Share

Bab 2

Author: Cerah pagi
last update Huling Na-update: 2025-09-09 20:26:42

"Tunggu, kamu serius bisa melihatku?" tanyanya sekali lagi, matanya berbinar penuh antusias.

"Hmm," sahutku sambil mengangguk pelan. Aku tetap waspada.

"Akhirnya..." bisiknya, terlihat ada kebahagiaan terpancar di wajahnya.

Akhirnya? Apa maksudnya? Jantungku berdegup semakin kencang. Apa mungkin benar yang Nala bilang, kalau dia membutuhkan manusia perawan seperti aku agar tetap kekal di dunia ini? Ya ampun, kalau itu benar, aku dalam bahaya besar! Tidak boleh menunggu lebih lama lagi, ini saatnya! Aku harus menghentikannya sekarang juga!

"Dasar makhluk menjijikkan! Kau tidak akan bisa memanfaatkan aku!" teriakku dalam hati sebelum mulai mengayunkan tongkat ke arahnya dengan penuh tekad.

Namun, sebelum tongkatku sempat mengenainya, dia tiba-tiba menyatukan kedua tangannya dan berteriak. "Jangan! Jangan pukul aku! Tolong, jangan pukul aku!" katanya memohon dengan suara memelas.

Aku mendengus, menguatkan hati. "Tidak bisa! Kamu ini sudah cukup lama mengganggu orang-orang di sekitar sini. Aku tahu pasti ulahmu yang menyebabkan semua penghuni di barisan apartemen ini pergi. Kamu pasti suka berbuat iseng, kan?" tegasku, tak peduli pada wajah memelasnya.

"Bukan aku! Bukan! Aku bersumpah bukan aku! Itu yang di apartemen nomor 13! Aku tidak jahat! Suerrrrrr!!!" balasnya berusaha meyakinkanku, nada suaranya nyaris putus asa.

Aku menatapnya curiga, mencoba mencari kebenaran dari matanya. "Maksudmu?" tanyaku, suaraku melemah, tapi masih penuh kehati-hatian.

"Coba kamu perhatikan aku baik-baik, dari ujung rambut sampai ujung kaki," katanya sambil mengangkat sedikit tangannya, menyuruhku memandang lebih saksama.

Ada bagian dari diriku yang langsung ingin menolak permintaan anehnya itu. Tapi, entah kenapa, aku malah menurut begitu saja. Mataku perlahan melirik mulai dari ujung kakinya, naik ke atas, ke rambutnya. Bodoh sekali! Kenapa aku malah menuruti permintaannya? Apa dia sedang menjebakku?

"Hantu secakep dan setampan aku ini apa mungkin berbuat onar?"ucapnya dengan percaya dirinya.

Aku menghela nafas. Aku kira dia mau menipuku ternyata dia hanya lagi menyombongkan wajahnya yang rupawan. Dasar hantu genit!

"Mengapa kamu bisa yakin kalau apartemen 13 itu yang selalu bikin onar?" tanyaku penasaran, sambil memperhatikan wajahnya.

"Karena di sana ada hantu tante-tante!" jawabnya cepat, tapi suaranya terdengar gemetar.

"Jadi kamu takut?" pancingku, mencoba menggali lebih jauh.

"Hmmm, nggak," elaknya sambil pura-pura tenang.

"Kalau begitu, kenapa kamu masih ada di apartemen ini?" tanyaku lagi, kali ini dengan nada lebih tajam. Aku penasaran dengan jawaban yang ia sembunyikan.

"Itulah aku juga nggak tahu," ia mulai menghela napas berat.

"Aku nggak bisa keluar dari apartemen ini. Bahkan, aku juga nggak bisa lenyap sampai sekarang. Jujur, aku lelah!" keluhnya, lalu ia duduk dengan wajah kusut. Tangannya menopang kepala, persis seperti ibu-ibu pusing mikirin cicilan panci.

Aku hanya mendesah. "Tapi sekarang aku yang akan tinggal di sini," ucapku tegas, berusaha mengakhiri percakapan yang rasanya nggak masuk akal ini.

"Jadi, kamu bisa pergi sekarang. Nih, pintu keluar sudah aku buka lebar-lebar!" ujarku sambil menunjuk pintu, tanpa berusaha menutupi kekesalanku. Aku merasa harus bersikap tegas, karena bagaimanapun apartemen ini sekarang sudah jadi milikku. Sewanya sudah kubayar di muka, dan tidak ada tempat untuk siapapun—manusia atau hantu—yang berani mengganggu ruang pribadiku.

"Aku nggak peduli siapa kamu, manusia atau hantu. Kalau aku nggak suka, aku nggak mau kamu di sini!" Kataku dengan suara tegas, memastikan bahwa dia tahu aku serius.

