Share

Bab 5

Author: Cerah pagi
last update Huling Na-update: 2025-09-09 20:29:38

Aku yang sudah mandi dan berganti pakaian kini duduk di depan si hantu tampan, menatapnya tajam tanpa ragu. Matanya tertunduk, seperti paham bahwa aku tengah kesal dan marah padanya. Dia tampak seolah tak bersalah, tapi aku tak akan begitu saja terkecoh.

"Kamu," ujarku sambil menunjuknya dengan telunjuk yang masih sedikit gemetar karena emosi.

"Sorry, aku nggak tahu kamu lagi mandi. Siapa juga yang mandi telanjang kayak gitu!" balasnya santai, tanpa rasa bersalah.

Mendengar itu, amarahku semakin memuncak. "Kamu sendiri ngapain ke kamar mandi?" tanyaku penuh selidik, menahan diri agar suaraku tidak meledak.

"Mau mandi juga," jawabnya ringan.

Aku memutar mata, berusaha mencerna absurditas jawabannya. Mana ada hantu yang mau mandi? Apa dia pikir aku sebodoh itu untuk mempercayainya? Ini jelas hanya alasan. Alibi murahan untuk menutupi kebiasaan mesumnya. Aku yakin di balik wajah tampannya, dia menyimpan niat-niat tersembunyi yang tidak bisa kuabaikan begitu saja. Aku harus tetap waspada—tidak peduli seberapa polos dia berusaha tampak di depan mataku.

Tarik napas. Hembuskan. Aku tidak akan membiarkannya merasa bebas bertindak sesuka hati di rumahku. Dengan suara penuh ketegasan, aku akhirnya berbicara, "Mari kita buat perjanjian sekarang." Dia mengangguk patuh, ekspresi serius yang sedikit sulit kubaca.

Aku tetap melanjutkan. "Kamu boleh tinggal di sini, tapi harus ikuti peraturan aku!" Aku berhenti sejenak, memastikan setiap kata yang keluar dari bibirku mengandung peringatan yang tak bisa dinegosiasikan.

"Kalau aku sedang mandi, kamu dilarang keras masuk ke kamar mandi. Apalagi ngintip! Jangan pernah ulangi itu."

Kuusap rambutku yang masih basah, mencoba menenangkan diri sebelum melanjutkan, "Dan satu hal lagi: jaga batasan di antara kita. Aku manusia, kamu hantu. Aku perempuan, kamu laki-laki. Kita bukan dari dunia yang sama, jadi ingat itu baik-baik!"

Dia tidak memberikan perlawanan—hanya menatapku dengan anggukan pelan. Meski begitu, aku tahu aku tak bisa benar-benar santai. Wajah tampan itu mungkin bisa menipu, tapi siapa yang tahu apa yang sebenarnya dipikirkan oleh sosok seaneh dirinya? Aku tidak akan lengah. Tidak kali ini.

"Siap!"jawabnya cepat.

"Satu lagi,kita hanya akan bekerja di malam hari. Jadi siang hari jangan ganggu kalau aku lagi tidur,makan atau pergi berkencan!"ucapku lagi.

"Emang ada laki-laki yang mau sama kamu?" tanyanya dengan nada mengejek, membuat emosiku langsung tersulut.

"Maksud kamu apa?" tanyaku sambil menatap tajam, meskipun hatiku sudah sedikit tersakiti.

"Secara, mulutmu itu lebih menyeramkan dari hantu, sikapmu juga mirip psikopat," ujarnya tanpa ampun, membuat amarahku memuncak.

Tapi, aku tak ingin kalah begitu saja. "Begini-begini, kalau aku ketemu lelaki tampan tapi manusia, aku bakal sikap seperti wanita normal kok. Sama kamu saja aku kayak gini, karena, secara ya, kamu itu kan bukan manusia normal. Kamu itu *hantu*!" balasku dengan nada penuh sindiran.

"Siapa bilang hantu itu bukan lelaki normal?" ia menanggapi dengan nada serius, membuatku mengerutkan dahi.

"Apa maksudmu?" tanyaku, kini lebih penasaran daripada marah.

"Aku ini, meskipun hantu, tetap tertarik pada wanita cantik. Dan tentunya, aku masih punya rasa...," kalimatnya menggantung, lalu tatapan matanya menyapu wajahku sejenak.

"Dasar mesum!" Aku spontan melemparkan bantal kursi yang ada di tanganku, berusaha menutupi rasa gugup yang entah muncul dari mana.

