Mau tak mau, suka tak suka, aku menyeret si hantu tampan yang kini terlihat lebih ketakutan dari sebelumnya ke depan apartemen nomor 13. Wajahnya pucat, tapi dia tidak berkata apa-apa. Mungkin sadar bahwa jika dia melawan, aku bisa saja benar-benar mengusirnya mentah-mentah dari sini.
Kami kini berdiri di depan pintu apartemen yang terlihat sunyi. Sayangnya, pintu itu terkunci rapat, dan kami sama sekali tidak memiliki kuncinya. Aku menatap pintu tersebut sambil menghela napas. Apa sekarang harus menyerah saja? Tidak, aku bukan tipe yang mudah menyerah tanpa mencoba. Aku memutuskan untuk mencari bantuan. Langkah kakiku membawa aku ke bagian pos satpam. Seorang pria penjaga tua berdiri di sana, wajahnya penuh dengan keraguan begitu aku mulai mengajaknya berbicara. "Pak, apa Bapak tahu sesuatu tentang apartemen nomor 13?" tanyaku sambil mencoba terdengar biasa saja, walaupun ada rasa ingin tahu yang mendesak di hatiku. Dia mengernyit sejenak, lalu menjawab dengan nada pelan dan hati-hati, "Hmmm... itu, anu, Neng..." Aku melihatnya ragu-ragu, seperti menimbang apakah dia harus menceritakannya padaku. "Tapi janji, jangan bilang siapa-siapa, ya?" lanjutnya, suaranya sedikit bergetar, membuat rasa penasaran di hatiku semakin besar. Aku pun mengangguk tanpa berpikir dua kali. "Neng tahu nggak," dia mulai berbisik seperti orang yang takut suaranya terdengar oleh siapa pun, "dari apartemen yang Neng tinggali sampai yang ujung itu nggak ada yang mau menempati. Gosipnya, apartemen-apartemen itu berhantu." Hantunya? Aku menelan ludah, mencoba menahan diri agar tidak terlihat terlalu terkejut. Jadi ini sebabnya apartemen ini terasa aneh sejak pertama kali aku pindah ke sini. Aku melirik ke arah si hantu tampan di belakangku yang kini tampak seperti ingin menghilang begitu saja. Aku mendengarnya berbisik kecil, "Itu tidak sepenuhnya gosip..." tapi aku memutuskan untuk pura-pura tidak mendengarnya. "Kabarnya ada cerita menyeramkan tentang salah satu apartemen di sini, konon dulu ada pria muda yang pernah bunuh diri di sana. Tapi saya tidak tahu dia dulu di apartemen nomor berapa," ujar satpam tua itu sambil menghela napas panjang. "Terus?" tanyaku, mencoba menggali lebih banyak dengan rasa penasaran yang sulit kubendung. Satpam itu melirikku sejenak sebelum melanjutkan, "Pernah ada penghuni di salah satu apartemen itu, katanya dia jatuh sakit dan akhirnya jadi gila. Katanya dia terus-menerus dihantui oleh penghuni lama apartemen tersebut." Ucapan satpam itu terkesan serius, dan nadanya seperti ingin menekanku. "Makanya, Neng, saya heran kok mau tinggal di sini. Gak takut apa?" tanyanya sambil menatapku dengan raut wajah prihatin. Aku hanya tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan reaksiku. Di dalam hati, aku berpikir, Takut? Entahlah. Mungkin justru rasa penasaran ini lebih besar daripada rasa takut itu sendiri. "Oh ya, Pak," kataku akhirnya, mencoba mengalihkan topik. "Bapak punya kunci apartemen nomor 13? Kalau ada, boleh saya pinjam sebentar?" Wajah satpam itu berubah sedikit terkejut. "Untuk apa, Neng?" "Ah, saya cuma mau lihat-lihat saja, Pak," jawabku santai, mencoba terdengar seolah aku tidak peduli dengan cerita menyeramkan barusan. "Siapa tahu saya lebih suka tinggal di nomor 13. Soalnya apartemen nomor 14 ada hantunya, Pak!" sambungku sambil terkekeh, berniat bercanda. "Serius, Neng?" Satpam itu kini terlihat semakin bingung, menatapku dengan alis yang hampir menyatu. "Iya, serius," balasku dengan nada jahil. "Tapi hantunya gak jahat kok, cuma menyebalkan," tambahku