"Gak bisa dong! Aku duluan yang tinggal di sini," ucapnya sambil menyilangkan tangan dengan tatapan menantang. Aku spontan tertawa kecil, meski lebih karena heran daripada geli.

"Duluan? Emangnya kamu ada hak apa sampai bisa bilang lebih berhak tinggal di sini? Bayar kagak, gratisan malah. Hak ingin memiliki lebih tinggi dari manusia, dasar!" balasku sinis sambil menatapnya. Jujur, menghadapi makhluk sepertinya, kesabaranku mulai tipis.

"Waah! Baru kali ini aku lihat ada wanita mulutnya lebih seram dari hantu!" umpatnya tajam dengan raut tak terima.

"Biarin!" jawabku datar, tak peduli. Ngapain aku repot memikirkan pendapat hantu?

"Gak bisa gitu juga!" tukasnya ngotot, suaranya makin meninggi.

"Di dunia kamu, memang kamu yang berhak. Tapi di duniaku, aku yang berhak!" Sungguh, gaya bicaranya yang ngeyel seperti anak kecil ini menguji mental.

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menatapnya lurus. Kesabaran ini benar-benar habis sudah. "Kamu pergi atau piano ini aku hancurkan?" ancamku dingin sambil melirik piano tua di pojok ruangan, senjata terakhir dalam perdebatan absurd ini.

"Tunggu, jangan! Jangan hancurkan piano ini!" serunya panik. Nada suaranya tiba-tiba berubah, membuatku menghentikan niatku sejenak.

"Kamu boleh usir aku, tapi tolong jangan rusak piano ini. Hanya ini satu-satunya kenangan yang tersisa. Aku bahkan gak ingat apa-apa lagi... bahkan namaku sendiri," ucapnya dengan suara parau. Matanya memancarkan kesedihan yang begitu dalam, hingga membuatku tertegun.

Aku diam, mencoba memahami rasa kehilangan yang dia utarakan. Aku tidak menyangka, makhluk serupa dia punya sisi rapuh seperti ini. Namun di saat yang sama, aku masih enggan bersikap lembut sepenuhnya. Namun entah kenapa, kalimat terakhirnya barusan berhasil sedikit mengetuk hatiku.

Dengan wajah tertekuk dan ekspresi kesal, dia keluar dari apartemenku, meninggalkan kesunyian yang aneh. Drama panjang perebutan tempat tinggal antara manusia dan makhluk astral ini tampaknya telah mencapai akhirnya. Manusia menang, seperti biasa. Aku menghela napas lega. Tidak ada lagi hawa aneh di sekitarku, menandakan dia benar-benar pergi. Rasanya tenang. Setidaknya itu yang kupikirkan.

Namun, baru saja aku ingin duduk di sofa untuk beristirahat, dia tiba-tiba kembali berlari terbirit-birit ke dalam apartemenku.

"Gak bisa! Aku gak bisa pergi dari sini. Tante di apartemen 13 mengejarku dari tadi. Sumpah aku takut!" teriaknya dengan suara gemetar, penuh kepanikan.

Aku hanya bisa melongo mendengar pengakuannya. Tunggu... apa barusan? Hantu... takut sama hantu? Aku hampir tertawa kalau saja ekspresinya tidak terlihat benar-benar panik. Tubuh transparannya gemetar, seolah-olah dia habis berlari sejauh mungkin dari sesuatu yang tidak terbayangkan. Rasa ingin tahuku langsung melonjak. Tante di apartemen 13? Apa dia berbicara tentang hantu lain? Hantu wanita seperti apa yang sampai bisa membuatnya setakut ini?

"Dia sekarang di mana, Tante yang kamu bilang itu?" tanyaku, mencoba menahan senyum di tengah rasa penasaran.

"Dia sudah masuk kembali ke dalam apartemen nomor 13," jawabnya sambil dengan gesit bersembunyi di balik sofa tempat aku duduk.

Tatapannya tidak sekali pun berani melihat pintu. Entah kenapa, sikap pengecutnya ini malah membuatku ingin menyelidiki lebih jauh.

"Ayo kita ke sana," ajakku sambil berdiri, menatap pintu apartemen 13 dengan penuh rasa penasaran. Apa mungkin aku baru saja menemukan hantu yang lebih menakutkan daripada penghuni astral di hadapanku ini?

"Tidak... aku tidak mau! Aku takut!" katanya dengan suara gemetar sambil tetap berjongkok di belakang sofa.

Aku menatapnya dengan sedikit tidak percaya. Dasar hantu aneh, pikirku, kok bisa-bisanya makhluk seperti dia ketakutan seperti ini?

