MasukKali ini aku sudah siap untuk bertemu klien malam ini. Jaket kulit hitam dan jeans senada sudah melekat di tubuhku, ditambah kacamata hitam yang kini bertengger di hidungku. Aku tersenyum tipis saat bercermin, merasa seperti detektif sungguhan—atau setidaknya, seperti seseorang yang ingin terlihat seperti itu.
"Hai, Muhidin!" sapaku sembari melirik ke arah si hantu tampan yang entah bagaimana, sudah berdiri di sudut ruangan dengan pose malas. "Muhidin? Siapa pula itu?" tanyanya dengan wajah penuh kebingungan, alisnya bahkan hampir bertaut. "Kamu!" tunjukku tegas, sedikit bermain-main. "Aku?" ujarnya sambil menunjuk dirinya sendiri, matanya membulat karena tak percaya. "Kamu serius? Gak ada nama yang lebih bagus? Masa aku disamain sama tukang ojek pengkolan. Muhidin!" Aku hanya tergelak, menikmati ekspresi protesnya. "Terus kamu maunya aku panggil apa, hmm?" tanyaku sambil menaikkan satu alis. Dia menggerakkan bahunya dengan sedikit ragu sebelum menjawab, "Sayang?" dengan nada merayu yang jelas dibuat-buat. Namun, begitu kata itu meluncur dari bibirnya, dia malah terlihat kikuk, dan aku harus menahan diri agar tidak tertawa lebih keras. "Eh, gak juga sih," tambahnya cepat, mencoba menyelamatkan dirinya sendiri. Aku tertawa lepas. "Dipanggil Muhidin gak mau, dipanggil sayang juga gak mau. Apa sih maunya dia?" gumamku sambil mengikat rambut dengan asal-asalan. Rasanya aneh, tapi juga menggelitik, bagaimana kehadirannya selalu bisa membuat hariku lebih santai, meskipun ada klien yang sudah menunggu di depan mata. Aku menoleh padanya dengan sedikit rasa jengkel campur geli. "Terserah kamu panggil aku apa," akhirnya dia menyerah, suara tenangnya terasa seperti angin sepoi di malam hari. "Ok... ok... aku panggil kamu si Tampan!" sahutku sambil tersenyum. Tak disangka, bibirnya yang biasanya cuek itu malah melengkung membentuk senyuman, sesuatu yang jarang aku lihat darinya. Kenapa senyumnya bisa membuat dadaku terasa hangat, ya? Ah, sudahlah. "Ayo, kita lets go! Malam ini kita harus menghasilkan banyak cuan!" ajakku penuh semangat, segera keluar dari apartemen. Aku berjalan di depannya dengan penuh energi, nyaris seperti seorang kapten yang siap memulai misi. Dalam sekejap, aku sudah menghidupkan mesin motor maticku, bersiap menguasai jalanan malam. Si 'Tampan' duduk di belakangku dengan tenang, sedikit membuatku penasaran apa yang sedang dia pikirkan. "Pegangan yang erat, ya! Aku suka ngebut," aku memperingatkannya sambil memastikan posisi helmku. Dia tidak segera menjawab, tapi aku bisa mendengar dia bergumam di belakang. "Kamu yakin gak buka dulu kacamata hitam kamu? Emangnya bisa lihat jalan malam-malam gini sambil bawa motor pakai kaca mata hitam?" suaranya terdengar lebih seperti sindiran dibanding kekhawatiran. Aku hanya tertawa kecil, membayangkan ekspresi bingung yang mungkin dia buat di belakang sana. Ya Tuhan, kenapa rasanya seperti aku punya partner yang aneh, tapi juga bikin semuanya lebih menarik? Aku tidak tahu apakah harus memarahinya atau justru menikmati percakapan absurd ini. "Biar gelap, tetap terang kok," batinku sambil melirik kegelapan malam yang membentang di depan. "Kamu tahu kenapa aku pakai kacamata hitam di malam hari?" tanyaku sambil memainkan bingkai kacamataku. "Karena malam hari itu, makhluk halus sejenis kamu banyak berkeliaran. Dan, jujur saja, itu mengganggu pandanganku." Kalimat itu keluar ringan dari mulutku, meski aku tahu ada sedikit ketus di dalamnya. Dia, si