Share

Bab 6

Author: Cerah pagi
last update Huling Na-update: 2025-09-11 16:19:03

Keesokan harinya, aku terjaga dari tidur agak siang. Usai merapikan tempat tidur dan mandi, rencanaku hari ini adalah mampir ke rumah Nala sebelum menuju ke tempat kerja malam hari. Saat aku sedang bersiap-siap, si hantu tampan mendekat.

"Kamu mau kemana? Aku ikut!" serunya penuh semangat.

"Kamu disini saja! Saya ada perlu keluar sebentar," jawabku tegas, sambil menolak usulnya.

Wajahnya yang semula cerah berubah muram, seakan ada awan gelap yang mendung di atasnya. Dengan lesu, dia duduk di pojokan, matanya menerawang lemah. Aku menghela nafas melihat ekspresi laparnya, serupa anak yang terlupa makan selama seminggu.

"Kamu juga gak bakalan bisa ikut. Kamu lihat di luar sana, matahari bersinar terang. Kamu mau hancur terbakar matahari?" tegas ku lagi.

"Eh iya ya... aku lupa kalau sekarang sudah siang," katanya dengan senyum malu-malu. Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Makanya kamu tunggu di sini dulu. Aku juga pergi sebentar. Jangan tanya oleh-olehnya apa, karena kamu gak bakalan bisa menggunakannya," lanjutku, ingin menegaskan bahwa dia harus mengerti situasinya sebagai hantu, bukan manusia. Dia hanya mengangguk, mengerti akan nasibnya yang tak bisa berjalan di bawah terik matahari.

***

Sesampainya di rumah Nala, aku langsung merebahkan diri di sofa. Rasanya nyaman sekali, jauh dari gangguan. Aku segera menghidupkan TV dan mencari episode terbaru Drakor favoritku. Soal si hantu tampan? Ah, kali ini aku memilih untuk melupakan sejenak. Fokusku sekarang adalah alur cerita Drakor yang begitu menarik, sesuatu yang tidak mungkin kudapatkan kalau aku nonton di apartemen. Kalau di sana, si hantu tampan itu pasti akan ngoceh tanpa henti. Sangat mengganggu.

Belum lama aku tenggelam dalam alur cerita, Nala muncul di pintu dengan plastik belanjaan di tangannya. "Kim, kapan kamu sampai?" tanyanya santai sambil meletakkan belanjaan di meja.

"Barusan," jawabku singkat tanpa mengalihkan pandangan dari layar.

"Gimana tinggal di sana? Jadi, beneran ada hantu perjaka tua di apartemen kamu, kan?" Nala terus menggali, tampaknya ingin memastikan sesuatu.

"Gak ada. Yang ada itu hantu tampan nan rupawan," jawabku, mataku tetap terpaku pada drama Korea yang memuncak emosi.

Nala mendekat dengan penasaran, tapi sebelum dia melanjutkan, aku sudah menyiapkan 'senjata.' Tanpa ragu, aku menyumpal mulutnya dengan segenggam ciki yang ada di tanganku.

"Udah deh, jangan bilang gosip-gosip. Itu gak benar. Lagipula, apa kamu lebih percaya gosip itu atau omongan aku yang jelas-jelas bisa melihat hantu sendiri?"

"Omongan kamu, tentunya!" jawab Nala cepat, tak mau kalah. Aku tertawa kecil sambil kembali tenggelam dalam drama, merasa lega tidak ada yang mengganggu momen santai ini.

"Tapi beneran hantunya tampan?" tanya Nala lagi, matanya berbinar penuh rasa penasaran. Aku terkekeh mendengar nada suaranya.

"Beneran! Sumpah, pertama kali aku lihat, langsung terpesona, lho. Kalau dia gak dedemit, udah ku sikat jadi pacar," jawabku sambil bercanda, meski ada setitik kebenaran di dalamnya. Memang, siapa yang menyangka hantu bisa sekeren itu?

Nala tertawa kecil, namun masih terlihat tak puas. "Terus, kalian tinggal bareng, dong?"

"Hmm, buat sementara, sampai dia lenyap," jawabku dengan nada ringan.

"Kok bisa begitu?" tanyanya, nadanya kini terdengar sedikit serius.

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Dia kan memang seharusnya lenyap. Tapi, entah kenapa, dia masih ada di dunia ini. Kayak ada yang mengganjal di hatinya, seolah-olah ada sesuatu yang belum selesai." Kata-kata itu meluncur dari mulutku, tapi tak bisa kubohongi, aku pun merasa penasaran. Apa sih, yang sebenarnya menghentikan dia dari pergi ke alamnya? Apa yang membuatnya terikat di dunia ini? Pikiran itu terus mengusik benakku.