"Kamu masih mau tinggal di sini?" tanyaku, mencoba menantangnya untuk berpikir.

Tak kusangka, dia langsung berdiri dan mengangguk cepat, seolah ketakutan lebih besar menunggunya di luar sana daripada di sini bersamaku.

"Baiklah," aku menghela napas, "kamu boleh tinggal di sini denganku, tapi sekarang kamu ikut aku mencari hantu Tante yang kamu bilang tadi!" Aku menatapnya dengan tegas, menunggu responsnya.

"Jangan!" Dia menggeleng kuat, wajahnya berubah semakin pucat, meskipun itu agak ironis untuk seorang hantu.

"Lebih baik kamu tetap tenang di sini. Kamu gak akan sanggup melawannya!" ujarnya dengan nada serius, matanya memancarkan ketakutan yang begitu nyata.

Aku tertawa kecil, sedikit terhibur oleh situasi absurd ini. "Gak bisa!" jawabku mantap.

"Aku harus lihat seperti apa sosok yang bisa membuat hantu sepertimu ketakutan begini! Masa iya kamu takut sama sesama hantu?"

"Ya sudah, terserah kamu kalau mau pergi!" katanya akhirnya, menyerah, tapi matanya berkilat tajam penuh peringatan.

"Tapi ingat ini baik-baik: nanti kalau kamu jadi ubi, jangan salahkan aku!" Nada ancamannya membuatku hampir tertawa lagi, tapi aku tahan.

"Siapa takut!" balasku dengan nada menantang, mataku menatapnya lekat-lekat. Aku tak ingin ada yang menilai aku pengecut, bahkan sekalipun oleh seorang hantu yang terlalu ketakutan menghadapi jenisnya sendiri.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kimmy vs Hantu Tampan    Bab 6

    Keesokan harinya, aku terjaga dari tidur agak siang. Usai merapikan tempat tidur dan mandi, rencanaku hari ini adalah mampir ke rumah Nala sebelum menuju ke tempat kerja malam hari. Saat aku sedang bersiap-siap, si hantu tampan mendekat."Kamu mau kemana? Aku ikut!" serunya penuh semangat."Kamu disini saja! Saya ada perlu keluar sebentar," jawabku tegas, sambil menolak usulnya.Wajahnya yang semula cerah berubah muram, seakan ada awan gelap yang mendung di atasnya. Dengan lesu, dia duduk di pojokan, matanya menerawang lemah. Aku menghela nafas melihat ekspresi laparnya, serupa anak yang terlupa makan selama seminggu."Kamu juga gak bakalan bisa ikut. Kamu lihat di luar sana, matahari bersinar terang. Kamu mau hancur terbakar matahari?" tegas ku lagi."Eh iya ya... aku lupa kalau sekarang sudah siang," katanya dengan senyum malu-malu. Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal."Makanya kamu tunggu di sini dulu. Aku juga pergi sebentar. Jangan tanya oleh-olehnya apa, karena kamu gak bakal

  • Kimmy vs Hantu Tampan    Bab 5

    Aku yang sudah mandi dan berganti pakaian kini duduk di depan si hantu tampan, menatapnya tajam tanpa ragu. Matanya tertunduk, seperti paham bahwa aku tengah kesal dan marah padanya. Dia tampak seolah tak bersalah, tapi aku tak akan begitu saja terkecoh."Kamu," ujarku sambil menunjuknya dengan telunjuk yang masih sedikit gemetar karena emosi."Sorry, aku nggak tahu kamu lagi mandi. Siapa juga yang mandi telanjang kayak gitu!" balasnya santai, tanpa rasa bersalah.Mendengar itu, amarahku semakin memuncak. "Kamu sendiri ngapain ke kamar mandi?" tanyaku penuh selidik, menahan diri agar suaraku tidak meledak."Mau mandi juga," jawabnya ringan.Aku memutar mata, berusaha mencerna absurditas jawabannya. Mana ada hantu yang mau mandi? Apa dia pikir aku sebodoh itu untuk mempercayainya? Ini jelas hanya alasan. Alibi murahan untuk menutupi kebiasaan mesumnya. Aku yakin di balik wajah tampannya, dia menyimpan niat-niat tersembunyi yang tidak bisa kuabaikan begitu saja. Aku harus tetap waspada—