sambil tersenyum, mencoba menyembunyikan niatku yang sebenarnya. Di dalam hatiku, aku bertanya-tanya, "Apa yang sebenarnya bersembunyi di balik pintu apartemen nomor 13 itu? Dan kenapa aku justru semakin tertarik dengan cerita horor ini?" "Si Eneng ada aja. Mana ada hantu nyebelin? Yang ada itu hantu menyeramkan," ujar Pak Satpam sambil menyerahkan kunci apartemen nomor 13 kepadaku. Aku hanya mengangguk sambil menerima kunci itu dengan cepat. "Terima kasih, Pak! Nanti saya kembalikan kuncinya," ujarku dengan senyum kecil, lalu bergegas menuju apartemen nomor 13. "Heh, kamu yakin mau masuk ke sana?" tanya si hantu tampan yang sedari tadi terus mengekor di belakangku dengan gaya sok tahu. "Iya," jawabku singkat, malas meladeni ocehannya. "Sebaiknya jangan, deh. Aku serius, jangan!" Dia kembali mencegahku, nada suaranya mulai terdengar mendesak. "Dasar bawel!" Aku memutar tubuhku, memelototi hantu tampan yang sudah mulai membuatku kesal. Seburuk apa pun suasana apartemen ini, aku tidak perlu mendengar ceramah dari makhluk gaib seperti dia. "Ya sudah, kalau kamu memang sudah bosan hidup, ya silakan saja!" balasnya sinis sambil menyilangkan kedua lengannya. Satu alisnya terangkat, tatapannya penuh keengganan yang membuatku ingin lebih membuktikan keberanianku. Dengan emosi yang mulai memuncak, aku memutar kunci apartemen itu tanpa ragu dan membuka pintunya. Si hantu tampan—meski cerewet—ku tarik masuk ke dalam bersamaku. "Kalau kamu pintar ngomong, bantu sekalian," gumamku dalam hati. Begitu pintu tertutup di belakang kami, udara di dalam ruangan langsung terasa berat. Aku mematung sejenak, merasakan bulu kuduk yang tiba-tiba berdiri. Aura magis di sini begitu kental, bahkan terlalu kental hingga menusuk tulang. Ada sesuatu di sini—sesuatu yang terasa tidak wajar, nyaris menyesakkan. Pandangan mataku menyapu setiap sudut apartemen dengan saksama. Tanda-tanda keanehan mulai bermunculan dalam bayanganku. "Mana si hantu tante-tante yang kamu sebut tadi?" tanyaku pelan sambil tetap berjaga-jaga. Namun di dalam batinku, aku tak bisa menyangkal bahwa rasa takut mulai merayapi hatiku, meski kututupi dengan tampang tenang. Apa aku sudah membuat kesalahan besar dengan masuk ke sini? Tiba-tiba, suara tawa seorang wanita dewasa menggema memenuhi ruangan, dingin dan menyakitkan telinga. Dari atas loteng, sosok itu muncul—seorang hantu bertubuh tambun dengan makeup yang mencolok. Matanya gelap seperti jurang tanpa dasar, rambutnya tergerai hingga menyentuh lutut, memberiku kesan bahwa kematian saja tidak cukup untuk mengekang kebrutalannya. “Siapa kamu? Berani-beraninya masuk ke tempatku?” suaranya keras, penuh amarah yang menusuk. Aku menatapnya tanpa ragu. “Mau tahu siapa saya? Saya Kimmy! Kehadiran saya di sini untuk mengusir kamu!” jawabku dengan nada tegas, meskipun aku tahu apa pun yang akan terjadi selanjutnya tidak akan mudah. “Gadis kecil!” ejeknya, matanya menyipit penuh penghinaan. Aku mengepalkan tangan, menahan luapan amarah yang hampir membakar keberanianku sendiri. “Jangan panggil aku gadis kecil, Tante!” sergahku dengan tajam, suaraku melawan gemuruh di dadaku. Dia menyeringai, giginya yang tajam seperti sengaja diperlihatkan. “Kau tidak takut aku makan?” Aku tersenyum tipis, berusaha menunjukkan keberanian meski darahku bergejolak. “Sebelum aku kau makan, izinkan aku menjadikanmu butiran abu!” balasku, suaraku nyaris seperti bisikan badai yang penuh dengan tantangan. Tiba-tiba, gelak tawa besarnya kembali mengisi ruangan. Tawa itu begitu keras hingga menggema, menusuk relung-relung