Nala memiringkan kepalanya, menunggu lanjutan penjelasanku.

"Mungkin kalau dia berhasil mengetahui apa penyebab kematiannya, dia bakal pergi dengan sendirinya," lanjutku, mencoba menjelaskan dengan suara yang terdengar lebih mantap meski dalam hati, aku merasa sedikit gamang.

"Terus?"

"Aku bakal bantu dia cari tahu identitasnya dan alasan di balik kematiannya," kataku dengan senyum tipis. Jujur, aku sendiri tak tahu kenapa aku rela ikut campur urusan hantu tampan itu. Mungkin karena rasa penasaran, atau mungkin... karena aku juga ingin membantu dia mendapatkan kedamaian?

"Lagipula," sambungku sambil menyeringai lebar, "selama dia masih ada, aku bisa manfaatin dia jadi partner buat menghasilkan uang!" Aku membayangkan pundi-pundi uang yang bisa kudapat dari situasi aneh ini. Sisi serakahku muncul sekejap, tetapi tak kupungkiri, aku juga mulai merasa ada koneksi aneh antara aku dan sosok hantu itu.

"Oh ya mana alamat tempat yang harus aku datangi nanti malam?"tanyaku pada Nala.

"Alamatnya sudah aku kirim ke ponsel kamu. Hati-hati, Kimmy! Meskipun kamu punya tongkat dan belati sakti, tetap saja kamu itu manusia biasa. Ingat, hantu bisa saja membunuh kamu!" suara Nala terdengar serius, seperti ingin menanamkan kekhawatiran ke dalam pikiranku.

Aku tertawa kecil, mencoba menghapus kecemasannya. "Tenang saja, Nala cantik. Aku akan hati-hati, kok. Semua ini akan segera berlalu, dan setelah uangku terkumpul untuk operasi mata, aku bisa hidup sebagai gadis normal. Siapa tahu, aku bahkan bisa bekerja seperti kamu," kataku, mencoba menenangkan dia sekaligus diriku sendiri.

Tapi jauh di dalam hati, aku tahu bahwa kata-kataku hanyalah pelipur lara sementara, karena semua ini tidak pernah sesederhana itu. Saat aku memikirkan perjalanan hidupku, kenangan kelam itu kembali menghantui. Kecelakaan tragis ketika aku berumur tujuh tahun telah mengubah segalanya.

Kedua orang tuaku—cinta terbesar dalam hidupku—direnggut secara tiba-tiba. Aku masih ingat ketika aku terbangun dari koma setelah seminggu dan perasaan kosong menyelimuti diriku. Mata ini terbuka, tetapi hal pertama yang kulihat bukanlah mereka sebagai sosok fisik. Itu adalah tubuh astral mereka. Ayah dan ibu datang bukan untuk menghibur, tetapi seperti memberi tanda bahwa jalan hidupku telah berubah secara permanen.

Mengapa aku harus melihat mereka dalam wujud seperti itu? Pertanyaan itu selalu mengendap di pikiranku. Ada saat-saat di mana aku merindukan sentuhan hangat tangan mereka, suara lembut yang memanggil namaku. Tapi semua itu sekarang hanyalah bayangan. Saat ini aku berusaha keras, berjuang melawan takdir dan mencari kehidupan yang seharusnya. Meski aku bisa "melihat" dunia lain, aku sering bertanya-tanya, apakah itu benar-benar anugerah atau kutukan yang diberikan kepada seorang anak kecil seperti aku saat itu.

Semenjak itu, aku mulai melihat sosok-sosok aneh yang selalu mengintai di sekitarku. Awalnya, aku mencoba mengabaikannya, tapi mereka tak pernah membiarkan aku tenang. Beberapa dari mereka bahkan dengan sengaja menakut-nakuti dan membuat malam-malamku menjadi mimpi buruk yang panjang. Aku merasa tersudut, seperti tidak ada yang bisa menolongku. Namun, nenekku berbeda. Dia memandangku tanpa sedikit pun ragu atau jijik. Ketika aku menceritakan semuanya, nenek hanya tersenyum tipis dan berkata bahwa dia mengerti.

Dia memberikanku sebuah tongkat dan belati tua yang sudah tampak usang. "Ini bukan senjata biasa," katanya, matanya menatapku dengan keyakinan.

