"Eva, Akhirnya rencana Mbak menjodohkanmu dengan Yudi berhasil, dan sedikit lagi Yudi dan Sintya akan bercerai, kau akan menjadi satu-satunya di hidup Yudi."Degh!Apa? Aku seperti kenal pemilik suara itu, suara seorang perempuan yang di tepat di belakangku.Itu suara Mbak Siska, kakak iparku. Aku sedikit memiringkan tubuhku berusaha melirik ke belakang. Tepat dugaanku, Mbak Siska sedang duduk bersama Eva di meja belakangku, posisiku membelakanginya."Iya, Mbak! Tapi kapan donk mereka akan bercerai?" terdengar suara wanita pelak*r itu."Kamu tenang, secepatnya mereka akan bercerai, kemarin Mbak ketemu sama Yudi, dan dia bilang Sintya memang sudah mengajukan gugatan cerainya," ucap Mbak Siska, dengan semangat."Oh ya, bagus deh, biar nanti aku bisa jadi nyonya di rumah itu," sahut perempuan murahan itu."Mbak memang tidak cocok dengan Sintya sejak dulu, tapi Yudi sangat mencintai dia, jadi sulit untuk Mbak memisahkan mereka, dan saat Mbak kenal kamu, Mbak pikir kami lebih cocok berdamp
"Kembaliannya ambil aja ya, dan tolong kasih tau mereka jika makanan mereka sudah di bayar, tapi katakan itu saat saya sudah bangkit dari tempat duduk ini," jelasku. Dia mengangguk paham dengan instruksiku."Baik, Bu! Terimakasih!" sahutnya.Aku mulai memasukkan ponselku dan dompetku ke dalam tas, dan beranjak dari tempat dudukku. Baru saja aku melangkah beberapa langkah, terdengar sang waiters memberitahu mereka jika makanan dan minuman mereka telah di bayar."Siapa yang bayar, Mbak!" tanya Mbak Siska."Mbak-Mbak itu yang bayar, Bu?" Aku melenggang hendak keluar kafe, sepertinya waiters itu menunjuk ke arahku.Langkahku semakin menjauh dari mereka tapi aku masih mendengar percakapan mereka, sengaja aku melangkah dengan pelan."Bukankah itu Sintya? Apa maksudnya dia membayar makanan kita? Apa jangan-jangan dia tadi denger semua obrolan kita?" ucap Mbak Siska, dari suaranya terdengar panik."Sintya!" panggil Mbak Siska.Aku yang sudah di ambang pintu keluar, menoleh sebentar ke arahny
POV YudiPagi ini aku datang ke rumah Sintya, kedatangan Eva yang menyusulku di rumah itu kemarin, membuat suasana semakin panas, entah harus bagaimana lagi caraku membujuk Sintya untuk mengurungkan niatnya untuk bercerai, memang tindakanku berselingkuh dengan Eva sudah menyakiti hatinya. Tapi apa dia tidak memikirkan perasaan Rizki, dia masih terlalu kecil, untuk memahami kondisi seperti ini.Aarrgghh!Teriakku yang masih berada di dalam kamar ini, menghadap cermin yang memantulkan bayangan wajahku sendiri. Aku mencintai mereka berdua, tak bisakah mereka berdamai, dan keduanya menjadi milikku?Eva sangat mempesona, bahkan dia sangat lihai di atas ranjang. Sintya ibu dari anakku, dia istri yang lembut, dan penurut, meskipun sikapnya menjadi berubah 180 derajat sejak aku ketahuan selingkuh."Ada apa, Mas? Kenapa kamu teriak-teriak begitu?" ucap Eva yang tiba-tiba sudah ada di ambang pintu, karena mendengar teriakanku."Ng–Nggak apa-apa, Va! Maaf, Sayang, aku harus ke rumah Sintya sekar
Mendengar kata maafku yang terucap, justru membuat Pak Imran Ayah mertuaku semakin marah, aku hanya pasrah duduk tertunduk di hadapanya, hingga beliau mengatakan sebuah surat perjanjian yang pernah aku tanda tangani sebelum menikahi Sintya.Sontak membuatku mengangkat kepalaku, dan membuat mataku terbuka lebar.Degh! "Su–Surat perjanjian?" tanyaku.Astaghfirullah, surat perjanjian itu, aku memang pernah menandatangani surat perjanjian pra nikah itu. Aku menepuk jidatku, dan berkali-kali aku mengusap kasar wajahku, betapa bodohnya aku. Itu artinya aku akan kehilangan semuanya. Ada rasa nyeri yang menyayat hati aku rasakan.Surat perjanjian yang di ajukan oleh Pak Imran sebelum aku menikahi putrinya, memang awalnya beliau tak menyetujui pernikahan kami, akan tetapi niatku menikahi Sintya begitu tulus, pun dengan Sintya, yang terus mengiba pada Ayahnya agar memberi restu dan bersedia menjadi wali nikah saat itu.Hingga akhirnya beliau mengajakku bicara dan akan merestui pernikahan kami
