“Sayang, kamu sarapan duluan, ya. Aku angkat telepon dulu dari Pak Prana.” Diran
menunjukkan layar ponselnya yang terpampang tulisan Pak Prana tengah memanggil.Aku mengangguk dan berusaha tersenyum.
Sepeninggal Diran, Reen melambaikan tangan ke arahku, memintaku untuk menghampiri mejanya. Kulihat beberapa meja lainnya dihuni oleh beberapa kerabat yang masih ikut bermalam di hotel usai acara resepsi.
“Mau ke mana tuh suami lo?” tanya Reen, tepat setelah aku duduk di hadapannya.
“Katanya mau ngangkat teleponnya Pak Prana. Nggak tahu Pak Prana yang asli apa Pak Prana
Pak Prana-an,” kataku mendengkus kesal.
“Maksud lo ?” Reen mengernyit.
“Gue yakin nama kontak selingkuhannya itu dikasih nama Pak Prana. Masak iya urusan kerjaan sampai telepon berkali-kali tengah malam?”
Reen menganga. “Terus kenapa nggak Io ikutin aja dia?”
“Males gue. Mending gue ngisi perut di sini.”
Aku menyendok creamy ravioli milik Reen yang
belum tersentuh ke dalam mulutku sebagai menusarapan.“Gue juga perlu tenaga buat sakit hati,” sambungku.
“Gila lo, ya. Udah tahu dia berengsek, tapi lo masih tetep ngelanjutin pernikahan lo.” Reen geleng-geleng tak mengerti. “Lo itu masih punya kesempatan buat bubarin hubungan lo, Gee,” sambungnya.
“Justru ini kesempatan gue buat mempermainkan mereka berdua,” sergahku seraya
mengunyah makanan.“Gue ngelanjutin ini sampai pernikahan nggak dengan pikiran bodoh gue, Reen,”
sambungku.
“Terus ... semalam gimana malam pertama lo?”
“Masih gue segel rapet-rapet. Nggak bakal gue kasih ke dia. Enak aja perawan gue jatuh ke tangan laki-laki yang udah nggak perjaka.”
“Lo tahu dari mana dia udah nggak perjaga?”
“Lo kira cowok sama cewek masuk hotel malem-malem terus keluar pagi harinya ngapain, kalau nggak buat nyari tempat mesum? Nggak mungkin dong, cuma ngobrol doang sampai pagi di dalam kamar?”
“Terus rencana lo apa sekarang?”
“Gue akan coba mastiin lagi nomor Pak Prana di ponsel Diran. Setelah itu ... mungkin gue akan cari orang buat mata-matain mereka.”
“Ngapain lo mata-matain? Kan udah jelas Diran selingkuh sama Jonna di belakang lo,” lirih Reen.
“Justru gue mata-matain mereka buat mempermainkan mereka,” kataku yang kemudian
meneguk habis segelas air putih.“Sekarang, lo bawa ponsel gue. Lo tetep di sini dulu sampai gue telepon
lo.” Aku kemudian memasukkan ponselku ke dalam tas Reen.“Mau ngapain lo?” Reen mengernyit tak mengerti. Meski begitu, dia menuruti.
“Hai Gee, Reen,” sapa Jonna menghampiri.
“Oh hai, Jonna,” balas Reen kikuk seraya cipika-cipiki.
“Hai, Jonna. Akhirnya lo muncul juga sekarang.” Dengan ekpresi yang aku buat ceria, aku juga melakukan cipika-cipiki.
“Happy wedding ya, Gee. Sorry banget ya, gue nggak bisa datang ke resepsi lo semalam,” ucap Jonna dengan wajah penuh penyelasan.
“Nggak papa. Yang penting lo sekarang udah dateng dan bawa kado buat gue.” Secentil mungkin gue bertingkah, agar tidak kentara.
Namun, kalian tahu? Senyum ceria Jonna padaku adalah palsu. Kedua matanya tampak sembab. Mungkin akibat menangisi pernikahanku dengan Diran semalaman. Ekspresi wajahnya pun tampak sedih, meski berusaha berakting sebaik mungkin di hadapanku dan Reen.
Ya. Simpanan dan bermuka 2 adalah paket sempurna untuk perempuan perebut laki-laki orang.
“Ini kadonya.” Jonna menyodorkan kotak kado berpita merah padaku.
“Aku buka ya, Jo,” kataku seraya membuka bingkisan tersebut.
“Wah! Lo tahu aja yang paling cocok buat malam-malam panas gue sama Diran,” sanjungku ketika mendapati sepasang lingerie merah.
“Diran pasti bakal makin menggila di ranjang kalau aku pakai ini,” ucapku sengaja memancing.