"Ini akan melindungimu dari roh-roh jahat itu." Aku memegang benda-benda itu dengan erat, berharap mereka benar-benar bisa memberiku sedikit rasa aman yang sudah lama hilang.

Namun, hidupku jauh dari kata mudah. Sejak kecil, aku sudah terbiasa dengan tatapan aneh dari orang-orang. Aku tahu apa yang ada di pikiran mereka, karena mereka sering kali melontarkannya langsung ke wajahku tanpa rasa ragu. "Dia anak aneh!" kata mereka, beberapa bahkan menyebutku titisan setan.

Kata-kata itu, seperti pisau tajam, terus menghujam diriku dari waktu ke waktu, membuatku bertanya-tanya, apa yang salah denganku? Sampai pada satu titik, aku berhenti mencoba mencari teman. Aku lelah menelan penolakan berulang-ulang. Tapi ada satu orang yang berbeda. Nala. Dia datang seperti pelangi di tengah badai, menerima keanehanku meskipun aku tahu betul bahwa dia sangat takut pada hal-hal mistis.

Aku pernah bertanya padanya, "Kenapa kamu tidak menjauhiku seperti orang lain?" Jawabannya sederhana yaitu "Aku lebih melihat siapa kamu daripada apa yang orang lain katakan tentangmu." Kata-kata itu adalah cahaya kecil yang tetap menerangi hatiku, meskipun gelap selalu ada di sekitarku.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kimmy vs Hantu Tampan    Bab 6

    Keesokan harinya, aku terjaga dari tidur agak siang. Usai merapikan tempat tidur dan mandi, rencanaku hari ini adalah mampir ke rumah Nala sebelum menuju ke tempat kerja malam hari. Saat aku sedang bersiap-siap, si hantu tampan mendekat."Kamu mau kemana? Aku ikut!" serunya penuh semangat."Kamu disini saja! Saya ada perlu keluar sebentar," jawabku tegas, sambil menolak usulnya.Wajahnya yang semula cerah berubah muram, seakan ada awan gelap yang mendung di atasnya. Dengan lesu, dia duduk di pojokan, matanya menerawang lemah. Aku menghela nafas melihat ekspresi laparnya, serupa anak yang terlupa makan selama seminggu."Kamu juga gak bakalan bisa ikut. Kamu lihat di luar sana, matahari bersinar terang. Kamu mau hancur terbakar matahari?" tegas ku lagi."Eh iya ya... aku lupa kalau sekarang sudah siang," katanya dengan senyum malu-malu. Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal."Makanya kamu tunggu di sini dulu. Aku juga pergi sebentar. Jangan tanya oleh-olehnya apa, karena kamu gak bakal

  • Kimmy vs Hantu Tampan    Bab 5

    Aku yang sudah mandi dan berganti pakaian kini duduk di depan si hantu tampan, menatapnya tajam tanpa ragu. Matanya tertunduk, seperti paham bahwa aku tengah kesal dan marah padanya. Dia tampak seolah tak bersalah, tapi aku tak akan begitu saja terkecoh."Kamu," ujarku sambil menunjuknya dengan telunjuk yang masih sedikit gemetar karena emosi."Sorry, aku nggak tahu kamu lagi mandi. Siapa juga yang mandi telanjang kayak gitu!" balasnya santai, tanpa rasa bersalah.Mendengar itu, amarahku semakin memuncak. "Kamu sendiri ngapain ke kamar mandi?" tanyaku penuh selidik, menahan diri agar suaraku tidak meledak."Mau mandi juga," jawabnya ringan.Aku memutar mata, berusaha mencerna absurditas jawabannya. Mana ada hantu yang mau mandi? Apa dia pikir aku sebodoh itu untuk mempercayainya? Ini jelas hanya alasan. Alibi murahan untuk menutupi kebiasaan mesumnya. Aku yakin di balik wajah tampannya, dia menyimpan niat-niat tersembunyi yang tidak bisa kuabaikan begitu saja. Aku harus tetap waspada—

  • Kimmy vs Hantu Tampan    Bab 4

    Tak ada ketakutan sedikit pun di dalam diriku saat berhadapan dengan sosok hantu wanita berbadan tambun itu. Meski napasku sedikit memburu, aku tetap menatapnya dengan penuh keyakinan. Dengan gerakan cepat, kulempar tongkat di tanganku ke arah bahu kanannya, tepat mengenai sasaran. Dia meringis kesakitan, tetapi matanya segera membara penuh kemarahan."Tidak kusangka, ternyata kamu bisa melihatku dan memiliki keahlian semacam ini," ucap hantu itu dengan nada heran, senyumnya menipis, seolah meremehkanku."Aku tidak punya waktu untuk berbasa-basi denganmu. Mari kita akhiri semua ini sekarang juga!" balasku tegas, tanpa ada keraguan.Dalam benakku, aku tahu percuma memperpanjang obrolan dengannya. Meski tubuhnya tambun, gerakannya ternyata jauh dari perkiraan. Ia bergerak begitu lincah, bahkan larinya secepat bayangan yang membuatku cukup kewalahan untuk mengimbangi. Hatiku mulai gelisah.Bagaimana aku bisa menghentikannya? Langkahku sedikit terhenti saat kucoba mencari titik kelemahann