rasa takut yang bersembunyi di dalam diriku. Namun aku tak boleh gentar. Aku harus berdiri tegak, tidak peduli apa pun yang akan terjadi. “Ayo kita kabur saja!” suara gemetar hantu tampan di sebelahku mengguncang fokusku. Jelas dia lebih takut daripada aku. “Berisik!” hardikku, mencoba menguatkan diri meskipun hatiku juga dipenuhi kegelisahan. Tanpa aba-aba, si hantu Tante melayangkan tangannya, cepat dan penuh kekuatan. Jemarinya mencengkeram lenganku dengan kasar, lalu membantingku ke dinding tanpa ragu. Tubuhku menghantam keras, membuat udara di paru-paruku terasa kosong sejenak. Rasa sakit menjalar di setiap inci tulangku, tapi aku tidak akan menyerah. Aku terbatuk, mencoba mengatur nafas yang tercekat, lalu bangkit dengan gerakan lambat tapi pasti. Mataku menatap tajam ke arahnya. Aku menggenggam tongkat di tanganku dengan erat—senjata sederhana yang selalu menemaniku selama ini. Tak ada waktu untuk ragu. “Kalau dia pikir aku akan menyerah hanya karena ini,” pikirku sambil melangkah maju, “dia salah besar.” Aku berlari ke arahnya, tongkat di tanganku siap menghantam.Keesokan harinya, aku terjaga dari tidur agak siang. Usai merapikan tempat tidur dan mandi, rencanaku hari ini adalah mampir ke rumah Nala sebelum menuju ke tempat kerja malam hari. Saat aku sedang bersiap-siap, si hantu tampan mendekat."Kamu mau kemana? Aku ikut!" serunya penuh semangat."Kamu disini saja! Saya ada perlu keluar sebentar," jawabku tegas, sambil menolak usulnya.Wajahnya yang semula cerah berubah muram, seakan ada awan gelap yang mendung di atasnya. Dengan lesu, dia duduk di pojokan, matanya menerawang lemah. Aku menghela nafas melihat ekspresi laparnya, serupa anak yang terlupa makan selama seminggu."Kamu juga gak bakalan bisa ikut. Kamu lihat di luar sana, matahari bersinar terang. Kamu mau hancur terbakar matahari?" tegas ku lagi."Eh iya ya... aku lupa kalau sekarang sudah siang," katanya dengan senyum malu-malu. Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal."Makanya kamu tunggu di sini dulu. Aku juga pergi sebentar. Jangan tanya oleh-olehnya apa, karena kamu gak bakal
Aku yang sudah mandi dan berganti pakaian kini duduk di depan si hantu tampan, menatapnya tajam tanpa ragu. Matanya tertunduk, seperti paham bahwa aku tengah kesal dan marah padanya. Dia tampak seolah tak bersalah, tapi aku tak akan begitu saja terkecoh."Kamu," ujarku sambil menunjuknya dengan telunjuk yang masih sedikit gemetar karena emosi."Sorry, aku nggak tahu kamu lagi mandi. Siapa juga yang mandi telanjang kayak gitu!" balasnya santai, tanpa rasa bersalah.Mendengar itu, amarahku semakin memuncak. "Kamu sendiri ngapain ke kamar mandi?" tanyaku penuh selidik, menahan diri agar suaraku tidak meledak."Mau mandi juga," jawabnya ringan.Aku memutar mata, berusaha mencerna absurditas jawabannya. Mana ada hantu yang mau mandi? Apa dia pikir aku sebodoh itu untuk mempercayainya? Ini jelas hanya alasan. Alibi murahan untuk menutupi kebiasaan mesumnya. Aku yakin di balik wajah tampannya, dia menyimpan niat-niat tersembunyi yang tidak bisa kuabaikan begitu saja. Aku harus tetap waspada—