tampan yang ku gonceng dari tadi, hanya mengangguk seolah sepenuhnya paham, meski aku yakin, di dalam kepalanya, pasti ada sedikit tanda tanya. Tapi biarlah, tidak semua rahasia harus kugembar-gemborkan. Perjalanan akhirnya membawa kami ke rumah klien yang sudah menanti kedatangan kami. Dari luar, aku bisa melihat sepasang suami istri berdiri di depan pintu, wajah mereka menyiratkan rasa panik yang sulit disembunyikan. Ketika aku turun dari motor yang sudah aku matikan mesinnya, aku menatap mereka dengan tenang, berusaha menelaah situasi. "Maaf, dengan Bapak Alif dan Ibu?" tanyaku mencoba memastikan. Wanita itu, yang kelihatannya adalah istri Pak Alif, melangkah maju dengan tatapan waswas. "Apa kamu Nak Kimmy?" tanyanya dengan suara bergetar. Aku mengangguk pelan. "Iya, Bu." "Mari masuk! Kita bicara di dalam saja!" ujar wanita itu buru-buru, suaranya nyaris seperti bisikan cemas yang ingin segera menyampaikan sesuatu. Mengikuti langkah mereka, aku memasuki rumah dengan perasaan netral. Anehnya, tidak ada hawa aneh yang biasanya hadir saat aku mengunjungi tempat seperti ini. Rumah ini terasa biasa saja. Tidak ada makhluk astral, tidak ada suara atau bayangan yang membisikkan tanda-tanda, yang ada justru kehadiran si tampan di sebelahku. Aku meliriknya sekilas, bertanya-tanya apa dia juga merasakan hal yang sama. Tapi aku tidak ingin membuat asumsi sebelum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. "Jadi, sebenarnya ada apa, Bu? Bapak mengundang saya ke sini," tanyaku langsung, tanpa banyak basa-basi. Dalam situasi seperti ini, waktu adalah segalanya. Wanita itu menundukkan kepala sesaat, lalu menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Kami... putra kami..." Aku langsung menangkap perubahan emosi yang berat dalam suaranya. "Kenapa dengan putra Ibu dan Bapak?" tanyaku pelan, namun tegas, mencoba menyelidik tanpa membuat mereka lebih tertekan. Sesuatu terasa jauh lebih berat dari sekadar cerita biasa, dan aku bersiap untuk menghadapi apa pun yang akan mereka katakan. Apakah ini hanya masalah duniawi atau ada urusan dengan dunia yang tak kasat mata, aku perlu tahu semuanya dengan detail. "Begini, sudah satu minggu ini anak kami seperti orang gila di kamarnya. Bahkan dia sering berteriak-teriak dan mengumpati nama salah satu teman sekolahnya yang mati karena genk motor," ucap istrinya Pak Alif dengan suara berat yang penuh kecemasan. Aku memperhatikan ekspresi mereka, terutama Pak Alif yang kelihatannya mencoba menguasai emosi, tapi gagal menyembunyikan kerut gelisah di wajahnya. "Terus sekarang bagaimana kondisi anak Ibu? Apakah pernah coba bawa ke psikiater?" tanyaku, mencoba menyelami situasi. "Belum. Dia terus mengamuk tak jelas, sehingga terpaksa kami mengikat dia di kamar," kali ini Pak Alif yang menjawab, suaranya terdengar seperti sedang memikul beban yang terlalu berat. Aku bisa merasakan kehancuran hati mereka, walau tidak terucapkan. "Kami takutnya anak kami dihantui oleh temannya tersebut!" sambung istrinya Pak Alif. Nada bicaranya bergetar, seperti sedang berperang antara percaya dan tidak percaya pada apa yang tengah menimpa mereka. Aku mengangguk pelan, mencoba memahami betapa sulit posisi mereka saat ini. Tetapi di kepalaku, banyak sekali pertanyaan yang berputar-putar. Anak yang mengamuk, nama teman yang disebut-sebut... apakah ini benar-benar fenomena supernatural atau justru ada trauma mendalam yang ia alami? Rasanya tidak cukup hanya mengaitkannya dengan