  • Kimmy vs Hantu Tampan    Bab 4

    Tak ada ketakutan sedikit pun di dalam diriku saat berhadapan dengan sosok hantu wanita berbadan tambun itu. Meski napasku sedikit memburu, aku tetap menatapnya dengan penuh keyakinan. Dengan gerakan cepat, kulempar tongkat di tanganku ke arah bahu kanannya, tepat mengenai sasaran. Dia meringis kesakitan, tetapi matanya segera membara penuh kemarahan."Tidak kusangka, ternyata kamu bisa melihatku dan memiliki keahlian semacam ini," ucap hantu itu dengan nada heran, senyumnya menipis, seolah meremehkanku."Aku tidak punya waktu untuk berbasa-basi denganmu. Mari kita akhiri semua ini sekarang juga!" balasku tegas, tanpa ada keraguan.Dalam benakku, aku tahu percuma memperpanjang obrolan dengannya. Meski tubuhnya tambun, gerakannya ternyata jauh dari perkiraan. Ia bergerak begitu lincah, bahkan larinya secepat bayangan yang membuatku cukup kewalahan untuk mengimbangi. Hatiku mulai gelisah.Bagaimana aku bisa menghentikannya? Langkahku sedikit terhenti saat kucoba mencari titik kelemahann

  • Kimmy vs Hantu Tampan    Bab 3

    Mau tak mau, suka tak suka, aku menyeret si hantu tampan yang kini terlihat lebih ketakutan dari sebelumnya ke depan apartemen nomor 13. Wajahnya pucat, tapi dia tidak berkata apa-apa. Mungkin sadar bahwa jika dia melawan, aku bisa saja benar-benar mengusirnya mentah-mentah dari sini.Kami kini berdiri di depan pintu apartemen yang terlihat sunyi. Sayangnya, pintu itu terkunci rapat, dan kami sama sekali tidak memiliki kuncinya. Aku menatap pintu tersebut sambil menghela napas. Apa sekarang harus menyerah saja? Tidak, aku bukan tipe yang mudah menyerah tanpa mencoba. Aku memutuskan untuk mencari bantuan.Langkah kakiku membawa aku ke bagian pos satpam. Seorang pria penjaga tua berdiri di sana, wajahnya penuh dengan keraguan begitu aku mulai mengajaknya berbicara."Pak, apa Bapak tahu sesuatu tentang apartemen nomor 13?" tanyaku sambil mencoba terdengar biasa saja, walaupun ada rasa ingin tahu yang mendesak di hatiku.Dia mengernyit sejenak, lalu menjawab dengan nada pelan dan hati-hat

  • Kimmy vs Hantu Tampan    Bab 2

    "Tunggu, kamu serius bisa melihatku?" tanyanya sekali lagi, matanya berbinar penuh antusias."Hmm," sahutku sambil mengangguk pelan. Aku tetap waspada."Akhirnya..." bisiknya, terlihat ada kebahagiaan terpancar di wajahnya.Akhirnya? Apa maksudnya? Jantungku berdegup semakin kencang. Apa mungkin benar yang Nala bilang, kalau dia membutuhkan manusia perawan seperti aku agar tetap kekal di dunia ini? Ya ampun, kalau itu benar, aku dalam bahaya besar! Tidak boleh menunggu lebih lama lagi, ini saatnya! Aku harus menghentikannya sekarang juga!"Dasar makhluk menjijikkan! Kau tidak akan bisa memanfaatkan aku!" teriakku dalam hati sebelum mulai mengayunkan tongkat ke arahnya dengan penuh tekad.Namun, sebelum tongkatku sempat mengenainya, dia tiba-tiba menyatukan kedua tangannya dan berteriak. "Jangan! Jangan pukul aku! Tolong, jangan pukul aku!" katanya memohon dengan suara memelas.Aku mendengus, menguatkan hati. "Tidak bisa! Kamu ini sudah cukup lama mengganggu orang-orang di sekitar sini

  • Kimmy vs Hantu Tampan    Bab 1

    "Kim, lo yakin mau tinggal di apartemen ini?" tanya Nala lagi begitu kami tiba di depan gedung apartemen yang aku sewa. Suaranya penuh keraguan, dan aku bisa merasakan keinginannya agar aku mempertimbangkan ulang keputusanku."Yakin banget!" jawabku dengan semangat, mencoba menepis semua keraguan yang tergambar jelas di wajahnya."Lo gak takut apa?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada setengah berbisik seolah takut sesuatu mendengar."Takut? Kenapa mesti takut?" aku menjawab santai, bahkan mungkin terlalu santai hingga Nala mengernyit. Aku tahu apa yang ada di pikirannya."Kimmy...!!! Lo gak dengar cerita tentang apartemen nomor 14 itu? Kan terkenal banget angker," lanjut Nala dengan suara mendesak, berusaha keras membuatku goyah.Aku tersenyum, memperhatikan wajah paniknya yang begitu tulus. "Dengar kok," jawabku ringan.Nala tampak terkejut dengan reaksiku. "Terus, lo kok masih mau tinggal di sana? Gue gak mau nanti keperawanan lo diambil sama hantu perjaka tua di sana," sergahnya s

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status