Tak ada ketakutan sedikit pun di dalam diriku saat berhadapan dengan sosok hantu wanita berbadan tambun itu. Meski napasku sedikit memburu, aku tetap menatapnya dengan penuh keyakinan. Dengan gerakan cepat, kulempar tongkat di tanganku ke arah bahu kanannya, tepat mengenai sasaran. Dia meringis kesakitan, tetapi matanya segera membara penuh kemarahan."Tidak kusangka, ternyata kamu bisa melihatku dan memiliki keahlian semacam ini," ucap hantu itu dengan nada heran, senyumnya menipis, seolah meremehkanku."Aku tidak punya waktu untuk berbasa-basi denganmu. Mari kita akhiri semua ini sekarang juga!" balasku tegas, tanpa ada keraguan.Dalam benakku, aku tahu percuma memperpanjang obrolan dengannya. Meski tubuhnya tambun, gerakannya ternyata jauh dari perkiraan. Ia bergerak begitu lincah, bahkan larinya secepat bayangan yang membuatku cukup kewalahan untuk mengimbangi. Hatiku mulai gelisah.Bagaimana aku bisa menghentikannya? Langkahku sedikit terhenti saat kucoba mencari titik kelemahann
Mau tak mau, suka tak suka, aku menyeret si hantu tampan yang kini terlihat lebih ketakutan dari sebelumnya ke depan apartemen nomor 13. Wajahnya pucat, tapi dia tidak berkata apa-apa. Mungkin sadar bahwa jika dia melawan, aku bisa saja benar-benar mengusirnya mentah-mentah dari sini.Kami kini berdiri di depan pintu apartemen yang terlihat sunyi. Sayangnya, pintu itu terkunci rapat, dan kami sama sekali tidak memiliki kuncinya. Aku menatap pintu tersebut sambil menghela napas. Apa sekarang harus menyerah saja? Tidak, aku bukan tipe yang mudah menyerah tanpa mencoba. Aku memutuskan untuk mencari bantuan.Langkah kakiku membawa aku ke bagian pos satpam. Seorang pria penjaga tua berdiri di sana, wajahnya penuh dengan keraguan begitu aku mulai mengajaknya berbicara."Pak, apa Bapak tahu sesuatu tentang apartemen nomor 13?" tanyaku sambil mencoba terdengar biasa saja, walaupun ada rasa ingin tahu yang mendesak di hatiku.Dia mengernyit sejenak, lalu menjawab dengan nada pelan dan hati-hat
"Tunggu, kamu serius bisa melihatku?" tanyanya sekali lagi, matanya berbinar penuh antusias."Hmm," sahutku sambil mengangguk pelan. Aku tetap waspada."Akhirnya..." bisiknya, terlihat ada kebahagiaan terpancar di wajahnya.Akhirnya? Apa maksudnya? Jantungku berdegup semakin kencang. Apa mungkin benar yang Nala bilang, kalau dia membutuhkan manusia perawan seperti aku agar tetap kekal di dunia ini? Ya ampun, kalau itu benar, aku dalam bahaya besar! Tidak boleh menunggu lebih lama lagi, ini saatnya! Aku harus menghentikannya sekarang juga!"Dasar makhluk menjijikkan! Kau tidak akan bisa memanfaatkan aku!" teriakku dalam hati sebelum mulai mengayunkan tongkat ke arahnya dengan penuh tekad.Namun, sebelum tongkatku sempat mengenainya, dia tiba-tiba menyatukan kedua tangannya dan berteriak. "Jangan! Jangan pukul aku! Tolong, jangan pukul aku!" katanya memohon dengan suara memelas.Aku mendengus, menguatkan hati. "Tidak bisa! Kamu ini sudah cukup lama mengganggu orang-orang di sekitar sini
"Kim, lo yakin mau tinggal di apartemen ini?" tanya Nala lagi begitu kami tiba di depan gedung apartemen yang aku sewa. Suaranya penuh keraguan, dan aku bisa merasakan keinginannya agar aku mempertimbangkan ulang keputusanku."Yakin banget!" jawabku dengan semangat, mencoba menepis semua keraguan yang tergambar jelas di wajahnya."Lo gak takut apa?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada setengah berbisik seolah takut sesuatu mendengar."Takut? Kenapa mesti takut?" aku menjawab santai, bahkan mungkin terlalu santai hingga Nala mengernyit. Aku tahu apa yang ada di pikirannya."Kimmy...!!! Lo gak dengar cerita tentang apartemen nomor 14 itu? Kan terkenal banget angker," lanjut Nala dengan suara mendesak, berusaha keras membuatku goyah.Aku tersenyum, memperhatikan wajah paniknya yang begitu tulus. "Dengar kok," jawabku ringan.Nala tampak terkejut dengan reaksiku. "Terus, lo kok masih mau tinggal di sana? Gue gak mau nanti keperawanan lo diambil sama hantu perjaka tua di sana," sergahnya s