sixpack-nya begitu tercetak jelas oleh keringat. Dia pejantan perkasa walau kulitnya seputih susu.
Menyudahi pemikiran membanding-bandingkan diri, Eva menarik napas dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Masih mengusahakan diri untuk tetap tenang. Tak ingin terlihat gugup hingga bertindak bodoh di depan Adam.
"Jadi gimana bisa kita kerja sama secara totalitas buat mensukseskan sekolah sedangkan kita bertolak belakang?"
Adam mendengkus. "Bisa kalo kita kerja profesional."
Eva langsung mengerti. Cewek itu mengangguk pelan. Ternyata begini, ya? Profesional yang Adam maksud ialah tidak menyangkutpautkan urusan pribadi dengan project OSIS yang akan mereka kerjakan ke depan.
Menatap lamat wajah cowok itu, Eva tak ingin pembicaraan ini hanya sampai di sini saja. Dirinya menginginkan lebih lama. Karena suatu alasan yang jelas. Kelemahannya yang kurang bisa bergaul sering kali membuat Eva kagok sendiri ketika menjalin hubungan pendekatan dengan seseorang. Rasa tak nyaman seketika melingkupi sanubari meski Eva sudah mengusahakan semaksimal mungkin.
Dan saat ini Eva tengah berusaha menampik itu semua. Tak mau mengacaukan project ini dengan miskomunikasi karena buruknya ia ketika bersosial.
"Lo nggak masalah?" Eva bertanya penuh kehati-hatian.
Adam berdecih mendengarnya. Cowok berkulit putih bersih itu mengendikkan bahu. "Gue gak ngerti lo lagi bahas apa."
Ungkapan yang membuat Eva meringis pelan. Dengan ragu Eva menjelaskan. "Yang selama ini digadang-gadangkan sebagai ketos kan lo. Tapi tadi pas pelantikan justru gue yang naik jabatan dan lo turun."
Eva perhatikan sedari tadi raut cowok itu tak berubah. Tetap setia tampilkan wajah datarnya. "Mending lo pikirin nasib lo sendiri ke depannya. Gue rasa hati lo masih berfungsi buat ngerasain sakit. Posisi lo gak diinginkan di sini. Paham?"
"Iya, gue dibenci sama satu circle," ujar Eva murung. "Circle-nya satu sekolahan," lanjutnya lagi. Tapi kali ini senyuman tipis bertengger indah di bibir peach miliknya.
Hal yang membuat Adam termangu. Bisa-bisanya gadis itu tersenyum padahal sudah jelas satu sekolah menolak keberadaannya. Siapa yang tak tahu? Eva anak beasiswa. Ia yatim. Ibunya bekerja sebagai penjual kue di pasar. Latar belakang yang rendah bagi siswa Taruna Bangsa yang notabane-nya adalah anak para pebisnis kaya raya.
Jika Eva jadi ketos, mereka semua tak sudi berada di bawah kekuasaan si gadis miskin itu. Bahkan kompak untuk menjadi murid pembangkang dan tak peduli lagi pada kebijakan OSIS yang sekarang.
Pertentangan yang mereka lakukan di lapangan tadi ditentang balik oleh bu Rani hingga seluruh siswa kalah telak kehabisan argumen untuk melawan. Karena pada dasarnya Eva memang layak memegang jabatan ini.
Adam berdecih. "Bangga lo dibenci sesekolahan?"
Mata indah coklat terang gadis itu akhirnya menatap tajam lawan bicaranya. Melawan Adam yang memborbardir ungkapan sarkas padanya sedari tadi.
"Gue gak pernah mendaftarkan diri jadi OSIS melainkan ditunjuk langsung sama bu Rani. Mereka yang koar-koar di lapangan demi gagalnya pelantikan gue sebagai ketos akhirnya bungkam 'kan? Lo tau artinya apa? Karena emang gak ada yang pantes pegang jabatan ini kecuali gue!"