Reen hanya tertawa kecut. Sementara Jonna tersenyum dengan sangat dipaksakan.
“Makasih banyak ya, Jo. Bakalan gue pakai nanti malam buat muasin suami gue.” Sementara aku terus memperlihatkan wajah bahagiaku.
Ya. Meski terlihat seperti perempuan bodoh di mata perempuan jalang di hadapanku, tetapi aku harus tetap menunjukkan kebahagiaanku, agar bisa menguliti hatinya sampai perih.
“Kamu nggak papa “kan, kita nggak bisa honeymoon? Ada projek baru yang harus lounchingsecepatnya di perusahaan. Jadi aku harus urus secepatnya sama Pak Prana.” Diran menggenggam tanganku di atas meja makan.Lagi-lagi tersenyum menjadi andalanku.“Nggak papa. Aku bisa ngertiin, kok.”Ya. Tentu saja aku harus bisa mengerti. Sebab laki-laki berengsek di hadapanku itu harus menguras otak untuk bisa bermain-main di belakangku. Lagi pula, tidak akan ada gunanya juga melakukan honeymoon. Toh aku tidak akan pernah sudi memberikan keperawananku.“Makasih ya, Sayang. Kamu mau ngertiin aku.“Makasih doang, nih? Nggak mau ngasih aku ciuman, nih?” godaku dengan sengaja, tatkal mendapati sosok Jonna yang duduk di meja belakangDiran tampak curi-curi pandang ke maja kami.“Sini, aku kasih ciuman.” Diran kemudian mengecup lembut keningku.Sedetik itu aku bisa melihat, bagaimana
Sepeninggal dari hotel, aku dan Diran kemudian menempati rumah yang memang sudah Diran persiapkan untuk berkeluarga—rumah minimalis seperti impianku. Membuatku cukup tersentuh dengan usahanya mempersiapkan rumah.Sayangnya, rumah itu tidak akan pernah menjadi milikku. Karena suatu saat nanti, sudah aku pastikan akan keluar dari sana.Malam kedua berikutnya akan menjadi permainan berikutnya untuk membuat Diran kesakitan.Lingerie merah pemberian Jonna memang cukup menggoda memperlihatkan lekuk tubuhku.Tidak lupa juga rambut panjangku yang aku cepol untuk memperlihatkan leher jenjang polosku.Keluar dari kamar mandi, Diran langsung memeluk tubuhku dari belakang. “Kamu sengajamancing aku “kan?” tanyanya dengan embusan napas tak beraturan. Seperti birahi yang sudah terbakar.Aku tersenyum kecut. “Siapa bilang aku mau mancing kamu? Aku cuma pengen pamerin lingerie seksi pemberian Jonna ke kamu.”K
“Mbak Gee Andhra?” Seorang laki-laki memakai t-shirt berpadu jacket, celana jeans, sneakers hitam putih dan balck cap menghampiri mejaku.“Iya,” jawabku ragu-ragu menyelisik wajah rupawannya.“Saya Adirajada. Orang kiriman dari XO ekpress.” Laki-laki tersebut mengulurkan tangan padaku.“Oh, iya, Mas. Halo.” Aku kemudian membalas uluran tangannya.“Silakan, duduk,” ucapku mempersilakan kursi di hadapanku.Seperti yang sudah aku rencanakan, bahwa aku akan mengunakan mata-mata untuk membantuku mempermainkan Diran dan Jonna. Berkat otak intel Reen, aku berhasil menemukan jasa mata-mata yang juga merangkap sebagai kurir.“Sebelum kita memulai kerja samanya, boleh saya tahu detail permasalahannya?” tanyanya usai menyeruput es teh leci soda.Jujur, aku ragu untuk menceritakan detail permasalahan. Ada rasa tidak nyaman untuk terbuka dengan orang baru.“Anggap
Pukul 8 malam lewat 15 menit ponselku menampilkan notif pesan. Tampak sebuah foto Jonna tengah membuka pintu kamar hotel bernomor B606.A : Suami Mbak katanya pulang jam berapa?Reply : Katanya malam. Ada rapat.15 menit kemudian Adira mengirimkan fotoDiran yang tengah membuka pintu kamar hotel B606.A : Rapatnya kayaknya penting banget sampai ke hotel, Mbak.Berengsek! Mataku memanas memandang foto tersebut.A : Jangan nunggu suami Mbak pulang. Dia lagi sibuk sama ceweknya sekarang. Kemungkinan pulangnya besok pagi, bukan malam.Aku langsung beranjak dari ranjang. Kakiku rasanya begitu gatal untuk melangkah menghampiri mereka berdua. Ingin sekali aku melabrak untuk melontarkan segala macam kata binatang dan sumpah serapah tepat di wajah mereka. Namun ... aku harus menahannya.Ya, menahan. Jika aku melabrak mereka sekarang, maka permainan yang aku buat telah selesai. Sementara permainan ini masih baru dimulai.Mela
