Share

bab 6

“Alif yang sabar ya, ikhlaskan semuanya ….”

Seorang pria paruh baya menghampiri Alif dan memegangi bahu Alif dengan begitu erat. Alif masih bingung dan tidak begitu mengerti dengan apa yang telah terjadi. Ia melihat tampak tubuh yang sedang terbujur kaku yang sedang ditutupi oleh kain jarik berbaring di ruang depan rumahnya.

Alif masih berpikiran positif, ia sangat berharap kalau yang sedang berbaring itu adalah orang lain, bukan siapa-siapa.

“Lif, ikhlasin emakmu ya Lif. Untuk sementara, Bapak akan temani kamu di rumah ini, karena Bapak tahu betul kalau kamu itu sebatang kara ….”

Pak Qosim yang dikenal dengan Pak RT di kampung Alif sangat baik dan dan sangat perhatian kepada warganya itu, ia memberikan perhatian lebih kepada Alif yang notabenenya Alif adalah seorang yatim piatu yang tidak memiliki sanak saudara atau tidak memiliki siapa-siapa lagi.

“Ma-maksud Pak RT, apa?” tanya Alif dengan bibirnya yang bergetar.

“emakmu, Lif. Emakmu sudah meninggal Lif,” jawab Pak RT dengan wajah sendunya.

“Emak ….” Tubuh Alif terasa sangat lemas sekali saat itu juga, kedua lututnya seakan sudah rontok saja tulang-tulangnya. Jantung Alif seperti berhenti berdetak dan seketika itu darah seperti berhenti mengalir ke seluruh tubuhnya.

Tubuh Alif hampir limbung dan ia hampir saja ia jatuh menyentuh lantai rumahnya yang belum dipassang keramik itu. Tapi dengan sigap Pak RT memegangi tubuh Alif dibantu dengan Om Rendi yang memegangi tubuh ALif di bagian belakang. Sementara Nayla, istrinya Rendi masih setia duduk di samping Alif karena ia tidak mau jauh-jauh dari Alif.

“Tolong ambilkan segelas air minum untuk Nak Alif,” titah Pak RT kepada salah satu warga yang sedang takziyah di rumah sederhana Alif.

Seorang Ibu datang dari dapur dengan membawa segelas air putih dan memberikannya kepada Pak RT.

“Lif, ini diminum dulu ya ….”

“Alif sedang shaum Pak RT ….” Jawab Alif dengan suara parau.

“Nggak apa-apa, Lif. Kamu boleh berbuka sahum bila kamu mau, dihalalkan untuk berbuka shaum bila kamu sedang mengalami musibah seperti ini, Allah Maha Mengetahui,” sahut Pak RT.

“Nggak Pak RT, Alif masih mau shaum sampai nanti maghrib,” ALif menggelengkan kepalanya dengan pelan.

Pak RT menghela nafasnya dengan panjang ia meletakkan gelas itu di sisi tembok rumah Alif yang sudah banyak lubang di pinggirnya.

Kedua netra Alif mulai berkaca-kaca, pandangannya berkabut karena embun dari kedua matanya. “Emak ….” Dada Alif bergetar hebat, pertahanannya runtuh sudah Alif menangis sesenggukan di pelukan Pak RT Qosim yang sangat baik hati dan juga sangat perhatian kepada warganya itu.

“Ikhlasin kepergian emakmu, Lif. Bapak sangat mengerti betul kepedihanmu, kamu adalah anak yang sangat sholeh dan berbakti kepada kedua orang tuamu. Semua ini sudah takdir Yang Maha Kuasa, sekarang yang mesti kamu lakukan adalah mendoakan kedua orang tuamu agar mereka ditempatkan di syurganya Allah Azza Wajalla. Doa anak sholeh akan mengalir terus bagi kedua orang tuanya yang sudah tiada,” Pak RT berusaha menenangkan ALif yang sedang dirundung duka.

Air mata Alif tak berhenti mengalir sedari tadi, meskipun Alif sudah melewati hari yang sangat berat dari subuh hingga siang ini. Tapi inilah ujian yang sangat berat bagi kehidupan Alif, ditinggal emak Alif untuk selama-lamanya dari dunia ini adalah hal yang paling berat untuk bisa diterima oleh akal sehatnya. Tentu tidak mudah bila ditinggal oleh orang yang kita sayangi dari dunia ini untuk selama-lamanya, tapi inilah kehidupan ada yang datang, banyak pula yang pergi meninggalkan dunia yang fana ini untuk selama-lamanya.

Alif masih harus beradaptasi untuk menerima kehilangan orang yang paling disayanginya, satu-satunya orang tua yang masih Alif miliki di dunia ini, yaitu Emak Munaroh.

