Tak ada ketakutan sedikit pun di dalam diriku saat berhadapan dengan sosok hantu wanita berbadan tambun itu. Meski napasku sedikit memburu, aku tetap menatapnya dengan penuh keyakinan. Dengan gerakan cepat, kulempar tongkat di tanganku ke arah bahu kanannya, tepat mengenai sasaran. Dia meringis kesakitan, tetapi matanya segera membara penuh kemarahan.
"Tidak kusangka, ternyata kamu bisa melihatku dan memiliki keahlian semacam ini," ucap hantu itu dengan nada heran, senyumnya menipis, seolah meremehkanku. "Aku tidak punya waktu untuk berbasa-basi denganmu. Mari kita akhiri semua ini sekarang juga!" balasku tegas, tanpa ada keraguan. Dalam benakku, aku tahu percuma memperpanjang obrolan dengannya. Meski tubuhnya tambun, gerakannya ternyata jauh dari perkiraan. Ia bergerak begitu lincah, bahkan larinya secepat bayangan yang membuatku cukup kewalahan untuk mengimbangi. Hatiku mulai gelisah. Bagaimana aku bisa menghentikannya? Langkahku sedikit terhenti saat kucoba mencari titik kelemahannya. Kemudian, seperti kilatan petir di tengah malam, sebuah ingatan muncul di pikiranku. Tante tambun itu tampaknya punya ketertarikan pada pria berwajah tampan. Sekilas, aku melirik hantu pria tampan yang sekarang tengah bersembunyi dengan gugup di balik gorden pintu. Senyuman tipis terukir di wajahku saat sebuah ide menyelinap ke pikiranku. Baiklah, kalau dia suka pria tampan, aku tahu cara untuk menjebaknya. "Pikirkan sesuatu yang hebat, dan tetap tenang," aku bergumam dalam hati, sambil mulai menyusun rencana berikutnya. Aku berlari menghampiri si hantu tampan dengan belati kecil yang kugenggam erat di tangan. Nafasku memburu, tapi tekadku tak goyah. Aku tahu ini berbahaya, tapi aku harus melakukannya. Aku mengancam si hantu Tante dengan umpanku—si hantu tampan yang kini tertawan oleh ancaman belatiku. "Mau menyerah, atau pria ini yang aku lenyapkan?" tanyaku dengan suara dingin. Aku bisa melihat ekspresi terkejut dan marah dari wajah si hantu Tante ketika matanya tertuju pada belati yang berada di leher si hantu tampan. "Kau? Apa-apaan ini? Kamu menjadikan aku umpan?" tanya si hantu tampan pelan, jelas tak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Aku menatapnya tajam, senyum licik tergambar di wajahku. "Apa masalahnya jika kamu aku jadikan umpan?" jawabku tanpa rasa bersalah. "Dasar manusia berhati iblis!" Dia mengumpatku dengan penuh kebencian. Aku tidak peduli. Perasaan bersalah bukan bagian dari agendaku hari ini. Aku hanya ingin memenangkan permainan ini, apa pun caranya. Histeris, si hantu Tante memekik, "Kamu... kamu jangan sakiti kekasihku!" Nada suaranya melengking, bercampur dengan rasa takut dan amarah. Sesuatu dalam reaksinya mencerminkan trauma yang lebih dalam—dia punya luka yang mungkin sudah lama terbuka. Aku nyaris ingin tertawa melihat betapa rentannya dia dalam menghadapi situasi ini. Dengan satu gerakan cepat, aku melempar belati yang tadinya kuacungkan ke leher si hantu tampan. Belati itu terbang melintasi udara sebelum akhirnya menancap tepat di kening si hantu Tante. Tubuhnya mendadak tegang, bergetar, sebelum akhirnya terbakar perlahan. Jeritannya memenuhi ruangan, suaranya yang menyakitkan terdengar menggema saat bagian tubuhnya hancur menjadi abu, menyatu dengan kehampaan. Aku berdiri di sana, melihat semuanya terjadi, merasakan kemenangan dingin yang mengalir di setiap nadiku. "Hantu berhati rapuh... siapa bilang kalian tak