Aku menyapukan eyeshadow cokelat pada bagian crease dan kelopak mata. Setelah itu membubuhkan eyeshadow glitter gold di bagian tengah mata. Tak lupa blush on peach dan lipstick dusty pink.Sempurna sudah penampilanku di malam ketiga ini untuk membuat Diran mengerang kesakitan di ranjang.“Sayang, aku pulang!” seru sebuah suara lengkap dengan suara langkahnya menghampiri kamar.Aku menatap jam dinding yang menunjukkan setengah 10 malam. Waktu kepulangannya lebih cepat dari dugaanku ternyata.“Hai,” sapanya usai membuka pintu dan mendapati sosokku yang sudah siap di pinggir ranjang menyambut kadatangannya.“Hai, Sayang,” balasku beranjak dari ranjang untuk menghampirinya dengan senyum menggoda.“Wow. Cantik banget, Sayang,” sanjungnya mengusap lembut pipiku.“Demi menyambut kamu pulang,” kataku manja.Diran kemudian merengkuh tubuhku untuk menikmati wangi mawar yang meng
Suara shower air mengucur menguyur tubuh tegap Diran yang tengah membersihkan diri. Tampak perut berototnya begitu menggoda. Belum lagi lengan kekarnya ketika menggosok rambutnya dengan sampo. Lalu ... jangan ditanya lagi bagaimana pusat kepemilikannya. Sudah pasti keras dan tegak menunggu pelepasan.Sementara aku?Aku hanya melipat tangan di ambang pintu menyaksikan suamiku berengsekku itu mandi. Sebabbisa dipastikan, jika tubuh menggoda itu sudah dijamah oleh tangan perempuan murahan itu sebelum pulang.Ya. Aku tak mau dan tak akan sudi menerima sesuatu yang bekas. Tubuh itu, bibir itu dan tangan itu bisa aku pastikan menyisahkan kotoran sebelum pulang ke rumah.Apa aku tidak tergoda dengan tubuh indah itu?Tentu saja aku tergoda. Namun, tubuh itu adalah tubuh murahan yang dijamah oleh lebih darisatu perempuan. Lalu pusat kepemilikannya yang ... cukup wow itu ... sudah pasti berkali-kalimendapatkan perlabuhan ternikmatnya pada t
“Jadwal konsultasi saya udah selesai semua“kan, Mbak?” tanyaku pada penjaga meja resepsionis.“Masih ada 1 lagi yang belum, Bu.”Aku mengernyit. “Bukannya hari ini saya hanya terima 11 orang?”“Masnya bilangnya sudah janjian sama Bu Gee.” Perempuan di hadapanku menunjuk kursi tunggu di belakangku dengan matanya.Ketika aku berbalik badan, aku menemukan laki-laki berkaus hitam berpadu jaket denim dan celana denim, lengkap dengan waist bag menatapku dengan pongah. Membuatku cukup terkejut dengan kedatangannya yang tanpa berkabar.“Suruh ke ruangan saya sekarang, Mbak,” kataku pada petugas resepsionis. Kemudian melangkah kembali ke ruanganku.“Mari, Mas. Saya antar ke ruangan dokternya.” Salah satu petugas lain kemudian mengarahkan laki-laki tersebut menuju ruanganku.“Kok masnya nggak ngabarin dulu kalau mau ke sini?” tanyaku langsung usai pi
Makan malam terasa begitu dingin. 2 piring chiken schnitzel buatanku di atas meja rasanya seperti hambar oleh keheningan yang cukup lama terjadi.“Kamu masih marah?” tanya Diran usai meletakkan alat makannya di atas piring.Aku tak menjawab, selain sibuk menghabiskan makananku.“Sayang, please, ngomong, dong. Jangan diam aja. Aku mana tahu salahku apa kalau kamu nggak mau ngomong,” pintanya.“Aku cuma mau kamu jawab jujur masalah yang kemarin,” kataku.“Astaga. Apa itu penting banget buat kamu?” Aku menatapnya dingin.Diran kemudian wmengembuskan napas menyerah. “Oke. Aku emang udah nggak perjaka. Maaf.” Mendengar itu, tenggorokanku terasa sulit menelan. “Sama siapa kamu ngelakuin itu?”“Cuma one night stand saat aku mabuk.”“Sama siapa?”Lagi-lagi Diran mengembuskan napas. “Aku nggak tahu siapa namanya. Karena cuma mala