Dia hanya terkekeh sebelum akhirnya aku berkata, "Untuk saat ini aku mau istirahat. Jangan berisik dan jangan ganggu aku! Besok malam kita ada klien. Jadi sekarang aku butuh istirahat biar siap menghadapi hari esok!"

Tanpa menunggu respon dia, aku langsung beranjak ke kamar. Dia hanya berdiri diam sambil menatap kepergianku, sembari menghela napas panjang. Jujur, tubuhku juga terasa sangat lelah setelah menghadapi hantu Tante berbadan tambun tadi malam. Mungkin aku memang butuh istirahat sebelum otakku semakin dipenuhi omong kosong tak masuk akal dari hantu satu ini.

Mungkin sekarang sudah tengah malam, tetapi ada alunan suara piano yang mengusik tidurku. Melodi itu—indah namun menyayat hati, seolah memiliki cerita yang terlupakan, penuh kesedihan yang tak terkatakan. Aku tersentak bangun, rasa penasaran mendorongku keluar dari kamar.

Saat membuka pintu, mataku tertuju pada sosok hantu tampan itu, duduk di depan piano putih tua di sudut ruangan. Jemarinya bergerak anggun di atas tuts, menghasilkan melodi yang menusuk relung hatiku. Aku terpaku melihatnya, diam-diam terpukau oleh pesonanya. Tapi ada sesuatu yang lebih dari sekadar ketampanan; ada luka di balik setiap nada yang dia mainkan. Rasa kesepian, pedih, dan mungkin juga kerinduan terpancar dari raut wajahnya yang berkaca-kaca.

Apa yang menghantuinya? Siapa dia sebenarnya? Apa yang membuat melodi ini begitu berat, seperti membawa beban yang tak terbayangkan? Seolah menyadari tatapanku yang tak berpaling, dia berhenti memainkan piano dan menoleh.

"Maaf, aku mengganggu jam istirahatmu," ucapnya pelan, dengan suara yang nyaris tenggelam oleh rasa bersalah.

Aku mencoba menenangkan diriku, suara melodi yang baru saja berhenti masih menggema dalam hatiku. "Oh, nggak masalah," jawabku cepat, meski sejujurnya aku ingin tahu lebih banyak. Aku memperhatikan wajahnya yang sembab, ada sesuatu yang ingin kusebutkan tapi kutahan.

Sampai akhirnya aku tak mampu menahan pertanyaan itu. "Kamu menangis?" Dia terdiam sesaat sebelum menjawab dengan singkat, "Tidak." Namun, dari cara dia menghindari tatapanku, aku tahu ada hal besar yang dia sembunyikan.

"Tapi jujur, setiap memainkan melodi tadi aku selalu merasa ada sesuatu yang kuat, sesuatu yang tak bisa kujelaskan!" sambungnya, dengan nada yang penuh perasaan.

"Apa benar kamu tidak mengingat sedikit pun tentang dirimu sendiri?" tanyaku, berusaha memastikan sekali lagi.

"Tidak," jawabnya mantap, meski aku bisa melihat sedikit keraguan yang bersembunyi di balik ekspresi wajahnya.

Kata-katanya membuatku menghela napas panjang. "Akan sulit bagi kita untuk mencari tahu identitas kamu, jika kita tak punya sedikit pun petunjuk," kataku, mencoba mengukur langkah apa yang harus kuambil.

"Tetapi saat aku tiba-tiba terbangun dan muncul di apartemen ini, aku berada di dekat piano ini, dan… dengan benda ini," ucapnya sambil menunjukkan sebuah anting berlian yang dia pegang dengan hati-hati.

Aku terdiam, mataku terpaku pada benda kecil itu. Ada semacam keyakinan yang tumbuh dalam diriku. "Ini bisa kita jadikan alat untuk mencari tahu kebenaran tentang siapa dirimu," kataku, mencoba memupuk harapan yang perlahan terlihat di wajahnya.

Aku tahu ini bukan sekadar perhiasan biasa—anting itu seperti membawa cerita yang tak bisa diungkapkan hanya dengan pandangan sekilas. Saat dia kembali menyentuhnya dengan jemarinya yang ragu-ragu, pikiranku mulai berlari. Aku mencoba menghubungkan setiap detail—mutiara yang tampak begitu mahal, desain yang tampak seperti milik salah satu merek perhiasan mewah di dunia.

Aku membuka laptopku, mulai mencari informasi tentang anting itu di internet. "Apa yang kau sembunyikan, benda kecil?" gumamku dalam hati, sambil menatap layar penuh konsentrasi.