bisa dikalahkan?" gumamku pelan, menyaksikan abu-abu itu berserakan di lantai, seperti penutup akhir dari permainan kejam yang telah kubangun sendiri. Si hantu tampan yang tadi kudorong hingga terjengkang hanya bisa menatapku dengan ekspresi terpana, seolah melihat sesuatu yang luar biasa. “Kamu hebat! Kamu bisa memusnahkan si hantu tante!” pujinya, lalu kembali mengekor di belakangku, seperti anak anjing yang tidak tahu arah. Aku mendengus kesal, berbalik menatapnya dengan tatapan tajam. “Kenapa? Kamu mau aku hancurkan juga?” tanyaku dengan nada setengah serius. “No! Tidak! Aku tidak jahat, Kimmy!” sergahnya, kali ini terdengar lebih cemas. “Aku beneran nggak mengganggu siapa pun. Kenapa aku masih berada di sini, aku juga nggak tahu!” lanjutnya, suaranya terdengar seperti memohon agar aku mempercayainya. Aku mengernyit, mencoba mencerna ucapannya. "Jangan-jangan kamu pria muda yang tewas bunuh diri di sini?” celetukku asal, setengah bercanda. Dia terdiam sejenak, lalu menghela napas—jika itu memang napas. “Aku juga udah memikirkan hal itu. Kalau memang begitu, bukankah seharusnya aku sudah pergi? Seharusnya aku lenyap kalau aku tahu penyebab kematianku. Nyatanya aku masih di sini,” jawabnya dengan nada ragu. Aku menyipitkan mata, mulai merasakan ada misteri yang tidak beres. “Punya dendam kali, sama seseorang?” tuduhku lagi, mencoba memancing respons. Dia menggeleng pelan, lalu menatapku dalam-dalam. “Hmm... itu yang aku nggak tahu,” gumamnya dengan suara pelan, seolah sedang bicara pada dirinya sendiri. “Jadi... apa kamu mau aku membantu mencari tahu identitas dan penyebab kematianmu?” tanyaku skeptis, meski diam-diam aku merasa sedikit tertarik pada misteri ini. Dia tiba-tiba menatapku penuh harap. “Kimmy, tolong, maukah kamu membantuku mencari tahu? Aku nggak punya siapa-siapa lagi di dunia ini untuk dimintai bantuan,” pintanya, dengan nada yang hampir menyentuh sisi lemah hatiku. Aku memiringkan kepala, berpikir sebentar sebelum menjawab. “Untungnya untukku apa?” “I... aku akan membantu semua pekerjaanmu, apa pun itu!” jawabnya cepat, seperti memastikan aku tidak menolak. Mataku menyipit lagi. Tawaran ini... menarik, tapi apakah aku benar-benar bisa mempercayai hantu ini? Ah, entah kenapa, firasatku mengatakan ini akan menjadi perjalanan yang gila. "Kamu tau apa jenis pekerjaanku?" "Kamu...kamu pasti dukun!"jawabnya asal. "Mana ada dukun secantik aku!"ucapku kesal. "Terus apa pekerjaan kamu?"tanyanya penasaran. "Pekerjaanku adalah mengusir dan memusnahkan kaum hantu yang menganggu! Aku biasanya dibayar untuk itu!"jawabku. "Asal kamu bisa membantuku,aku janji akan membantu pekerjaan kamu!"ucapnya tanpa berfikir. Mempunyai rekan sesosok hantu kayaknya tak ada salahnya. Biasanya aku akan melakukannya sendiri,tapi bukankah dua orang lebih baik daripada satu? Entahlah,apa dia bisa ku percaya. "Baiklah,setuju!"jawabku padanya. Dia terlihat cukup senang dengan jawabanku. - - - Hal pertama yang aku lakukan setelah masuk ke apartemen ini adalah merapikan semuanya. Barang-barang yang berserakan kubereskan satu per satu, lalu aku mulai menyapu dan mengepel lantai yang penuh debu. "Ya, siapa lagi yang mau kerja kalau bukan aku? Si hantu tampan itu jelas nggak mungkin bantu, pegang barang aja dia nggak bisa," pikirku sambil mendengus kesal. Entah kenapa aku malah merasa jadi bos sekaligus buruh di apartemen ini. Setelah semuanya terlihat bersih, aku