dunia mistis begitu saja, aku harus melihat lebih dekat, lebih jelas. "Baiklah, boleh saya lihat anak Ibu dan Bapak?" tanyaku akhirnya, dengan suara yang kuharap terdengar tenang meskipun pikiranku mulai melompat-lompat menyusun kemungkinan. "Mari kita langsung ke kamarnya saja!" ajak Pak Alif, diiringi langkahnya bersama istrinya yang sudah bergerak duluan, menunjukkan jalan. Aku dan si Tampan mengekor dari belakang, sambil mencoba menyusun cara untuk menghadapi situasi yang sepertinya akan jauh lebih rumit daripada yang terlihat di permukaan. Pintu kamar anak mereka perlahan terbuka, dan aku melangkah masuk dengan perasaan tidak menentu. Ruangan itu terlihat kacau balau, seperti tempat yang lama tidak disentuh manusia. Mataku menyapu setiap sudut kamar yang berantakan, mencoba memahami situasi yang sebenarnya sedang terjadi. Di sana, putra mereka terbaring di atas tempat tidur, dan terikat. Pemandangan itu membuat tenggorokanku tercekat sejenak, tetapi aku harus tetap tenang. "Bapak dan Ibu bisa keluar sebentar?" tanyaku, berusaha tetap sopan meskipun pikiranku mulai bergolak. Ada sesuatu yang janggal, sesuatu yang tidak kasat mata, tetapi kehadirannya begitu terasa. Bukan hanya si 'tampan' di sebelahku, ada sosok lain yang energinya menusuk nalarku. "Baiklah, kami keluar. Bantu kami, Nak Kimmy! Kami akan membayar berapa pun harganya!" Istri Pak Alif menatapku dengan wajah penuh harap, tangannya mencengkeram tanganku erat. Rasanya seolah beban dunia ia limpahkan padaku dengan genggaman itu. "Saya hanya bisa berusaha semaksimal mungkin. Doakan semoga saya bisa membantu anak Bapak dan Ibu," jawabku tulus namun penuh kehati-hatian. Dalam hatiku, ada keraguan apakah aku benar-benar siap menghadapi ini. Tapi jika aku tidak mencoba, siapa lagi yang bisa membantu mereka? Begitu mereka benar-benar keluar, aku segera menutup pintu dan memastikannya terkunci rapat. Rasanya seperti mencoba membentengi diri dalam sebuah perang kecil. Aku mengambil jimat dari kantongku dan menempelkannya di pintu, mengingatkan diriku sendiri bahwa ini hanyalah upaya yang aku pelajari lewat layar ponsel dan tutorial acak dari YouTube. Apakah jimat ini benar-benar efektif atau tidak, aku tidak yakin. Namun saat ini, aku hanya memiliki ini sebagai penguat diriku. "Semoga saja," batinku lirih, sambil menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungku yang mulai memburu. Tiba-tiba tubuh anak Pak Alif menegang, matanya melotot seperti orang kerasukan. Sorot matanya menusuk tajam ke arahku, penuh amarah dan kebencian, seolah aku adalah musuh bebuyutannya. Dalam hati, aku tertegun. Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Apa aku telah melakukan sesuatu yang salah? Pikiran-pikiran itu menghantam otakku tanpa henti. Namun, sebelum aku sempat berpikir lebih jauh, dia mulai memberontak dengan kekuatan yang tak masuk akal, hingga tali pengikatnya putus begitu saja. Dalam sekejap, dia melompat dari atas tempat tidur dan menubrukku. Kedua tangannya langsung mencekik leherku dengan cengkeraman yang begitu kuat, seperti tangan baja. Napasku tercekat, paru-paruku serasa ingin meledak karena tidak mendapat oksigen. Dalam kepanikan itu, otakku hanya dipenuhi satu pikiran: "Apakah aku akan mati di sini?" Beruntung, si hantu tampan yang berada di dekat kami bertindak cepat. Dia menghampiri anak Pak Alif dan mengunci lehernya dengan sikunya, membuat cengkeramannya di leherku terlepas. Aku terjatuh sambil terbatuk-batuk, mencoba