Share

Bab 5

KETUPAT UNTUK EMAK

“Daffa, Daffa Sayang, kemana aja kamu, Nak?” Seorang perempuan muda memeluk Alif yang tengah tertidur di teras masjid.

Alif terbangun karena pelukan dari perempuan tersebut serta suara berisik dari mulut perempuan itu. Ia mengerjapkan kedua matanya dan berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi, tiba-tiba saja ada seorang perempuan dewasa memakai hijab memeluknya begitu saja.

“Ta-Tante siapa? Saya nggak kenal sama Tante!” Alif mengernyitkan Kedua alisnya ia berusaha untuk melepaskan pelukan perempuan itu dari tubuhnya.

“Maaf Tante, kita bukan mahrom,” tolak Alif secara halus.

Perempuan itu menggelengkan kepalanya dengan cepat, ia mendelik pada Alif, “Tidak!” teriaknya.

“kamu itu Daffa anakku yang udah lama pergi dari rumah. Daffa Sayang, jangan tinggalin Mamah lagi ya, Nak! Mamah udah pusing nyari-nyari kamu kemana-mana,” perempuan itu bersikeras mengira bahwa Alif itu adalah Daffa, anak kandungnya.

“Maaf Tante, nama saya Alif bukan Daffa, Tante. Dan ibu kandung saya itu Emak, bukan Tante!” Alif pun bersikeras pada pendirian serta jati dirinya.

“Nggak! Kamu itu Daffa! Kamu itu Daffa anak saya!” Ayok Daffa kita pulang, Sayang! Ayok Sayang, Mamah bakalan buatin masakan kesukaan kamu lagi, Nak!” perempuan itu menarik paksa lengan kiri Alif agar Alif mau ikut bersamanya.

“Maaf Tant ….”

“Naylaaa!” suara Alif terhenti karena adanya teriakan seorang pria dewasa dari bawah tangga masjid.

Alif dan perempuan itu menoleh secara bersamaan kepada asal muasal suara itu.

“Nayla! Ayok kita segera pulang Sayang. Sadarlah kalau Daffa itu sudah tiad ….” Pria dewasa itu menatap Alif tak henti-hentinya, nafasnya seakan tercekat, mulutnya menganga ia mengedipkan kedua bola matanya. Lalu Setelah itu ia mengucek kedua matanya dengan kedua tangannya.”

“Kamu … kamu ….” Ucapnya tak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya kini.

“Nama saya Alif, Om!” ucap Alif memecah kesunyian di antara mereka, sementara itu perempuan yang dipanggil dengan nama Nayla oleh pria dewasa itu masih diam tak bergeming memegang tangan kiri Alif dengan sangat erat.

“Kamu, kamu mirip sekali dengan almarhun putra kami yang meninggal karena kecelakaan lalu lintas tiga bulan yang lalu. Karena itulah, istri saya Nayla mengalami depresi, dia tak terima karena telah kehilangan Daffa, putera kami satu-satunya,” tegasnya.

Alif yang mendengar penuturan pria dewasa itu, ia hanya diam terpaku mendengar penuturan pria tersebut.

“Tolong maafkan istri saya karena dia sudah menganggap kamu anak kami. Dia masih belum bisa menerima kehilangan putera kami untuk selama-lamanya,” ucapnya penuh penekanan.

Alif hanya menganggukkan kepalanya dengan sangat pelan ia hanya pelanga-pelongo tidak mengerti apa yang sudah terjadi. Baginya kini hanya ingin membahagiakan emaknya di rumah dengan membawa uang yang sangat banyak agar emak bisa memasak ketupat lebaran serta gamis baru untuk dipakai emaknya saat hari raya tiba nanti. Alif menelan salivanya yang terasa sangat kering itu, Alif yang sedang beribadah saum ditambah sudah berjalan cukup jauh ke sana kemari untuk menjual buah salaknya, ototmatis telah membuat salivanya tersa sangat kental sekali di tengah cuaca yang sangat terik ini.

“Dek, kalau Adek nggak keberatan, izinkan saya mengantar Adek untuk pulang ke Rumah Adek. Saya janji nggak akan berbuat jahat sama Adek. Siapa tahu, dengan mengetahui tempat tinggalnya Adek dimana, saya bisa mengantarkan istri saya untuk sering bertemu dengan Adek. Dan mudah-mudahan apa yang saya lakukan itu menjadi penyembuh bagi sakit depresi istri saya, Dek!” pinta pria dewasa itu dengan lembut.

Alif hanya diam tak menjawab sepatah katapun, bukannya apa-apa, dia hanya malu bila ada orang yang mau bertandang ke rumahnya. Masalahnya Rumah emak Alif itu sudah jelek dan juga sudah reyot, rasanya sangat riskan sekali bila mengajak siapa saja untuk bertemu ke rumahnya.

“Tenang Dek, saya tidak akan berbuat jahat sama Adek. Saya Cuma minta tolong sama Adek untuk kesembuhan istri saya ini,” pintanya lagi pada Alif.