Aku mengantar Rizki ke tempat Bimbanya, usai kami sarapan bersama, jujur ini kali pertama aku mengantarnya ke bimbanya, biasanya ini menjadi rutinitas Sintya. Tapi kali ini, karena Rizki yang meminta, aku bersedia mengantarnya ke tempat bimba.Sepanjang perjalanan pikiranku kacau, beberapa meter lagi sampai ke tempat bimba anakku, tapi getar ponsel di saku celanaku sangat menggangu, beberapa kali aku abaikan, akhirnya aku menepi sebentar dan melihat siapa yang menghubungiku.Nama Eva tertera di layar ponselku yang masih bergetar, entah kenapa ada sedikit malas untuk mengangkat teleponnya, mungkin karena pikiranku sedang kacau, aku hanya ingin sedikit tenang.Tiga kali sudah aku mengabaikan panggilan masuk dari Eva, namun sepertinya ia tak menyerah, ponselku kembali bergetar. Hingga akhirnya aku geser tombol hijau."Halo Eva ada apa sih? Aku lagi di jalan nih!" ucapku ketus pada wanita yang sudah menjadi istri keduaku di seberang sana."Kamu kenapa sih Mas! Aku cuma mau bilang, aku ma
Bahkan Eva sempat teriak tak terima di ruang sidang, mendengar putusan itu, pun dengan Mbak Siska, dia tampak syok dan sorot matanya menatap tajam ke arah Sintya."Kamu sabar dulu lah, Sayang! Harta kan bisa kita cari lagi nanti sama-sama, yang penting kan keinginan kamu memiliki aku sepenuhnya sudah tercapai, Sayang! Kamu tenang, kita bisa mulai semua dari nol, Oke!" Aku mencoba memberi pengertian pada istri mudaku itu."Apa mulai semua dari nol! Nggak, Mas! Aku kira dengan kamu cerai sama Mbak Sintya, aku bisa jadi nyonya di rumah kamu itu, ini justru kamu jadi gembel dan nggak dapat apa-apa!" ucapnya lagi dengan lantang."Eva, sudahlah! Sejak di pengadilan tadi kamu marah-marah terus, aku jadi tambah pusing!" cetusku."Mas pikir aku tidak pusing! Aku juga pusing, Mas!" Eva terlihat frustasi, beberapa kali Eva memegang kepalanya, dengan kedua tangannya, membuat rambut hitam lurus sebahu itu menjadi berantakan.Braak!Eva menutup pintu dengan kasar, ia pergi keluar rumah, entah mau
"Ayo cepet jalan, Yud!" Mbak Siska menepuk punggungku menandakan ia sudah duduk di jok belakangku dan siap jalan. Aku mengangguk dan melajukan kuda besiku.Aku kendarai motorku membelah jalanan, jika benar Eva ada di sana, apa yang dia lakukan di sana, hatiku bertanya-tanya.Aku lajukan kuda besiku dengan kecepatan tinggi, ada sedikit kekhawatiran takut kalau-kalau Eva berbuat nekat, dan berbuat onar di sana, karena sebelum pergi Eva tampak emosi dan tak terima dengan kenyataan ini."Yud, kita cari jalan pintas aja biar cepat sampai," ucap Mbak Siska yang duduk di belakangku sedikit mengeraskan suaranya, agar bisa terdengar olehku.Aku mengangguk dan mulai mencari jalan tikus agar bisa sampai lebih cepat.Aku sudah memasuki komplek perumahan, tempat tinggalku dulu. Tinggal beberapa meter lagi aku sampai di rumah itu, rumah yang cukup besar, dan menyimpan banyak kenangan dengan Sintya dan Rizki anakku."Mbak, kalau mau pisah sama Mas Yudi ya pisah aja! Relakan Mas Yudi hidup sama Aku!
Aku sedikit heran, beberapa menit yang lalu dia mengusir kami, tapi kini memintaku untuk menunggu sebentar, apa yang akan di ambilnya, aku bertanya-tanya sendiri."Ini Mas! Bawa semua barang-barangmu! Siapa tau kamu masih memerlukannya." Sintya melempar Sebuah koper berwarna hitam, aku ingat itu koper yang dulu aku beli beberapa hari sebelum pernikahan kami."Bawa koper itu dan tolong kamu tinggalkan motor kamu itu di sini, Mas! Bukankah motor itu sudah bukan milikmu lagi!"Belum sempat aku mengeluarkan sepatah katapun, kini ucapan Sintya benar-benar membuatku tercengang, dia menyita motorku, benar-benar dia sudah keterlaluan."Kamu sudah keterlaluan, Sintya! Apa tidak bisa aku memberikannya lain waktu!" Aku mulai tersulut emosi melihat tingkahnya."Apa Mas?! Aku keterlaluan? Justru ini akan memudahkanmu, jadi kau tak perlu bolak balik kemari untuk mengambil pakaianmu, dan mengantarkan motor itu," cetusnya."Sintya Mas mohon! Biarkan beberapa waktu ini Mas pakai dulu motornya sampai M