langsung menuju kamar mandi. Rasanya tubuhku begitu lengket dan kotor, seperti habis bergulat dengan debu semalaman. Begitu masuk kamar mandi, aku mulai melucuti pakaian dan menyalakan shower. Air hangat yang mulai mengalir sudah hampir membuatku merasa lega, hingga tiba-tiba... "Astaga!" teriakku spontan saat mendapati si hantu tampan mendadak muncul entah dari mana. Dia berdiri di sana, menyeringai seolah tanpa dosa. "Hantu tetap saja hantu, meskipun tampan. Tapi tetap saja dia laki-laki! Dasar hantu mesum!" Dengan reflek, aku mengayunkan tinjuku tepat ke wajahnya. Jelas saja tak ada efek apa-apa—pukulanku hanya melewati angin kosong, tapi setidaknya itu membuatku merasa sedikit lebih lega. "Keluar sekarang!"perintahku. "Kita harus buat beberapa hal yang harus kita sepakati setelah ini!"ucapku lagi.Keesokan harinya, aku terjaga dari tidur agak siang. Usai merapikan tempat tidur dan mandi, rencanaku hari ini adalah mampir ke rumah Nala sebelum menuju ke tempat kerja malam hari. Saat aku sedang bersiap-siap, si hantu tampan mendekat."Kamu mau kemana? Aku ikut!" serunya penuh semangat."Kamu disini saja! Saya ada perlu keluar sebentar," jawabku tegas, sambil menolak usulnya.Wajahnya yang semula cerah berubah muram, seakan ada awan gelap yang mendung di atasnya. Dengan lesu, dia duduk di pojokan, matanya menerawang lemah. Aku menghela nafas melihat ekspresi laparnya, serupa anak yang terlupa makan selama seminggu."Kamu juga gak bakalan bisa ikut. Kamu lihat di luar sana, matahari bersinar terang. Kamu mau hancur terbakar matahari?" tegas ku lagi."Eh iya ya... aku lupa kalau sekarang sudah siang," katanya dengan senyum malu-malu. Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal."Makanya kamu tunggu di sini dulu. Aku juga pergi sebentar. Jangan tanya oleh-olehnya apa, karena kamu gak bakal
Aku yang sudah mandi dan berganti pakaian kini duduk di depan si hantu tampan, menatapnya tajam tanpa ragu. Matanya tertunduk, seperti paham bahwa aku tengah kesal dan marah padanya. Dia tampak seolah tak bersalah, tapi aku tak akan begitu saja terkecoh."Kamu," ujarku sambil menunjuknya dengan telunjuk yang masih sedikit gemetar karena emosi."Sorry, aku nggak tahu kamu lagi mandi. Siapa juga yang mandi telanjang kayak gitu!" balasnya santai, tanpa rasa bersalah.Mendengar itu, amarahku semakin memuncak. "Kamu sendiri ngapain ke kamar mandi?" tanyaku penuh selidik, menahan diri agar suaraku tidak meledak."Mau mandi juga," jawabnya ringan.Aku memutar mata, berusaha mencerna absurditas jawabannya. Mana ada hantu yang mau mandi? Apa dia pikir aku sebodoh itu untuk mempercayainya? Ini jelas hanya alasan. Alibi murahan untuk menutupi kebiasaan mesumnya. Aku yakin di balik wajah tampannya, dia menyimpan niat-niat tersembunyi yang tidak bisa kuabaikan begitu saja. Aku harus tetap waspada—
Tak ada ketakutan sedikit pun di dalam diriku saat berhadapan dengan sosok hantu wanita berbadan tambun itu. Meski napasku sedikit memburu, aku tetap menatapnya dengan penuh keyakinan. Dengan gerakan cepat, kulempar tongkat di tanganku ke arah bahu kanannya, tepat mengenai sasaran. Dia meringis kesakitan, tetapi matanya segera membara penuh kemarahan."Tidak kusangka, ternyata kamu bisa melihatku dan memiliki keahlian semacam ini," ucap hantu itu dengan nada heran, senyumnya menipis, seolah meremehkanku."Aku tidak punya waktu untuk berbasa-basi denganmu. Mari kita akhiri semua ini sekarang juga!" balasku tegas, tanpa ada keraguan.Dalam benakku, aku tahu percuma memperpanjang obrolan dengannya. Meski tubuhnya tambun, gerakannya ternyata jauh dari perkiraan. Ia bergerak begitu lincah, bahkan larinya secepat bayangan yang membuatku cukup kewalahan untuk mengimbangi. Hatiku mulai gelisah.Bagaimana aku bisa menghentikannya? Langkahku sedikit terhenti saat kucoba mencari titik kelemahann
