“Ngapain kamu duduk di tempat tidur saya?!” suara Kelvin meledak, tajam seperti belati yang menusuk udara.
Miranda tersentak, tubuhnya menegang. “Ma... Maaf, aku tidak tahu kalau tempat tidur ini tidak boleh aku duduki,” suaranya bergetar, kepalanya menunduk dalam-dalam.
Kelvin mendengus kasar. Matanya memerah, wajahnya mengeras penuh amarah. “Ah! Mimpi apa aku semalam? Bisa-bisanya mendapatkan kesialan seperti ini!” gerutunya dengan geram, menatap Miranda seakan ia adalah sesuatu yang menjijikkan.
Miranda merasa nyalinya ciut. Tatapan Kelvin begitu menakutkan, membuat dadanya sesak. Ia takut jika lelaki itu benar-benar akan menuntut haknya sebagai suami. Namun, ketakutannya sedikit mereda ketika Kelvin justru mengayunkan tangannya, menunjuk lantai dengan jijik.
“Minggir! Tidur di bawah! Aku tidak mau ranjangku diinjak perempuan sepertimu!”
Tanpa berani membantah, Miranda segera turun dan duduk di atas karpet dingin. Kelvin berjalan menuju pintu, menutupnya dengan keras, lalu mengunci rapat-rapat. Miranda menggigit bibir, mencoba menahan air mata. Ia tahu, pernikahan ini bukan karena cinta, tapi tidak pernah terpikir olehnya bahwa suaminya akan membencinya sampai seperti ini.
Tak lama, suara ketukan pintu terdengar. Kelvin tidak bergeming dari tempatnya, hanya melirik sekilas sebelum kembali fokus pada ponselnya.
“Buka!” katanya dingin.
Miranda buru-buru berdiri dan membuka pintu.
KREK
Di depan pintu, berdiri seorang wanita paruh baya dengan senyum lembut—mertua Miranda, Mira.
“Kamu cantik sekali, Miranda,” puji Mira.
Miranda tersenyum kaku, masih diliputi kecanggungan. “Terima kasih, Tante Mira.”
Mira mengamati menantunya dengan penuh kasih. “Jangan panggil aku Tante, panggil saja Ibu. Kamu sudah jadi bagian dari keluarga ini. Jangan sungkan, ya.”
Miranda hanya mengangguk pelan. Ia ingin tersenyum, tapi hatinya masih terlalu hancur. Mira mengusap tangannya lembut. “Ibu mau tidur dulu, sudah ngantuk. Kamu juga jangan begadang, ya.”
Setelah Mira pergi, Miranda menutup pintu dan melirik Kelvin yang tetap sibuk dengan ponselnya. Ia tahu, ada sesuatu yang harus ia tanyakan. Dengan ragu, ia mengumpulkan keberanian.
“Mas... Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanyanya pelan.
Kelvin tidak mengangkat wajahnya, seolah tidak mendengar. Miranda menggigit bibir, mencoba bertanya lagi. Kali ini, Kelvin mengangkat wajahnya dan menatapnya dengan sorot penuh kebencian.
“Dasar wanita murahan... Jangan harap bisa tidur satu ranjang denganku! Tidak sudi aku bercinta dengan anak pembantu!” suaranya tajam, seperti cambuk yang menghantam jiwa Miranda.
Miranda terpaku. Kata-kata itu menusuk hatinya lebih dalam dari yang ia kira. Dadanya sesak, air matanya menggenang di pelupuk mata, tapi ia menahannya. Seharusnya, malam pertama menjadi awal kebahagiaan bagi pengantin baru. Tapi baginya, ini lebih mirip mimpi buruk.
Keesokan harinya...
CUPRAK!
Miranda tersentak saat air dingin menyiram wajahnya. Ia terbatuk-batuk, tubuhnya menggigil hebat.
Di depannya, Kelvin berdiri dengan seringai puas di wajahnya. “Begini jadi istri? Jam delapan pagi masih tidur?!” sindirnya tajam.
Miranda mengusap wajahnya yang basah, tubuhnya bergetar karena kedinginan. “Ma... Maaf, aku kecapekan dan belum tidur dari kemarin,” suaranya lirih.
“Bodo amat! Aku nggak peduli! Sekarang, buatkan sarapan untukku!” perintah Kelvin kasar.
Tanpa membantah, Miranda segera bangkit dan keluar dari kamar. Saat berjalan di lorong rumah yang luas, ia merasa bingung. Ia belum sepenuhnya hafal tata letak rumah ini. Untungnya, saat itu, Bily—ayah mertua Miranda—muncul dengan senyum ramah.
“Wah, pagi sekali kamu bangun,” katanya hangat.
Miranda tersenyum tipis, masih terbebani kejadian tadi pagi. “Maaf, Ayah... Arah dapurnya ke mana ya?”
Bily tertawa kecil lalu menunjuk ke arah utara. “Ke sana, Nak.”
“Terima kasih, Ayah,” ujar Miranda sebelum bergegas ke dapur.
Sesampainya di dapur, Miranda membuka kulkas dan terkejut melihat isinya yang penuh dengan bahan makanan. Ada sayur, daging, hingga berbagai bumbu masakan.