Dalam diriku, ada suara kecil yang berkata bahwa anting berlian ini adalah pintu—pintu menuju sebuah jawaban, sebuah masa lalu yang dia cari, dan mungkin juga sebuah kebenaran yang telah lama terpendam.

Baru beberapa merek anting yang aku amati, namun sejauh ini tak ada yang mirip dengan anting misterius itu. Aku menghela napas panjang sambil menahan kantuk yang mulai menyergap.

"Sepertinya kamu butuh istirahat dulu. Kamu bisa lanjut mencarinya besok, atau kapan pun kamu punya waktu," suara hantu tampan itu terdengar lembut, namun nadanya seperti memaksaku untuk memprioritaskan diriku. Aku menatapnya sejenak sebelum mengangguk perlahan.

"Kamu benar. Ini sudah tengah malam, dan besok malam kita juga ada pekerjaan yang menanti." Aku melirik anting di tanganku, hatiku diliputi rasa penasaran yang tak kunjung reda.

"Tapi percayalah, aku janji akan mencari tahu siapa kamu dan siapa pemilik anting ini. Bagaimanapun, ini harus ada akhirnya." Dia mengangguk setuju, dan aku bisa merasakan aura lega yang entah mengapa memancar darinya.

Dalam hati, aku berpikir, siapa dia sebenarnya? Dan kenapa aku merasa begitu terpanggil untuk membantu seorang yang bahkan bukan lagi manusia?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kimmy vs Hantu Tampan    Bab 6

    Keesokan harinya, aku terjaga dari tidur agak siang. Usai merapikan tempat tidur dan mandi, rencanaku hari ini adalah mampir ke rumah Nala sebelum menuju ke tempat kerja malam hari. Saat aku sedang bersiap-siap, si hantu tampan mendekat."Kamu mau kemana? Aku ikut!" serunya penuh semangat."Kamu disini saja! Saya ada perlu keluar sebentar," jawabku tegas, sambil menolak usulnya.Wajahnya yang semula cerah berubah muram, seakan ada awan gelap yang mendung di atasnya. Dengan lesu, dia duduk di pojokan, matanya menerawang lemah. Aku menghela nafas melihat ekspresi laparnya, serupa anak yang terlupa makan selama seminggu."Kamu juga gak bakalan bisa ikut. Kamu lihat di luar sana, matahari bersinar terang. Kamu mau hancur terbakar matahari?" tegas ku lagi."Eh iya ya... aku lupa kalau sekarang sudah siang," katanya dengan senyum malu-malu. Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal."Makanya kamu tunggu di sini dulu. Aku juga pergi sebentar. Jangan tanya oleh-olehnya apa, karena kamu gak bakal

  • Kimmy vs Hantu Tampan    Bab 5

    Aku yang sudah mandi dan berganti pakaian kini duduk di depan si hantu tampan, menatapnya tajam tanpa ragu. Matanya tertunduk, seperti paham bahwa aku tengah kesal dan marah padanya. Dia tampak seolah tak bersalah, tapi aku tak akan begitu saja terkecoh."Kamu," ujarku sambil menunjuknya dengan telunjuk yang masih sedikit gemetar karena emosi."Sorry, aku nggak tahu kamu lagi mandi. Siapa juga yang mandi telanjang kayak gitu!" balasnya santai, tanpa rasa bersalah.Mendengar itu, amarahku semakin memuncak. "Kamu sendiri ngapain ke kamar mandi?" tanyaku penuh selidik, menahan diri agar suaraku tidak meledak."Mau mandi juga," jawabnya ringan.Aku memutar mata, berusaha mencerna absurditas jawabannya. Mana ada hantu yang mau mandi? Apa dia pikir aku sebodoh itu untuk mempercayainya? Ini jelas hanya alasan. Alibi murahan untuk menutupi kebiasaan mesumnya. Aku yakin di balik wajah tampannya, dia menyimpan niat-niat tersembunyi yang tidak bisa kuabaikan begitu saja. Aku harus tetap waspada—