menarik napas panjang dengan rasa syukur yang tak terbayangkan. Untuk sesaat, aku hanya bisa meraba leherku yang masih terasa nyeri akibat cekikannya. Namun, anak Pak Alif kembali membuka mulut. "Kalian jangan ikut campur!" teriaknya dengan suara lantang yang penuh emosi, membuat tubuhku bergetar. Matanya tetap penuh amarah, kini diarahkan ke si hantu tampan. Dia melanjutkan dengan suara yang bergetar, seperti seseorang yang menyimpan dendam mendalam. "Kalian tidak tahu apa yang dia perbuat kepadaku… dan kepada Aisha." Kata-kata itu membuatku terpaku. Nama Aisha? Siapa Aisha? Dan apa maksud dari semua ini? Jantungku berdegup lebih kencang. Semakin aku mencoba mencerna ucapannya, semakin besar rasa penasaran sekaligus kecemasanku. Dalam benakku, hanya ada satu pertanyaan besar yang tak kunjung menemukan jawaban: apa sebenarnya yang terjadi antara anak pak Alif,si hantu dan wanita yang bernama Aisha?Kali ini aku sudah siap untuk bertemu klien malam ini. Jaket kulit hitam dan jeans senada sudah melekat di tubuhku, ditambah kacamata hitam yang kini bertengger di hidungku. Aku tersenyum tipis saat bercermin, merasa seperti detektif sungguhan—atau setidaknya, seperti seseorang yang ingin terlihat seperti itu."Hai, Muhidin!" sapaku sembari melirik ke arah si hantu tampan yang entah bagaimana, sudah berdiri di sudut ruangan dengan pose malas."Muhidin? Siapa pula itu?" tanyanya dengan wajah penuh kebingungan, alisnya bahkan hampir bertaut."Kamu!" tunjukku tegas, sedikit bermain-main."Aku?" ujarnya sambil menunjuk dirinya sendiri, matanya membulat karena tak percaya."Kamu serius? Gak ada nama yang lebih bagus? Masa aku disamain sama tukang ojek pengkolan. Muhidin!"Aku hanya tergelak, menikmati ekspresi protesnya. "Terus kamu maunya aku panggil apa, hmm?" tanyaku sambil menaikkan satu alis.Dia menggerakkan bahunya dengan sedikit ragu sebelum menjawab, "Sayang?" dengan nada merayu y
Keesokan harinya, aku terjaga dari tidur agak siang. Usai merapikan tempat tidur dan mandi, rencanaku hari ini adalah mampir ke rumah Nala sebelum menuju ke tempat kerja malam hari. Saat aku sedang bersiap-siap, si hantu tampan mendekat."Kamu mau kemana? Aku ikut!" serunya penuh semangat."Kamu disini saja! Saya ada perlu keluar sebentar," jawabku tegas, sambil menolak usulnya.Wajahnya yang semula cerah berubah muram, seakan ada awan gelap yang mendung di atasnya. Dengan lesu, dia duduk di pojokan, matanya menerawang lemah. Aku menghela nafas melihat ekspresi laparnya, serupa anak yang terlupa makan selama seminggu."Kamu juga gak bakalan bisa ikut. Kamu lihat di luar sana, matahari bersinar terang. Kamu mau hancur terbakar matahari?" tegas ku lagi."Eh iya ya... aku lupa kalau sekarang sudah siang," katanya dengan senyum malu-malu. Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal."Makanya kamu tunggu di sini dulu. Aku juga pergi sebentar. Jangan tanya oleh-olehnya apa, karena kamu gak bakal
Aku yang sudah mandi dan berganti pakaian kini duduk di depan si hantu tampan, menatapnya tajam tanpa ragu. Matanya tertunduk, seperti paham bahwa aku tengah kesal dan marah padanya. Dia tampak seolah tak bersalah, tapi aku tak akan begitu saja terkecoh."Kamu," ujarku sambil menunjuknya dengan telunjuk yang masih sedikit gemetar karena emosi."Sorry, aku nggak tahu kamu lagi mandi. Siapa juga yang mandi telanjang kayak gitu!" balasnya santai, tanpa rasa bersalah.Mendengar itu, amarahku semakin memuncak. "Kamu sendiri ngapain ke kamar mandi?" tanyaku penuh selidik, menahan diri agar suaraku tidak meledak."Mau mandi juga," jawabnya ringan.Aku memutar mata, berusaha mencerna absurditas jawabannya. Mana ada hantu yang mau mandi? Apa dia pikir aku sebodoh itu untuk mempercayainya? Ini jelas hanya alasan. Alibi murahan untuk menutupi kebiasaan mesumnya. Aku yakin di balik wajah tampannya, dia menyimpan niat-niat tersembunyi yang tidak bisa kuabaikan begitu saja. Aku harus tetap waspada—