Setelahnya Eva beranjak pergi dari sana meninggalkan Adam yang terpukau mendengar ucapan Eva yang penuh angkuh tadi. Sampai sini sepertinya Adam sudah bisa menyimpulkan. Alasan Eva tak punya banyak teman selain karena ia tak pandai bergaul, gadis itu juga tak bisa mengerem mulutnya untuk menjaga keramah-tamahan pada sesama. Lihatlah bibir peach-nya tadi. Dalam satu kali pertemuan ia sudah bisa mengeluarkan suara malu-malu kucing, lalu gugup, kemudian tersenyum tipis, sampai tadi ia mengeluarkan kata-kata tajam menusuk hati.
Meski dari keluarga tak punya Eva menjunjung tinggi harga diri. Ia pantang tersentil meski sedikit saja. Mereka membangga-banggakan harta orang tua, maka Eva membanggakan kemampuannya sendiri!
Jadi, siapa yang lebih berkualitas?
⋆•・ั⋆ᩡ🌸ꦿᩡ⋆・ั•⋆
Seorang gadis berseragam SMA Taruna Bangsa, mengenakan pashmina menutup kepala dengan model khasnya yakni melilit leher kemudian terikat rapih di bagian belakang sedang berdiri di depan pintu bertuliskan 'XII IPS 2'. Dipelukannya terdapat sebuah absen.
Pintu itu tertutup hingga menimbulkan senyap. Hampir seluruh ruangan SMA TB memang didesain kedap suara. Kelas ini menjadi salah satunya.
Gadis yang tiada bukan adalah Eva si ketos baru itu menekan knop pintu. Tanpa salam ia membukanya perlahan hingga timbulkan decitan. Suara yang sukses menarik atensi hingga suasana kelas yang tadinya berisik seketika menghening dengan pandangan yang kompak tertuju ke arah pintu masuk.
"Anjir! Gue kira guru tadi!" Salah seorang siswi berbandana maroon yang kebetulan duduk paling depan dekat pintu mengumpat. Rautnya sinis.
"Lo gak sendiri, Bro!" Cowok dengan dasi yang terikat di dahinya menyahut. Tangannya menepuk sok asik bahu cewek tadi yang langsung mendapat pelototan dari sang empu.
"Gak usah megang-megang, Babi!"
"Sensi amat. Pms lo?"
"Bukan urusan lo!"
Sudahlah, ruangan kembali riuh. Eva menyudahi acara menyaksikan drama tersebut. Ia mengedar pandang. Mendapati tak ada seorang pun memperhatikannya.
"Minggir!" Suara berat dengan intonasi angkuh menyapa indera pendengaran Eva. Belum sempat gadis itu menoleh ke belakang, tubuhnya sudah lebih dulu terhuyung. Nyaris tersungkur jika saja Eva tak sigap menyeimbangkan diri.
Detik setelahnya laki-laki paling berkuasa di sekolah ini melewatinya begitu saja. Disusul anggota geng terkenal seantero Jaksel ini yang berada di bawah kendali cowok tadi. Namanya Artanabil Hibrizi. Ketua geng Kompeni, sang legendaris yang telah berdiri sejak setengah abad silam. Selain itu ia juga merupakan cucu Arif Wijaya, pemilik SMA Taruna Bangsa. Sekolah terfavorit yang menjadi incaran para siswa, guru, dan orang tua.
Semuanya berlomba-lomba memasukkan anak mereka ke sekolah paling bergengsi se-Indonesia ini. Bukan sekolah internasional, tetapi prestasinya harum semerbak sampai ke seluruh dunia. Tak jarang dalam ajang perlombaan tingkat dunia, Taruna Bangsa merupakan sekolah dengan utusan paling banyak mewakili Indonesia.
Masuknya anggota inti Kompeni ke dalam kelas ini benar-benar menarik perhatian semua orang.
"Badan lo mungil? Disenggol langsung sempoyongan tidak?" Adelion Bramasta, cowok yang kerap dipanggil Yoyon itu menyuarakan tanya dengan nada khas sound yang tengah viral saat ini di aplikasi TikTok.
"Tidak?!" katanya terpekik histeris. "Ahh lemah!!" Demi mendalami peran, setelah berkata demikian Yoyon langsung berjoget pargoy dengan musik manual yang keluar dari mulutnya sendiri.
