Share

bab 8

“Jangan mentang-mentang anak saya itu mengangkat kamu sebagai anak angkatnya terus kamu bisa seenaknya tinggal di sini, ya!” perempuan itu melotot tajam pada Alif, ia tak henti-hentinya memperhatikan Alif dari ujung kaki hingga ujung kepala.

Glek!

Alif menelan salivanya dengan susah payah, Alif hanya bisa menundukkan kepalanya tanpa berani menatap ke arah perempuan paruh baya itu.

“Jangan mentang-mentang kamu memiliki wajah yang sangat mirip dengan almarhum cucu saya, lantas saya bakal tiba-tiba menyayangi kamu gitu, lalu saya tiba-tiba menerima kamu sebagai cucu saya gitu? Begitu maksud kamu, hah?” perempuan itu berbicara dengan nada yang sedikit ditinggikan.

Alif hanya diam tak bergeming seraya menggelengkan kepalanya dengan sangat pelan.

Kini, Alif serta perempuan paruh baya itu saling duduk berhadap-hadapan di atas kursi sofa yang ada di ruang depan kediaman Rendi.

“Hm, tapi lumayan juga kamu tinggal di sini, saya bisa memanfaatkan situasi ini dengan menggunakan tenaga kamu yang masih kuat itu, hm hm,” perempuan paruh baya itu tersenyum sinis kepada Alif.

Setiap jari tangan perempuan itu memakai cincin berlian yang kilaunya sangat menyilaukan mata itu bila terkena dengan pantulan cahaya, Alif hanya bisa mengelus dada dan menghela nafas dengan sangat Panjang.

“Ingat ya! Jangan harap saya bisa menerima kamu sebagai bagian dari keluarga ini! Kalau bukan karena Nayla yang depresi kehilangan Daffa beberapa waktu yang lalu, saya sih ogah menerima kamu di sini. Kamu hanya memiliki kesamaan wajah saja dengan almarhum Daffa.”

Perempuan itu menyilangkan kedua tangannya di dada sembari menyenderkan punggungnya ke senderan kursi sofa. Sama sekali tidak ada senyuman yang terpancar dari bibir yang sudah mulai dihiasai dengan keriput itu, wajahnya benar-benar memancarkan aura jutek dan sinis kepada Alif tampak sekali bila perempuan itu tidak suka bila Alif tinggal di rumah mewah milik Rendi itu.

“Asalaamu’alaikum ….”

Rendi dan Nayla baru saja pulang dari urusan mereka, sontak saja hal ini mengagetkan perempuan itu dan juga Alif.

“Heh, ingat ya! Jangan katakana hal ini pada siapapun! Kalau tidak, kamu akan tau sendiri akibatnya! Camkan itu! Bocah miskin!” perempuan itu berbisik kepada Alif sembari memeberikan kode keras agar Alif memahami betul ancamannya itu.

Lagi-lagi Alif hanya bisa pasrah dan menggangguk pelan menerima perlakuan yang kurang baik dari salah satu penghuni di rumah Rendi itu.

Rendi dan Nayla mendekati mereka berdua, “eh, ternyata Mamah sudah kenalan ya sama Alif!” seru Rendi kepada perempuan yang berwajah jutek itu.

“Oh, iya nih Mamah sengaja nemenin Alif, abis kasian banget kan Alif ini duduk sendirian di rumah sebesar ini. Pasti dia baru pertama kali masuk ke rumah sebagus ini, iya ‘kan Alif?” wanita itu tersenyum tipis kepada Alif seraya memberikan isyarat agar Alif tidak memberi tahukan apa yang sudah dikatakannya kepada Alif barusan.

Alif yang canggung dari tadi ia hanya diam terpaku duduk di sofa dengan kepala yang kembali tertunduk.

“Hm, Alif kok masih di sini? Kamu bukannya istirahat ke kamar kamu.”

Rendi berbicara dengan sangat ramah dan duduk di samping kiri Alif, sementara Nayla duduk di samping kanan Alif.