Mau tak mau, suka tak suka, aku menyeret si hantu tampan yang kini terlihat lebih ketakutan dari sebelumnya ke depan apartemen nomor 13. Wajahnya pucat, tapi dia tidak berkata apa-apa. Mungkin sadar bahwa jika dia melawan, aku bisa saja benar-benar mengusirnya mentah-mentah dari sini.Kami kini berdiri di depan pintu apartemen yang terlihat sunyi. Sayangnya, pintu itu terkunci rapat, dan kami sama sekali tidak memiliki kuncinya. Aku menatap pintu tersebut sambil menghela napas. Apa sekarang harus menyerah saja? Tidak, aku bukan tipe yang mudah menyerah tanpa mencoba. Aku memutuskan untuk mencari bantuan.Langkah kakiku membawa aku ke bagian pos satpam. Seorang pria penjaga tua berdiri di sana, wajahnya penuh dengan keraguan begitu aku mulai mengajaknya berbicara."Pak, apa Bapak tahu sesuatu tentang apartemen nomor 13?" tanyaku sambil mencoba terdengar biasa saja, walaupun ada rasa ingin tahu yang mendesak di hatiku.Dia mengernyit sejenak, lalu menjawab dengan nada pelan dan hati-hat
"Tunggu, kamu serius bisa melihatku?" tanyanya sekali lagi, matanya berbinar penuh antusias."Hmm," sahutku sambil mengangguk pelan. Aku tetap waspada."Akhirnya..." bisiknya, terlihat ada kebahagiaan terpancar di wajahnya.Akhirnya? Apa maksudnya? Jantungku berdegup semakin kencang. Apa mungkin benar yang Nala bilang, kalau dia membutuhkan manusia perawan seperti aku agar tetap kekal di dunia ini? Ya ampun, kalau itu benar, aku dalam bahaya besar! Tidak boleh menunggu lebih lama lagi, ini saatnya! Aku harus menghentikannya sekarang juga!"Dasar makhluk menjijikkan! Kau tidak akan bisa memanfaatkan aku!" teriakku dalam hati sebelum mulai mengayunkan tongkat ke arahnya dengan penuh tekad.Namun, sebelum tongkatku sempat mengenainya, dia tiba-tiba menyatukan kedua tangannya dan berteriak. "Jangan! Jangan pukul aku! Tolong, jangan pukul aku!" katanya memohon dengan suara memelas.Aku mendengus, menguatkan hati. "Tidak bisa! Kamu ini sudah cukup lama mengganggu orang-orang di sekitar sini
"Kim, lo yakin mau tinggal di apartemen ini?" tanya Nala lagi begitu kami tiba di depan gedung apartemen yang aku sewa. Suaranya penuh keraguan, dan aku bisa merasakan keinginannya agar aku mempertimbangkan ulang keputusanku."Yakin banget!" jawabku dengan semangat, mencoba menepis semua keraguan yang tergambar jelas di wajahnya."Lo gak takut apa?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada setengah berbisik seolah takut sesuatu mendengar."Takut? Kenapa mesti takut?" aku menjawab santai, bahkan mungkin terlalu santai hingga Nala mengernyit. Aku tahu apa yang ada di pikirannya."Kimmy...!!! Lo gak dengar cerita tentang apartemen nomor 14 itu? Kan terkenal banget angker," lanjut Nala dengan suara mendesak, berusaha keras membuatku goyah.Aku tersenyum, memperhatikan wajah paniknya yang begitu tulus. "Dengar kok," jawabku ringan.Nala tampak terkejut dengan reaksiku. "Terus, lo kok masih mau tinggal di sana? Gue gak mau nanti keperawanan lo diambil sama hantu perjaka tua di sana," sergahnya s