Tak ada ketakutan sedikit pun di dalam diriku saat berhadapan dengan sosok hantu wanita berbadan tambun itu. Meski napasku sedikit memburu, aku tetap menatapnya dengan penuh keyakinan. Dengan gerakan cepat, kulempar tongkat di tanganku ke arah bahu kanannya, tepat mengenai sasaran. Dia meringis kesakitan, tetapi matanya segera membara penuh kemarahan."Tidak kusangka, ternyata kamu bisa melihatku dan memiliki keahlian semacam ini," ucap hantu itu dengan nada heran, senyumnya menipis, seolah meremehkanku."Aku tidak punya waktu untuk berbasa-basi denganmu. Mari kita akhiri semua ini sekarang juga!" balasku tegas, tanpa ada keraguan.Dalam benakku, aku tahu percuma memperpanjang obrolan dengannya. Meski tubuhnya tambun, gerakannya ternyata jauh dari perkiraan. Ia bergerak begitu lincah, bahkan larinya secepat bayangan yang membuatku cukup kewalahan untuk mengimbangi. Hatiku mulai gelisah.Bagaimana aku bisa menghentikannya? Langkahku sedikit terhenti saat kucoba mencari titik kelemahann
Mau tak mau, suka tak suka, aku menyeret si hantu tampan yang kini terlihat lebih ketakutan dari sebelumnya ke depan apartemen nomor 13. Wajahnya pucat, tapi dia tidak berkata apa-apa. Mungkin sadar bahwa jika dia melawan, aku bisa saja benar-benar mengusirnya mentah-mentah dari sini.Kami kini berdiri di depan pintu apartemen yang terlihat sunyi. Sayangnya, pintu itu terkunci rapat, dan kami sama sekali tidak memiliki kuncinya. Aku menatap pintu tersebut sambil menghela napas. Apa sekarang harus menyerah saja? Tidak, aku bukan tipe yang mudah menyerah tanpa mencoba. Aku memutuskan untuk mencari bantuan.Langkah kakiku membawa aku ke bagian pos satpam. Seorang pria penjaga tua berdiri di sana, wajahnya penuh dengan keraguan begitu aku mulai mengajaknya berbicara."Pak, apa Bapak tahu sesuatu tentang apartemen nomor 13?" tanyaku sambil mencoba terdengar biasa saja, walaupun ada rasa ingin tahu yang mendesak di hatiku.Dia mengernyit sejenak, lalu menjawab dengan nada pelan dan hati-hat
"Tunggu, kamu serius bisa melihatku?" tanyanya sekali lagi, matanya berbinar penuh antusias."Hmm," sahutku sambil mengangguk pelan. Aku tetap waspada."Akhirnya..." bisiknya, terlihat ada kebahagiaan terpancar di wajahnya.Akhirnya? Apa maksudnya? Jantungku berdegup semakin kencang. Apa mungkin benar yang Nala bilang, kalau dia membutuhkan manusia perawan seperti aku agar tetap kekal di dunia ini? Ya ampun, kalau itu benar, aku dalam bahaya besar! Tidak boleh menunggu lebih lama lagi, ini saatnya! Aku harus menghentikannya sekarang juga!"Dasar makhluk menjijikkan! Kau tidak akan bisa memanfaatkan aku!" teriakku dalam hati sebelum mulai mengayunkan tongkat ke arahnya dengan penuh tekad.Namun, sebelum tongkatku sempat mengenainya, dia tiba-tiba menyatukan kedua tangannya dan berteriak. "Jangan! Jangan pukul aku! Tolong, jangan pukul aku!" katanya memohon dengan suara memelas.Aku mendengus, menguatkan hati. "Tidak bisa! Kamu ini sudah cukup lama mengganggu orang-orang di sekitar sini