  • Kimmy vs Hantu Tampan    Bab 3

    Mau tak mau, suka tak suka, aku menyeret si hantu tampan yang kini terlihat lebih ketakutan dari sebelumnya ke depan apartemen nomor 13. Wajahnya pucat, tapi dia tidak berkata apa-apa. Mungkin sadar bahwa jika dia melawan, aku bisa saja benar-benar mengusirnya mentah-mentah dari sini.Kami kini berdiri di depan pintu apartemen yang terlihat sunyi. Sayangnya, pintu itu terkunci rapat, dan kami sama sekali tidak memiliki kuncinya. Aku menatap pintu tersebut sambil menghela napas. Apa sekarang harus menyerah saja? Tidak, aku bukan tipe yang mudah menyerah tanpa mencoba. Aku memutuskan untuk mencari bantuan.Langkah kakiku membawa aku ke bagian pos satpam. Seorang pria penjaga tua berdiri di sana, wajahnya penuh dengan keraguan begitu aku mulai mengajaknya berbicara."Pak, apa Bapak tahu sesuatu tentang apartemen nomor 13?" tanyaku sambil mencoba terdengar biasa saja, walaupun ada rasa ingin tahu yang mendesak di hatiku.Dia mengernyit sejenak, lalu menjawab dengan nada pelan dan hati-hat

  • Kimmy vs Hantu Tampan    Bab 2

    "Tunggu, kamu serius bisa melihatku?" tanyanya sekali lagi, matanya berbinar penuh antusias."Hmm," sahutku sambil mengangguk pelan. Aku tetap waspada."Akhirnya..." bisiknya, terlihat ada kebahagiaan terpancar di wajahnya.Akhirnya? Apa maksudnya? Jantungku berdegup semakin kencang. Apa mungkin benar yang Nala bilang, kalau dia membutuhkan manusia perawan seperti aku agar tetap kekal di dunia ini? Ya ampun, kalau itu benar, aku dalam bahaya besar! Tidak boleh menunggu lebih lama lagi, ini saatnya! Aku harus menghentikannya sekarang juga!"Dasar makhluk menjijikkan! Kau tidak akan bisa memanfaatkan aku!" teriakku dalam hati sebelum mulai mengayunkan tongkat ke arahnya dengan penuh tekad.Namun, sebelum tongkatku sempat mengenainya, dia tiba-tiba menyatukan kedua tangannya dan berteriak. "Jangan! Jangan pukul aku! Tolong, jangan pukul aku!" katanya memohon dengan suara memelas.Aku mendengus, menguatkan hati. "Tidak bisa! Kamu ini sudah cukup lama mengganggu orang-orang di sekitar sini

  • Kimmy vs Hantu Tampan    Bab 1

    "Kim, lo yakin mau tinggal di apartemen ini?" tanya Nala lagi begitu kami tiba di depan gedung apartemen yang aku sewa. Suaranya penuh keraguan, dan aku bisa merasakan keinginannya agar aku mempertimbangkan ulang keputusanku."Yakin banget!" jawabku dengan semangat, mencoba menepis semua keraguan yang tergambar jelas di wajahnya."Lo gak takut apa?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada setengah berbisik seolah takut sesuatu mendengar."Takut? Kenapa mesti takut?" aku menjawab santai, bahkan mungkin terlalu santai hingga Nala mengernyit. Aku tahu apa yang ada di pikirannya."Kimmy...!!! Lo gak dengar cerita tentang apartemen nomor 14 itu? Kan terkenal banget angker," lanjut Nala dengan suara mendesak, berusaha keras membuatku goyah.Aku tersenyum, memperhatikan wajah paniknya yang begitu tulus. "Dengar kok," jawabku ringan.Nala tampak terkejut dengan reaksiku. "Terus, lo kok masih mau tinggal di sana? Gue gak mau nanti keperawanan lo diambil sama hantu perjaka tua di sana," sergahnya s

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status