Ali menghela nafasnya, ia menatap iba pada perempuan yang bernama Nayla itu. Lalu Setelah berpikir matang, karena kasian Alif pun mengizinkan pria itu untuk datang ke Rumah emak Alif di kampung sebelah.

“Alhamdulilla! Terima kasih banyak, Dek! Oh iya sebelumnya perkenalkan dulu nama saya Rendi. Panggil saja saya Om Rendi,” pria yang bernama Rendi itu menyodorkan tangannya untuk bersalaman dengan Aliff. Alif pun menyambut tangannya untuk bersalaman dengan pria yang bernama Om Rendi.

“Kamu bisa panggil saya Om Rendi, atau kalau mau panggil saya Ayah Rendi juga boleh! Kalau kamu tidak keberatan ….” Pintanya penuh harap pada Alif.

Alif hanya menggeleng pelan, “tidak Om, saya panggil Om aja!” tolak Alif secara halus.

Tentu saja Alif tidak akan mau memanggil pria yang baru dikenalnya itu dengan sebutan Ayah, semua itu sungguh sangat terdengar rancu di telinganya.

Rendi pun menghembuskan nafasnya dengan kasar, ia menggigit bagian bawah bibirnya Rendi sedang berpikir sejenak, “Dek, gimana kalau sekarang aja saya antarkan Adek ke Rumah Adek, saya ingin tahu dimana rumahnya Adek,” pinta pria itu dengan mimik wajah serius.

“Tapi Om, saya masih harus berkeliling kampung buat berjualan salak, Om!” tolak Alif.

"Tapi ini salaknya juga tinggal sebungkus lagi."

"Hm, stok salak di rumah saya masih ada kok, Om."

“Tenang aja, Dek! Nanti saya beli semua jualan salak punya Adek! Bentar ya, Dek ….” Rendi mengeluarkan dompet dari belakang saku celananya, dompet itu bermerk ‘ular piton’ merk dompet yang mahal dan juga terkenal di dunia.

“Ini Dek, ini uang untuk membeli semua jualan salak kamu hari ini, kalau masih kurang saya bisa tambahkan lagi ….” Rendi menyerahkan 10 lembar uang 100 ribuan pada Alif.

Kedua mata ALif terbelalak dengan sempurna melihat lembaran merah yang sangat banyak itu, seumur hidup ia belum pernah memegang uang sebanyak itu. Paling banter 100 ribu itu pun hanya megang sesaat saja. Setelah itu pasti langsung diberikan pada emak untuk dibelanjakan beras serta kebutuhan harian lainnya.

“Kenapa Dek, apa masih kurang? Ini saya tambahin lagi ya kalau gitu,” Rendi hendak mengambil dompetnya kembali.

“Eh Om, bukannya gitu tapi uangnya justru kebanyakan, Om!” seru ALif.

“Ya udah kalau gitu kamu terima uang dari saya ini ya, ini rezeki kamu hari ini dari Allah. Kamu tidak usah sungkan.”

Rendi menyerahkan uang itu di tangan kanan Alif dan melipat jari Alif hingga Alif menggenggam uang itu.

“Alhamdulillah Ya Allah ….” Alif langsung sujud syukur saat itu juga di teras masjid.

Alif telah mengalami hari yang berat, dimarahi, ditipu, diusir lalu buah salaknya ada yang mencari, tapi karena buah kesabaran dari Alif langsung dibalas kontan oleh Allah saat itu juga dengan kebaikan yang berlipat-lipat lagi. Rendi terharu melihat kebaikan dan kesolehan dari anak seumuran Alif.

“Alhamdulillah Ya Allah, Akhirnya ada rezeki untuk bikin ketupat opor dan beli gamis baru buat emak,” gumam Alif dengan Kedua netranya yang mulai berkaca-kaca.

Akhirnya Alif pulang ke Rumah Emaknya diantar oleh Om Rendi ia mengendarai mobil di depan, Alif duduk di belakang ditemani Nayla, karena Nayla tidak mau jauh dari Alif. Sementara keranjang untuk Alif berjualan, ia simpan di bagian belakang mobil Om Rendi.

Sesampainya di kampung Alif, terlihat bendera kuning melambai terikat di atas pagar Rumah Alif.

“Lho, kok ada bendera kuning sih di Rumah Alif!” Alif keheranan melihat bendera kuning itu, “kok banyak sekali tetangga di Rumah Alif sih?” Alif bertambah bingung dengan apa yang dilihatnya.

“Di sini Om, ini Rumah Alif!” seru Alif pada Rendi.

Rendi pun segera memarkirkan mobilnya di halaman depan Rumah Alif, mereka semua turun dari mobil. Alif berjalan di halaman rumahnya, semua tamu yang hadir baik di teras maupun di dalam Rumah menatap iba pada Alif, Alif semakin bingung melihat orang-orang dengan wajah yang muram saat melihatnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status