Aku menoleh ke arah tempat Rizki, tampak ia masih asyik bermain, aku hendak menemuinya dan mengajaknya pulang.Baru saja aku bangun dari tempat dudukku, dari kejauhan aku melihat sosok yang sangat kukenal, bahkan baju yang di kenakannya itu adalah baju yang aku belikan, pemandangan ini seketika membuat dada ini kembali sesak. Meskipun rasa cintaku pada Mas Yudi berlahan pudar, semenjak aku memergokinya bergumul dengan perempuan murahan itu, tapi tetap saja rasa sakit hati itu tetap ada.Mas Yudi! Yah, yang aku lihat itu Mas Yudi, ia sedang berjalan bersama perempuan jalangnya itu, tangan kanannya merangkul bahu wanita murahan itu, sedangkan wanita itu tampak senang, sesekali mencium pipi lelaki yang masih sah suamiku itu. Aku menatap nyalang punggungnya yang makin menjauh.Ingin kuhampiri mereka untuk meluapkan rasa kesalku, tapi semua itu percuma keduanya sama-sama tak punya adab.Kuurungkan niatku untuk menghampiri mereka, percuma saja jika aku marah-marah pada kedua manusia tak ada
Aku meraih ponsel pintarku yang tergeletak di atas nakas, aku menghubungi Rizal ingin menanyakan kodisi galeri, apakan semua baik-baik saja."Halo, Rizal! Gimana kondisi hari ini, semua berjalan lancar? Apa hari ini Mas datang ke galeri?" tanyaku bertubi-tubi."Halo, Mbak Sintya, santai Mbak! nanya satu-satu donk!" Terdengar suara Rizal terkekeh, di seberang sana."Maaf ya, Zal! Mbak, kan lagi banyak masalah, jadi begini deh," jawabku."Semua berjalan lancar, Mbak! Kerjasama dengan para klien juga berjalan lancar. Mas Yudi dari pagi di sini, tapi saat makan siang tadi beliau keluar, hingga sekarang belum kembali," jawab Rizal.Sudah kuduga, pasti sedang asyik jalan-jalan bersama wanita jalang itu, di mall. Sudah menjadi tabiat lelaki itu sekarang, jika sudah bermain gila ia akan lupa semuanya termasuk urusan pekerjaannya.Rasanya muak dan aku tak sabar mengambil alih semuanya, aku ingin lihat bagaimana ekspresi dua manusia itu saat menyadari semuanya, aku yang terlihat diam dan lemah
Pov YudiSintya sudah mengetahui hubunganku dengan Eva, aku sungguh kaget bukan kepalang, tak menyangka Sintya datang ke rumah Eva tepat saat kami sedang melakukan hubungan intim. Rasa kaget, malu, hina semua bercampur jadi satu.Kata maaf yang tulus kuucapkan pun seakan tak berarti apa-apa bagi Sintya. Nasi sudah menjadi bubur, jika aku di suruh memilih Sintya atau Eva, aku ingin memiliki keduanya, Eva sudah menemaniku dari titik nol, bahkan ia rela aku ajak pindah ke kota kelahiranku ini, dan memulai usaha dekor dari nol, ia pun rela memberikan semua uang tabungan miliknya untuk membangun semua impianku.Tapi aku tak bisa menolak pesona Eva yang begitu mampu membangkitkan semangatku, di saat Sintya mulai sibuk di rumah, diam-diam aku menjalin hubungan dengan klienku yang cantik dan mempesona itu.Ah sudahlah, semua sudah terjadi apa mau di kata. Aku yakin, lama-lama Sintya pasti mau menerima Eva, ia sangat mencintaiku dan aku yakin ia akan menerima Eva menjadi madunya. Buktinya kem
"Mas Yudi, kamu kemana aja sih! Beli minum aja lama banget!" rajuknya."Maaf, Sayang! Tadi Mas sekalian cari ATM, jadi agak lama. Kamu sudah selesai belanjanya? udah donk jangan ngambek," rayuku mencolek pipi mulusnya. Ia sedikit tersipu, karena beberapa SPG toko tersenyum melihat kami."Sudah tuh, di kasir tinggal bayar." Sintya menunjuk kasir dengan dagunya."Berapa total semuanya, Mbak?" tanyaku pada petugas kasir. Setelah semua belanjaan Eva selesai di scan."Totalnya jadi dua juta enam ratus ribu rupiah, Pak!" jawabnya.Deg! Uang cash yang aku ambil di ATM tadi tidak cukup untuk membayar belanjaan Eva, aku sedikit gugup melihat isi dompetku."Kenapa, Mas! Bukanya kamu tadi abis ambil uang di ATM kan? Kenapa bingung gitu?" tanya Eva mungkin melihat ekspresiku."Ng–Nggak apa-apa, Sayang! Mbak, pakai kartu debit bisa ya, Mbak?" ucapku menyerahkan kartu ATMku pada wanita cantik petugas kasir itu."Bisa Pak." jawab petugas kasir bernama Intan, terlihat dari nametag yang tersemat di d