Cowok dengan jabatan sebagai wakil ketua geng Kompeni bernama lengkap Reza Pahlevi yang saat ini berdiri di sebelah Yoyon langsung menggeplak keras kepala cowok itu. "Gak usah ngedesah goblok!!"
Salahkan saja ia yang menggunakan pashmina dengan model melilit leher hingga masing-masing ujungnya menjuntai di belakang. Tubuhnya mundur dan kepala gadis itu mendongak mengikuti tarikan pada ujung kain panjang itu. Ia memegang erat pashmina-nya yang menjuntai di belakang. Mempertahankan diri agar tak tertarik lebih jauh. Nyatanya kalah juga karena semakin melawan semakin terasa mencekik leher. "Lepasin!" Ia mencerca. Ingin menoleh ke belakang, tapi lilitan di lehernya terlalu kencang hingga tak dapat gerakan kepala. Di belakang sana salah satu anggota inti Kompeni yang bergelar sebagai perundung paling sadis seantero TB. Kabarnya beberapa anak yang menjadi korban memilih keluar dari SMA incaran ini demi kelangsungan hidup yang aman dan tenang. Nama
Terlahir sebagai anak tunggal, saat ini Eva tak lagi miliki orang tua yang lengkap. Papanya meninggal akibat kecelakaan yang terjadi tiga tahun silam. Masih terekam jelas di kepala Eva hingga saat ini, bagaimana mengerikannya bentuk tubuh papanya yang telah hancur terlindas truk dengan muatan berat. Tersisa ia bersama mamanya. Seorang ibu rumah tangga yang merangkap juga sebagai kepala keluarga. Pekerjaannya sehari-hari hanya membuat kue untuk dijual di toko-toko sembako berbagai tempat sekitar kawasan rumah. Beruntung lokasi rumah mereka dekat dengan pasar hingga memudahkan untuk membeli bahan-bahan juga meniagakannya. Hendak memperluas linglup bisnis, keluarga kecil ini terkendala kendaraan yang tak memadai. Ingin memakai jasa orang, sedang kebutuhan hidup saja sangat pas-pasan dan terkadang kurang. Hanya ada sepeda berwarna pink dengan model khas p
Perlahan Eva rasakan panas pada bola matanya. Benda hitam yang bulat itu memerih, nyaris saja jika Eva memejam maka buliran kristal itu pasti akan meluruh membasahi pipinya. Eva berusaha untuk menahan tangis sendiri. Kesannya akan semakin mempermalukan diri jika menangis di depan mereka semua setelah diperlakukan seperti ini. Pak guru tersebut juga malah melanjutkan materi tanpa memperjelas status Eva, dipersilakan masuk atau tidak? Membuat Eva makin uring-uringan takut serba salah. Mau nyelonong masuk, tapi beliau belum kasih izin. Kalau asal keluar, nanti kesannya tidak sopan dan dianggap bolos. Ketimbang tidak jelas seperti ini, Eva lebih baik bertanya walau sepertinya akan diabaiakan. Tak apa, coba saja dulu. "Pak!" Ya, seperti perkiraan awal, pangg
Melly sebenarnya tak peduli dengan kelakuan anak kelas yang bising karena targetnya saat ini adalah Eva. Tapi telinga cewek itu panas sendiri mendengar lirik lagu yang dinyanyikan Iqbal. Maksudnya ingin menyindirkah? Kenapa pula Melly iri pada orang miskin? Lucu! "Diem lo!" Salsa melotot pada cowok itu membuat Iqbal bersama teman-temannya menaikkan alis menatap cewek itu aneh. "Lah? Suka-suka kitalah, orang kita mau nyanyi," tukas Iqbal mewakili suara teman-temannya. Memang senang sekali rombongan cowok di kelas ini memancing emosi geng Qotsa. Apalagi ada Iqbal di sini. Selaku ketua kelas cowok itu berani saja pada anggotanya. Kenapa takut? Orang tuanya juga pebisnis kaya raya. "Jangan! Jangan iri! Jangan iri dengki!" Hampir semua cowok di kelas ini bernyanyi dengan lirik seperti itu seraya berteriak. "Azeek!!" Tangan Salsa mengepal keras memandang mereka semua yang makin jadi. "Kampungan lo pa
