“Jadwal konsultasi saya udah selesai semua
“kan, Mbak?” tanyaku pada penjaga meja resepsionis.
“Masih ada 1 lagi yang belum, Bu.”Aku mengernyit. “Bukannya hari ini saya hanya terima 11 orang?”
“Masnya bilangnya sudah janjian sama Bu Gee.” Perempuan di hadapanku menunjuk kursi tunggu di belakangku dengan matanya.
Ketika aku berbalik badan, aku menemukan laki-laki berkaus hitam berpadu jaket denim dan celana denim, lengkap dengan waist bag menatapku dengan pongah. Membuatku cukup terkejut dengan kedatangannya yang tanpa berkabar.
“Suruh ke ruangan saya sekarang, Mbak,” kataku pada petugas resepsionis. Kemudian melangkah kembali ke ruanganku.
“Mari, Mas. Saya antar ke ruangan dokternya.” Salah satu petugas lain kemudian mengarahkan laki-laki tersebut menuju ruanganku.
“Kok masnya nggak ngabarin dulu kalau mau ke sini?” tanyaku langsung usai pi
Makan malam terasa begitu dingin. 2 piring chiken schnitzel buatanku di atas meja rasanya seperti hambar oleh keheningan yang cukup lama terjadi.“Kamu masih marah?” tanya Diran usai meletakkan alat makannya di atas piring.Aku tak menjawab, selain sibuk menghabiskan makananku.“Sayang, please, ngomong, dong. Jangan diam aja. Aku mana tahu salahku apa kalau kamu nggak mau ngomong,” pintanya.“Aku cuma mau kamu jawab jujur masalah yang kemarin,” kataku.“Astaga. Apa itu penting banget buat kamu?” Aku menatapnya dingin.Diran kemudian wmengembuskan napas menyerah. “Oke. Aku emang udah nggak perjaka. Maaf.” Mendengar itu, tenggorokanku terasa sulit menelan. “Sama siapa kamu ngelakuin itu?”“Cuma one night stand saat aku mabuk.”“Sama siapa?”Lagi-lagi Diran mengembuskan napas. “Aku nggak tahu siapa namanya. Karena cuma mala
Aku terus memandangi perut Jonna yang tengah duduk di hadapanku dengan perasaan geram. Membayangkan, bagaimana benih laknak itu tumbuh di rahimnya. Ingin rasanya aku menjambak rambut panjangnya dan menyiram wajahnya dengan segelas honey mint green tea di tanganku. Namun, tentu saja aku tidak bisa melakukannya. Aku masih harus memalsukan wajahku di hadapannya sebagai seorang sahabat. Cih! Harus aku akui, perempuan berprofesi sebagai selebgram di hadapanku saat ini memang sangat memikat. Aku yakin, siapa pun laki-laki akan jatuh dengan begitu saja ke dalam pelukannya, jika dia menginginkan. “Lo kok ngelamun aja sih, Gee?” Reen menyenggol lenganku. “Ah, nggak papa, kok.” Aku berusaha tersenyum. “Kenapa? Ada masalah, ya?” tanya Jonna penuh perhatian. Cih! Aku rasa itu bukan perhatian, melainkan bentuk pancingan. “Lagi berantem sama Diran?” terka Jonna. Aku tergelak mendengar terkaanya. Entah bagiamana, bisa-bisanya dia berp
Seperti biasa, malam hari adalah saat-saat menyenangkan untuk bermain bersama Diran. Bermain untuk membuatnya mengerang kesakitan di ranjang pastinya.“Kamu masih belum _ selesai datang bulannya?” tanyanya tatkala meraih tubuhku untuk duduk di atas pangkuannya di atas ranjang.Aku menggeleng dengan senyum menggoda.“Sabar ya, Sayang.”Dia kemudian mengembuskan napas sesal.“Oke. Toh tinggal 2 hari lagi ‘kan datang bulan kamu selesai?”Aku mengernyit.“Datang bulan perempuan seminggu ‘kan?” tanyanya memastikan. “Jangan kamu kira aku nggak tahu apa-apa soal bulanan perempuan, Sayang,”ucapnya mengecup pipiku.Ah, sial. Diran benar. Waktuku hanya tinggal 2 hari lagi untuk beralasan datang bulan. Setelah itu, dia pasti akan menagih haknya yang sebenarnya.Aku berusaha tersenyum dan mengusap lembut wajahnya.“Tenang aja. Ka
Aku menatap fokus ponselku. Di mana sebuah pelacak yang berhasil aku pasang di mobil Dirantampak berhenti di sebuah tempat. Pada pelacak lain, aku juga mendapati mobil Jonna berada di lokasi yang sama.Adira : Mereka sekarang ada di tempat yang sama. Janjian.Pesan dari Adira yang lengkap dengan foto Diran dan Jonna tengah duduk satu meja di sebuahkafe semakin menambah keyakinanku, jika mereka memang sedang bertemu saat ini.Reply : Saya akan ke sana.Usai mengirim pesan balasan, aku kemudian menginjak pedal gas untuk melajukan mobil menuju tempat tujuan. Di kepalaku masih terngiang-ngiang ucapan suami berengsekku tadi pagi, yang katanya akan pulang malam. Sekarang aku tahu, alasannya yang sebenarnya.Setengah jam kemudian aku menepikan mobil jauh dari area parkir kafe agar tak terlihat. Tampak Diran dan Jonna tengah duduk satu meja di dekat jendela berkaca yang memudahkanku memperhatikannya. Meski aku tidak tahu apa yang tengah mereka