  • Kimmy vs Hantu Tampan    Bab 4

    Tak ada ketakutan sedikit pun di dalam diriku saat berhadapan dengan sosok hantu wanita berbadan tambun itu. Meski napasku sedikit memburu, aku tetap menatapnya dengan penuh keyakinan. Dengan gerakan cepat, kulempar tongkat di tanganku ke arah bahu kanannya, tepat mengenai sasaran. Dia meringis kesakitan, tetapi matanya segera membara penuh kemarahan."Tidak kusangka, ternyata kamu bisa melihatku dan memiliki keahlian semacam ini," ucap hantu itu dengan nada heran, senyumnya menipis, seolah meremehkanku."Aku tidak punya waktu untuk berbasa-basi denganmu. Mari kita akhiri semua ini sekarang juga!" balasku tegas, tanpa ada keraguan.Dalam benakku, aku tahu percuma memperpanjang obrolan dengannya. Meski tubuhnya tambun, gerakannya ternyata jauh dari perkiraan. Ia bergerak begitu lincah, bahkan larinya secepat bayangan yang membuatku cukup kewalahan untuk mengimbangi. Hatiku mulai gelisah.Bagaimana aku bisa menghentikannya? Langkahku sedikit terhenti saat kucoba mencari titik kelemahann

  • Kimmy vs Hantu Tampan    Bab 3

    Mau tak mau, suka tak suka, aku menyeret si hantu tampan yang kini terlihat lebih ketakutan dari sebelumnya ke depan apartemen nomor 13. Wajahnya pucat, tapi dia tidak berkata apa-apa. Mungkin sadar bahwa jika dia melawan, aku bisa saja benar-benar mengusirnya mentah-mentah dari sini.Kami kini berdiri di depan pintu apartemen yang terlihat sunyi. Sayangnya, pintu itu terkunci rapat, dan kami sama sekali tidak memiliki kuncinya. Aku menatap pintu tersebut sambil menghela napas. Apa sekarang harus menyerah saja? Tidak, aku bukan tipe yang mudah menyerah tanpa mencoba. Aku memutuskan untuk mencari bantuan.Langkah kakiku membawa aku ke bagian pos satpam. Seorang pria penjaga tua berdiri di sana, wajahnya penuh dengan keraguan begitu aku mulai mengajaknya berbicara."Pak, apa Bapak tahu sesuatu tentang apartemen nomor 13?" tanyaku sambil mencoba terdengar biasa saja, walaupun ada rasa ingin tahu yang mendesak di hatiku.Dia mengernyit sejenak, lalu menjawab dengan nada pelan dan hati-hat

  • Kimmy vs Hantu Tampan    Bab 2

    "Tunggu, kamu serius bisa melihatku?" tanyanya sekali lagi, matanya berbinar penuh antusias."Hmm," sahutku sambil mengangguk pelan. Aku tetap waspada."Akhirnya..." bisiknya, terlihat ada kebahagiaan terpancar di wajahnya.Akhirnya? Apa maksudnya? Jantungku berdegup semakin kencang. Apa mungkin benar yang Nala bilang, kalau dia membutuhkan manusia perawan seperti aku agar tetap kekal di dunia ini? Ya ampun, kalau itu benar, aku dalam bahaya besar! Tidak boleh menunggu lebih lama lagi, ini saatnya! Aku harus menghentikannya sekarang juga!"Dasar makhluk menjijikkan! Kau tidak akan bisa memanfaatkan aku!" teriakku dalam hati sebelum mulai mengayunkan tongkat ke arahnya dengan penuh tekad.Namun, sebelum tongkatku sempat mengenainya, dia tiba-tiba menyatukan kedua tangannya dan berteriak. "Jangan! Jangan pukul aku! Tolong, jangan pukul aku!" katanya memohon dengan suara memelas.Aku mendengus, menguatkan hati. "Tidak bisa! Kamu ini sudah cukup lama mengganggu orang-orang di sekitar sini

  • Kimmy vs Hantu Tampan    Bab 1

    "Kim, lo yakin mau tinggal di apartemen ini?" tanya Nala lagi begitu kami tiba di depan gedung apartemen yang aku sewa. Suaranya penuh keraguan, dan aku bisa merasakan keinginannya agar aku mempertimbangkan ulang keputusanku."Yakin banget!" jawabku dengan semangat, mencoba menepis semua keraguan yang tergambar jelas di wajahnya."Lo gak takut apa?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada setengah berbisik seolah takut sesuatu mendengar."Takut? Kenapa mesti takut?" aku menjawab santai, bahkan mungkin terlalu santai hingga Nala mengernyit. Aku tahu apa yang ada di pikirannya."Kimmy...!!! Lo gak dengar cerita tentang apartemen nomor 14 itu? Kan terkenal banget angker," lanjut Nala dengan suara mendesak, berusaha keras membuatku goyah.Aku tersenyum, memperhatikan wajah paniknya yang begitu tulus. "Dengar kok," jawabku ringan.Nala tampak terkejut dengan reaksiku. "Terus, lo kok masih mau tinggal di sana? Gue gak mau nanti keperawanan lo diambil sama hantu perjaka tua di sana," sergahnya s

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status