“Baru pertama kali aku melihat kulkas penuh begini,” gumamnya takjub. Ia pun memutuskan untuk memasak nasi goreng.
Sementara itu, Mira masuk ke kamar Kelvin dan melihat putranya tengah menyisir rambut di depan cermin.
“Kelvin!” panggilnya dengan nada tajam.
Kelvin menoleh santai. “Ada apa, Bu?”
“Miranda di mana? Dia tidur di kamar ini semalam?” tanya Mira dengan curiga.
“Iya. Enak aja dia tidur gratis di kamar aku. Udah untung aku kasih tumpangan,” jawab Kelvin sinis.
Mira terkejut. Amarahnya memuncak, hampir saja penyakit jantungnya kambuh. Dengan cepat, ia menanyakan keberadaan Miranda.
“Dia di dapur. Lagi masakin sarapan buat aku,” jawab Kelvin enteng.
Tanpa menunggu lama, Mira bergegas ke dapur. Saat sampai di sana, ia melihat Miranda sedang menggoreng nasi dengan ekspresi tenang.
“Miranda, kamukah itu?” tanya Mira, ingin memastikan.
Miranda menoleh dan tersenyum manis. “Iya, Ibu. Aku sedang membuat nasi goreng.”
Mira mendekat dan mengamati masakan menantunya. “Wah, kelihatannya enak.”
Miranda tertawa kecil. “Aku buat untuk Mas Kelvin, Ayah, dan Ibu juga.”
Mira tersenyum hangat. “Terima kasih, Nak. Seumur-umur, hanya pembantu yang memasak untuk kami.”
“Ibu tunggu di meja makan saja. Biar aku yang menghidangkannya,” ujar Miranda lembut.
“Tidak, aku ingin membantu,” balas Mira dengan penuh kehangatan.
Mertua dan menantu itu tampak akrab, membawa hidangan ke meja makan bersama. Bily yang melihat kedekatan mereka merasa terharu.
“Cepat sekali kalian akrab,” celoteh Bily.
Miranda tersenyum malu, sementara Mira berkata, “Aku mudah akrab dengan perempuan baik-baik.”
Saat semuanya siap, Miranda meminta izin untuk memanggil Kelvin. Namun, saat ia kembali ke kamar, Kelvin sudah tidak ada di sana.
“Loh... Kemana dia?” gumam Miranda bingung.
Ia kembali ke meja makan dan melaporkan hal itu pada Mira dan Bily. Raut wajah Mira menegang, tapi ia tampaknya sudah terbiasa dengan kelakuan putranya. Bily pun menghela napas, lalu berkata, “Tidak usah pedulikan dia. Makan saja.”
Miranda hanya bisa mengangguk pelan. Dalam hati, ia bertanya-tanya, apakah Kelvin memang seperti ini setiap hari terhadap orang tuanya?
Olivia nekat menemui mantan pembantu yang pernah bekerja di rumah Jessika. Dengan berharap ia akan menemukan jawaban yang bisa membebaskan Andra dari tuduhan-tuduhan yang tidak benar. Hanya saja, rumah yang dituju cukup jauh dari perkotaan tempat Olivia tinggal dan gak inilah yang menyebabkan Olivia tidak bisa mendampingi Andra selama proses persidangan berlangsung. Selama perjalanan yang berliku-liku itu akhirnya membuahkan hasil. Pembantu tersebut mengaku siap menjadi saksi mata tanpa dibayar sepeserpun. Pembantu itu pun bahkan mengaku telah menyimpan bukti rekaman cctv yang menangkap rekaman saat Olivia dan Andra terjebak dan di sekap di rumah Jessika. “Kalau begitu kita harus ke kota sekarang Bik. Kita harus tunjukkan bukti cctv ini” ujar Olivia dengan penuh harap. “Mohon maaf Non, bukannya saya tidak mau membantu tapi untuk saat ini saya belum bisa ke kota Non. Kemarin Mama saya meninggal dunia dan saya masih dalam suasana berduka” ujar si mantan pembantu Jessika. “Lalu ka
“Aku tidak bisa menceritakan ini sama kamu karena waktu kita tidaklah banyak! Olivia, aku telah berkorban untuk kamu dan sekarang kamu harus menuruti apa yang aku katakan. Sekarang, kamu harus pergi sejauh mungkin dan minta pertolongan pada orang lain. Lupakan aku, aku pasti akan kembali” ujar Andra sambil memegang jari tangan Olivia dengan erat. Seakan ia tak ingin dipisahkan dengan wanita yang sangat dicintai. “Tapi kamu berjanji akan menyusul aku Ndra?” tanya Olivia.“Aku berjanji” Andra menunjukkan jari kelingkingnya agar Olivia mempercayainya. Sembari menitikkan air mata, Olivia mencoba membalas dengan menunjukkan jari kelingkingnya dan kemudian Andra menghapus air mata yang telah membengkak kan mata Olivia. "Kamu tidak pantas menangis, kamu harus bisa melawan tangisan itu demi aku" pinta Adra.Olivia dengan berat hati meninggalkan Andre seorang diri. Hatinya sakit namun ini juga demi Andra. Andra memerintahkannya untuk pergi tanpa tahu alasan yang sebenarnya mengapa Andra tidak