"Va!" "Eh?" Eva tersentak kaget dan segera menoleh ke arah sumber suara. Berdiri Yana di sebelahnya. "Dih, ngelamun lo? Dipanggi dari tadi juga." "Gak denger," sahut Eva pelan. Kepalanya celingukan memandang ke dalam kantor. "Udah selesaikah?" Baru saja Eva menemani Yana ke kantor urusan perbendaharaan. Pastinya cewek itu menerima uang yang sangat fantastis untuk segala project dan kegiatan OSIS. "Iya. Yuk balik ke kelas. Gue laper bangett tauuuu. Tadi gegara lo ribut sama geng Qotsa jadinya gak sempet makan keburu dipanggil rapat." "Ih, gue lagi!" Eva berseru tak terima. "Mereka duluan yang mulai." Yana memutar bola matanya mala
Perlahan dari kepala hingga mengalir sampai kaki. Cowok itu menghabiskan satu botol air untuk membalas perbuatan Eva tadi padanya. Menumpukan tangan pada lutut hingga posisinya sedikit merunduk dan wajahnya kini berada tepat di depan wajah Eva yang hanya setinggi dadanya saja. Eva memejam erat. Ingin kabur pun rasanya itu adalah pilihan konyol yang semakin membuat malu. Karena pastinya nanti sia-sia dan dengan mudahnya Arta akan mendapatkannya lagi. "Gue belum puas balesnya. Masih kesel," ujarnya. Botol kosong itu digunakan untuk menepuk kepala gadis di depannya ini. Tidak kuat, kok. Hanya pelan karena ia tahu, baru disiram air begini saja sudah mau menangis. Apalagi Arta memukulnya 'kan? Namun, jujur saja ia masih kesal dan belum puas membalasnya hanya seperti ini. Tangannya gatal ingin menonjok orang. Bugh! "Aaaa!" Eva menjerit. Berjongkok dengan kedua tangan menutupi telinga tak ingin mendengar apap
Akhirnya Eva bersama teman-temannya dapat menikmati bekal istirahat kali ini tanpa takut diganggu oleh hantu Qotsa lagi. Mereka memakan dengan lahap lauk seadanya tersebut. Sesekali bertukar lauk satu sama lain hingga sangat banyak sekali beraneka ragam lauk di atas piring. Mengenai air minum Eva yang habis dipakai untuk menyembur Melly tadi, ia menggantinya dengan mengambil air galon yang ada di ruang OSIS. Bersama Ana pergi ke sana yang ternyata air cewek itu hanya tinggal setengah dan ingin dipenuhi lagi. "Ehm. Lain kali kita bisa kali ya bikin video mukbang bareng hahaha. Liat nih makanannya banyak banget," celetuk Riska sambil menggigit sotong yang ada di tangannya. "Eh, iya ya?" Uma mengangguk setuju. Gadis manis itu meminum minumannya sebelum
Jum'at pagi kali ini awan mendung, cuaca pun sedikit berkabut. Namun kegiatan yang biasa berlangsung tetap terlangsung. Yakni Jumsih, alias Jum'at bersih. Eva selaku ketos menghimbau goro untuk bagian barat. Sisanya ia tak tahu menahu lagi. Boleh bayangkan sebesar apa Taruna Bangsa? Eva tak akan sanggup menanganinya seorang diri. Ada banyak anggota inti OSIS yang lainnya. Biarkan mereka memilih kawasan masing-masing. Di ujung lapangan, masih kawasan kelas 10. Segerombolan cewek duduk santai di taman kelas mereka. Bergosip ria dengan tangan sok sibuk memungut daun yang nyatanya nanti mereka buang lagi ke situ, lalu mereka pungut lagi. Begitu saja terus diulang-ulang. "Sumpah!! Gue masih gedek kalo inget kejadian kemarin!" Cewek berbanda army mengenakan kalung pas yang melingkari leher jenjang putihnya itu bersuara. Rautnya tampak menahan emosi dengan bibi