Sebuah kecupan mendapat di pipiku lengkap dengan 2 lengan kekar yang memeluk hangat tubuhku dari belakang. “Katanya kangen. Nih aku udah pulang,” lirih Diran. Aku menyunggingkan senyum dingin membelakanginya seraya menyeruput kopi di tangan kananku. “Pengen main apa malam ini?” tanyanya memutar tubuhku menghadapnya. Aku pura-pura tersenyum dan melangkah meletakkan cangkir kopi di atas nakas. “Main apa ya, enaknya? Main tanya-tanyaan gimana?” Diran mengernyit menatapku. “Tanya apa?” “Tanya apa pun.” Aku kemudian duduk di pinggiran ranjang menyilangkan kaki jenjangku. Diran mengangguk ragu-ragu. Jelas sekali, bagaimana kekhawatiran tergambar di wajahnya. “Kamu ... beneran tadi sibuk sama kerjaan di kantor?” tanyaku to the point. Diran melangkah mendekat. “Kok kamu tanyanya begitu? Kamu nggak percaya?” “Hm” Aku mengangguk menatapnya. “Aku nggak percaya.” Lalu menggeleng. Diran
Aku menyeruput mango yogurt ice usai menjelaskan begitu gamblang pada laki-laki paruhbayah di hadapanku yang berprofesi sebagai pengacara, sekaligus orang tua kedua setelah kedua orang tuaku. “Kamu yakin memutuskan perceraian ini tanpa ngobrol dulu sama orang tua kamu, Gee?” tanya Om Riwan masih dengan membulatkan mata tidak percaya dengan nasib pernikahanku. “Aku ingin merahasiakan ini dari mereka,” kataku. “Rahasia kamu bilang? Nggak ada perceraian yang dilakukan dengan rahasia, Gee.” “Tolong Om rahasiakan dulu proses ini,” pintaku. “Om bener-bener nggak habis pikir sama keberengsekan Diran.” Om Riwan menggeleng-geleng. “Om yakin, kalau papamu tahu masalah ini, dia akan murka dan membenci keluarga Harsa,” sambungnya. “Aku nggak mau Mama dan Papa khawatir berkepanjangan karena masalah ini. Biarkan mereka tahu hasil akhirnya aja.” “Sejak kapan Diran selingkuh sama temen kamu itu?” “Kemungkinannya pasti s
“Syukurlah, Tuhan,” lirihku terpejam di hadapan cermin kamar mandi usai mendapati diri tengah datang bulan sungguhan.Ya. Sepertinya Tuhan berpihak padaku untuk melindungi keperawananku malam ini.Tok! Tok! Tok!“Kamu masih lama di dalam?” tanya Diran di balik pintu kamar mandi.“Bentar,” sahutku.Usai membereskan diri, aku kemudian keluar kamar mandi dan mendapati Diran sudah bersedekap di samping pintu menungguku.“Kamu tahu janji kamu malam ini “kan?” tanyanya menggoda.Melihat wajah memuakkan itu, aku melewatinya begitu angkuh menuju meja rias.“Jangan bersandiwara lagi, Gee,” ucapnya. Langkahku seketika terhenti.“Ini udah seminggu aku menahan diri untuk mengikuti permainan kamu,” lanjutnya.Aku tergelak cukup terkejut. Lalu menoleh menatapnya yang masih bersedekap dan bersandar pada dinding dengan tatapan penuh tersirat padaku.
Adira : Mereka baru saja memasuki kamar hotel bersama.Pesan dari Adiran lengkap dengan foto Diran dan Jonna masuk ke sebuah kamar hotel membuatku bersiap-siap menyiapkan diri. Usai mendatangi pengadilan bersama Om Riwan tadi pagi untuk mendaftarkan gugatan perceraian, aku juga segera mengemasi barang-barangku dari rumah itu dan memutuskan singgah sementara di hotel.Ya. Malam ini adalah akhir dari semua kebusukan mereka di belakangku.Aku mengaplikasikan highlighter di pangkal dan ujung hidung, teardcut, dahi dan tulang pipi di hadapan cermin. Lalu menggambar sedikit arch pada alis mata menggunakan pensil alis cokelat muda. Tak lupa juga complexion yang flawless dan dewy yang menjadi kunci penting riasan malam ini. Kemudian terakhir, lipstick nude pink untuk menambah feminine dan attractive.Ya. Malam ini penampilanku harus paripurna di hadapan 2 pengkhianat itu. Akan kutunjukkan keanggunanku membalas perbuatan mereka malam ini.Jangan kalian piki