Alif menyeka air matanya dengan sangat pelan, meskipun Alif sangat berduka saat ini, tapi Alif bukanlah anak yang cengeng, Alif adalah seorang anak yang sholeh yang memiliki kepribadian yang kuat dan juga mandiri. Sedari kecil Alif sudah terbiasa dididik dengan didikan moral dan juga rasa tanggung jawab yang sangat tinggi oleh almarhum kedua orang tuanya, itulah yang membuat Alif tumbuh menjadi anak yang kuat dan mandiri.

Setelah proses pemakaman almarhum emak Alif, adzan maghrib pun berkumandang, Alif dan semua warga sudah berbuka saum juga sudah melaksankan sholat maghrib berjamaah di masjid. Beberapa warga dan Pak RT kembali ke rumah ALif tak ketinggalan Rendi dan juga Nayla, istrinya.

Karena merasa sangat iba akan kehidupan Alif yang sangat pilu mengingat Alif yang masih di usia sangat dini telah ditinggal oleh emaknya untuk selama-lamanya, maka Rendi berinisiatif ingin mengangkat Alif sebagai anaknya, mengingat Nayla istri kesayangannya itu pasti akan senang sekali bila Alif ikut bersamanya. Ini juga mungkin akan menjadi jalan kesembuhan bagi Nayla bila Alif menjadi anak angkat mereka.

“Hm, Pak RT. Mohon maaf sebelumnya, perkenalkan nama saya Rendi dan ini istri saya Nayla, bila Pak RT dan warga lain tidak keberatan, izinkan saya dan juga istri saya untuk mengangkat Alif sebagai putera kami. Kebetulan, Alif mirip sekali dengan almarhum putera kami yang meninggal karena kecelakaan lalu lintas beberapa waktu lalu,” Rendi menghentikan ucapannya dan ia menghela nafasnya.

“Semenjak kepergian putera kami itu, istri saya jadi sangat bersedih dan merasa sangat kehilangan atas kematian putera kami itu. Sepertinya ia belum bisa menerima kepergian putra kami itu untuk selama-lamanya,” Rendi melanjutkan ucapannya sementara seluruh warga dan juga Pak RT masih setia mendengarkan penuturan Rendi.

Karena Pak RT tidak memiliki hak sepenuhnya atas Alif, maka ia pun mengembalikan semua keputusan kepada Alif sepenuhnya, “semua tergantung Nak Alif, apa Nak Alif mau ikut dengan Pak Rendi?” tanya Pak RT sembari menatap Alif dengan wajah iba.

Alif pun bingung, di satu sisi dia baru saja mengenal Om Rendi dan Tante Nayla tadi siang, tapi bila di rumahnya maka ia akan sendirian.

“Alif, kamu sekarang sendirian, Nak. Kamu harus memiliki wali, karena kamu masih di bawah umur,” ujar Pak RT berusaha meyakinkan Alif yang masih dilanda kebingungan.

Alif sedang mencerna baik-baik ucapan Pak RT, penuturan Pak RT itu memang ada benarnya juga.

“Tenang saja, Pak RT. Kami akan menyekolahkan Alif di sekolah terbaik di kota kami, kami juga akan memberikan kehidupan yang baik dan layak bagi Alif. Tanpa bermaksud sombong, tapi saya memiliki perusahaan yang sukses di bidang travel dan juga jasa ekspedisi pengiriman barang antar kota.”

Rendi tampak meyakinkan semua orang dan juga Alif agar ia mau ikut dengannya dan tentu saja agar Alif mau diangkat sebagai anak angkat mereka.

“Kami memegang ucapan Bapak Rendi, bila suatu waktu ada yang tidak beres dengan Bapak Rendi dan keluarga tentang pengurusan Nak Alif, Bapak Rendi harus siap untuk menerima konsekuensinya. Soal Alif kami kembalikan lagi kepada Nak Alif karena keputusan ada di tangan Alis sepeuhnya,” jawab Pak RT.

“Karena Alif wajib memiliki wali karena ia masih di bawah umur, bila ia tidak mau ikut dengan Om Rendi suatu saat pasti akan ada pihak dari dinas sosial yang datang untuk merawatmu, Nak Alif.”

Pak RT berusaha untuk meyakinkan Alif agar Alif mengambil keputusan yang tepat, Bagaimanapun juga Alif bukan anak kecil lagi, Alif sudah bisa mengambil keputusan sendiri. Hanya saja, Alif masih di bawah umur jadi Alif masih memerlukan wali.

“Sejak pertama bertemu dengan Alif, kami sudah jatuh hati kepada Alif, saya dan istri sudah menyayangi Alif seperti anak kandung kami sendiri,” tutur Rendi.

Setelah berpikiran dengan sangat matang, maka Alif pun dengan sangat berat hati memutuskan untuk ikut dengan Om Rendi untuk menjadi anak angkatnya.

“I-iya, saya mau Pak RT.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status