Setelah berusaha keras untuk membuka gembok pintu akhirnya gembok itu pun terbuka. Miranda tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut untuk kabur dan menjauh sejauh mungkin. Bahkan ia belum sempat memakai sendal karena terburu-buru.Hujan badai turun membuat tubuhnya basah dan kedinginan. Tiada lagi tempat yang akan ia berteduh. Hingga seorang ojek online datang menghampirinya. Awalnya Miranda mengira orang itu adalah mata-mata dari Cleo namun setelah berkomunikasi, Miranda yakin bahwa orang itu adalah orang baik.“Tolong saya, antarkan saya ke kantor polisi” pinta Miranda.“Baik Bu, ayo duduk Bu” ujar ojek tersebut ketika sudah memberikan helm pada Miranda.Setelah Miranda duduk membonceng, ia pun bisa bernafas dengan lega. Ia telah ditolong oleh tuhan untuk bisa meloloskan diri. Tidak henti-hentinya ia berdoa agar bisa sampai di kantor polisi.“Bu, sudah sampai ini” ujar si ojek online. Miranda memberikan uang pada si tukang ojek lalu ia masuk ke dalam kantor polisi untuk melap
“Andra bangun!!!” teriak Jessika. Beberapa orang menyarankan Andra harus dibawa ke rumah sakit namun Jessika menolak. Ia yakin bahwa Andra pasti akan sadar sendiri.Selama beberapa detik Andra pingsan Andra pun sadar. Salah satu orang memberikan air putih kepadanya. Merasa lebih baik Andra meminta maaf karena ia mengaku tidak enak badan. Para tamu undangan pun telah pulang dan kini menyisakan kedua belah pihak yakni orang tua Andra maupun orang tua Jessika.“Jeng Siska, nanti putri Jeng Siska pasti akan saya jaga dengan kasih sayang di rumah saya” ujar Yunita yang kini telah resmi menjadi mertua Jessika.“Loh... Tidak perlu susah-susah seperti itu Jeng. Anak saya akan tetap tinggal di rumah ini yang ada si Andra sendiri yang pindah rumah dan tinggal di rumah ini” ujar Siska.Yunita tersentak kaget karena ia tidak diberitahu sebelumnya oleh Andra. Sementara ia sendiri tidak dapat protes karena tahu diri sama siapa ia berhadapan. “Andra, apa benar yang dikatakan Jeng Siska itu?” tanya Y
“Aku tidak bisa menikah sama kamu Jes. Kamu tahu sendiri bahwa aku tidak pernah memiliki perasaan lebih ke kamu” ujar Andra menegaskan.“Kamu tinggal pilih menikah dengan aku atau kamu harus melihat cewek ini akan merasakan kelaparan? Kalau memang kamu mencintai pacar kamu ini maka sebaiknya kamu harus tunjukkan itu dengan cara menikahlah denganku Sayang” ujar Jessika.Andra tertunduk ia tidak bisa menjawab. Jessika tersenyum lalu berkata, “Kamu tenang saja Andra, aku akan memberikan kamu kesempatan untuk memilih hanya malam ini saja kalian bisa merenungkan itu. Untuk besok pagi, aku akan ke sini lagi dan menerima jawaban kamu. Setelah itu aku tidak akan lagi kesini untuk memberikan kamu peluang untuk hidup”“Kamu sudah gila Jessika!!!” teriak Olivia.Jessika tidak menghiraukan teriakan Olivia karena sejujurnya Jessika sudah muak melihat wajah Olivia. Jessika pun keluar dari sana dan meninggalkan Olivia maupun Andra.“Andra, apa keputusan kamu? Aku yakin, kita bisa bebas tanpa harus k
“Apa maksud kamu Jessika?” tanya Olivia.Jessika tersenyum sumringah dan menyentuh rambut Olivia. Tindakan Jessika yang menyentuh rambut Olivia dengan cepat Olivia menghempaskan tangan Jessika dari rambutnya yang lurus.Jessika tidak marah namun ia semakin sumringah hingga tertawa terbahak-bahak. Dalam hati Andra, Jessika sudah tidak normal. Jessika pun memberhentikan tawaanya lalu menatap wajah Olivia dan Andra secara bergantian.“Apa kalian ingin aku menceritakan semuanya?” tanya Jessika dengan santai.Andra mengangguk sementara Olivia sudah hampir tersulut emosi. Syukurlah Andra berhasil menenangkan Olivia agar Olivia bisa lebih sabar lagi menghadapi sikap Jessika yang sudah tidak waras ini. Kini, raut wajah Jessika sudah tidak lagi sumringah karena kini raut wajahnya telah berubah menjadi sedih.“Aku benci sama kalian! Terutama kamu Olivia!!!” teriak Jessika.“Kamu... Sama Papa kamu sama saja! Kalian telah menyakiti hati aku yang rapuh ini khiks. Aku hanya ingin merasa dicintai,