“Udah, biar Mamah aja yang anterin Alif ke kamarnya,” wanita yang dipanggil Mamah oleh Rendi berdiri tegak dan melangkah mendekati Alif.

Alif tiba-tiba saja mendongakkan kepalanya dan menatap wanita itu dengan terkejut setengah mati.

“Mamah nggak keberatn gitu nganterin Alif?” tanya Rendi ramah.

“Nggak apa-apa, hayu Alif Omah anterin ke kamar kamu, ya,” wanita itu merangkul bahu Alif dengan sangat terpaksa dan sangat berat mau tidak mau Alif pun menuruti titah wanita itu.

“ya udah Lif, kamu istirahat ya. Kamu pasti capek banget, kan? Besok Papah mau daftarin kamu ke sekolah swasta terbaik di kota ini,” papar Rendi dengan tersenyum ramah pada Alif.

Alif menoleh sekilaas pada Rendi dan tersenyum manis padanya, tiada sepatah katapun yang meluncur dari bibir manis anak remaja itu.

Alif berjalan beriiringan dengan wanita paruh baya itu, wanita yang mengaku dirinya dengan sebutan Omah, mereka meniti setiap anak tangga dengan perlahan-lahan dan sangat hati-hati seolah tidak ada satu pun yang terjadi di antara mereka.

“Heh senyum sama Rendi dan juga Nayla dari kejauhan,” bisik Omah pada Alif. “Jangan sampai mereka berdua itu curiga!” bisiknya lagi.

Omah dan Alif tersenyum kepada Rendi dan Nayla yang sedang duduk di atas sofa, Omah mencengkeram bahu Alif agak keras hal ini telah membuat Alif meringis agak kesakitan. Tapi Alif memaksakan dirinya untuk tersenyum kepada mereka berdua.

Sesampainya di depan pintu kamar Alif yang berada di lantai dua.

“Heh, jangan mentang-mentang Rendi anak saya itu baik sama kamu, terus saya mau baik sama kamu juga!” Kedua bola mata Omah melotot kepada Alif seperti hendak mau keluar dari tempatnya saja.

“i-iya, Omah,” jawab Alif dengan kedua matanya yang sendu karena masih berduka setelah kehilangan emaknya untuk selama-lamanya.

“Hah, apa kamu bilang? Omah? Ha ha ha … apa saya tidak salah dengar? Berani-beraninya kamu memanggil saya dengan sebutan Omah!” Kedua bola mata Omah kembali terbelalak dengan sempurna seperti hendak menerkam Alif bulat-bulat saat itu juga.

Alif terkejut dan gelagapan dibuatnya saat menatap wajah Omah yang sangat sinis dan jutek kepadnaya.

“Heh, denger ya! Jangan pernah sekali-kali memanggil saya dengan sebutan Omah, ya. Sampai kapanpun juga, saya tidak akan pernah menjadi Omah kamu! Kita ini bukan siapa-siapa, tidak ada hubungan darah dalam tubuh kita.”

Alif terdiam dan mendengarkan dengan seksama penuturan Omah.

“Panggil saya dengan sebutaN Nyonya Besar atau Nyonya Marni. Kamu mengerti?”

“I-iya, Nyonya besar,” jawab Alif dengan gugup.

“Kamu bisa panggil saya dengan sebutan Omah hanya di depan Rendi dan juga Nayla. Kalau tidak ada mereka di sekitar kita, panggil saya dengan sebutan … apa tadi?” Nyonya Marni mendelik tajam kepada Alif.

“Panggil dengan sebutan Nyonya Besar,” ucap Alif dengan bibirnya yang gemetar.

“Hm, bagus! Bagus! Kamu memang anak yang sangat pintar. Saya pergi dulu, kamu masuk kamar dan tidurlah dengan sangat nyenyak malam ini. Karena besok, akan banyak sekali tugas yang menanti untukmu.”

Akhirnya Omah atau Nyonya Marni meninggalkan Alif sendirian di depan pintu kamarnya. Alif pun masuk ke dalam kamar tidur barunya yang memang tidak dikunci.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status