Sore hari seperti janjiku, aku kembali ke rumah Eva."Mas, kamu kapan akan menceraikan istrimu?" tanya Eva, padaku yang baru saja tiba dan merebahkan tubuhku di sofa."Eva, Kamu tak keberatan kan, jika kamu jadi yang kedua, aku tak bisa jauh dari Rizki anakku," jawabku. Raut wajahnya berubah masam mendengar jawabanku."Kamu tenang aja, Sayang! Aku janji akan lebih banyak waktuku bersama kamu," tambahku lagi merayunya."Bener, ya! Aku mau kamu lebih banyak waktu di sini, sama aku," sahutnya dengan manja. Aku tersenyum. "Dua Minggu lagi jadi kan kamu nikahin aku, aku udah bilang sama orang tuaku, dan mereka akan kemari minggu depan," tambahnya lagi. Aku terdiam sejenak menatap wajah ayunya."Iya jadi donk, Sayang! Kamu udah bilang juga kan sama orang tuamu kalau kita akan menikah secara siri terlebih dahulu?" tanyaku."Iya aku udah bilang kok, dan mereka nggak keberatan, apalagi calon mantunya seorang pengusaha dekor, mereka pasti bangga aku punya suami orang kaya sepertimu, Mas!" Eva
Malam ini aku akan tinggal di rumah ini sebagai sepasang pengantin baru. Entah kenapa aku justru kepikiran Sintya dan Rizki. Ah, Mungkin karena saat acara ijab kabul tadi Sintya tak hadir di sini. "Mas! Kok bengong, sih!" ucap Eva tiba-tiba, mengagetkan aku yang sedang duduk di teras rumahnya."Nggak apa-apa kok, Sayang!" kilahku melempar senyum ke arah wanita yang sudah sah secara agama ini."Ayo, masuk! Bapak mau bicara," ucapnya kemudian meraih tanganku dan menggandengnya masuk ke dalam rumah.Pak Burhan dan Ibu Ita kedua orang tua Eva, serta Ari adik laki-lakinya tengah duduk di ruang tengah."Duduk Yudi, Bapak pengin ngobrol-ngobrol aja sama kamu," ucap Pak Burhan.Aku mengangguk kemudian duduk berbaur dengan mereka."Jadi kamu ini seorang pengusaha dekor ya Yud?" tanya Pak Burhan."Iya Pak, Alhamdulillah, usaha yang saya rintis dari nol kini mulai berkembang," jawabku santai, sambil menikmati teh hangat dan pisang goreng yang di hidangkan oleh ibu mertuaku."Gini, Yudi, Bapak s
Tak berapa lama pesan darinya kembali masuk.[Makasih, Mas! Nanti sore pulang ke rumah Eva lagi ya, Mas.] Disertai emoticon kiss with heart.Aku tersenyum, tadinya aku berencana pulang ke rumah Sintya, tapi ...Tak ada salahnya malam ini aku kembali ke rumah Eva, menikmati masa-masa pengantin baruku bersamanya. Lagi pula aku malas bertengkar dengan Sintya, gumamku.Sore hari aku pulang ke rumah Eva, saat aku sampai di Eva sudah cantik seperti hendak pergi ke suatu tempat."Kamu mau kemana, Sayang?" tanyaku padanya."Aku mau ke salon sebentar ya, Sayang," jawabnya sambil meraih tas tangan yang tergeletak di sofa."Mau aku antar?" "Tak perlu, Sayang. Salonnya deket kok, aku bawa motor sendiri aja," elaknya."Oke, baiklah. Hati-hati ya."Ia mengangguk dan melenggang keluar rumah. Aku sedikit heran padanya, suami pulang bukannya di bikinin teh atau makanan, malah pergi ke salon. Ah, mungkin ia memang sudah ada janji dengan pemilik salon, karena biasanya sebelum ia ke salon, ia membuat ja
Nah benar kan, kemarahan Sintya pasti sudah mereda, buktinya kini dia menghubungiku. Karena sudah dua hari ini aku tidak pulang ke rumah, pasti Sintya akan memohon dan memintaku untuk pulang. Hatiku tersenyum bangga.Segera Aku geser tombol hijau."Halo, Sin! Ada apa?" tanyaku basa basi."Mas, Rizki sakit dari kemarin nadanya panas, dan dia terus memanggil-manggil kamu, apa kamu bisa pulang sebentar untuk menemui Rizki."Degh!Aku terhenyak mendengar ucapan Sintya dari seberang sana, ternyata dia menghubungiku bukan karena yang aku pikirkan tadi, melainkan Rizki anakku sakit."Kamu sudah bawa ke dokter?" tanyaku."Sudah, tapi panas nya belum juga turun, sore tadi sempat turun, tapi sekarang naik lagi." Terdengar jelas dari suaranya, Sintya sedang di landa kekhawatiran. Aku sempat terdiam beberapa saat."Mas, bisakah kamu pulang sebentar, aku tidak mengharap apapun, selain demi Rizki. Dia terus panggil-panggil nama kamu," ucapnya lagi."Siapa, Mas!" tanya Eva yang tiba-tiba keluar kam