Share

BAB 3

“Sayang, kamu sarapan duluan, ya. Aku angkat telepon dulu dari Pak Prana.” Diran

menunjukkan layar ponselnya yang terpampang tulisan Pak Prana tengah memanggil.

Aku mengangguk dan berusaha tersenyum.

Sepeninggal Diran, Reen melambaikan tangan ke arahku, memintaku untuk menghampiri mejanya. Kulihat beberapa meja lainnya dihuni oleh beberapa kerabat yang masih ikut bermalam di hotel usai acara resepsi.

“Mau ke mana tuh suami lo?” tanya Reen, tepat setelah aku duduk di hadapannya.

“Katanya mau ngangkat teleponnya Pak Prana. Nggak tahu Pak Prana yang asli apa Pak Prana

Pak Prana-an,” kataku mendengkus kesal.

“Maksud lo ?” Reen mengernyit.

“Gue yakin nama kontak selingkuhannya itu dikasih nama Pak Prana. Masak iya urusan kerjaan sampai telepon berkali-kali tengah malam?”

Reen menganga. “Terus kenapa nggak Io ikutin aja dia?”

“Males gue. Mending gue ngisi perut di sini.”

Aku menyendok creamy ravioli milik Reen yang

belum tersentuh ke dalam mulutku sebagai menu

sarapan.

“Gue juga perlu tenaga buat sakit hati,” sambungku.

“Gila lo, ya. Udah tahu dia berengsek, tapi lo masih tetep ngelanjutin pernikahan lo.” Reen geleng-geleng tak mengerti. “Lo itu masih punya kesempatan buat bubarin hubungan lo, Gee,” sambungnya.

“Justru ini kesempatan gue buat mempermainkan mereka berdua,” sergahku seraya

mengunyah makanan.

“Gue ngelanjutin ini sampai pernikahan nggak dengan pikiran bodoh gue, Reen,”

sambungku.

“Terus ... semalam gimana malam pertama lo?”

“Masih gue segel rapet-rapet. Nggak bakal gue kasih ke dia. Enak aja perawan gue jatuh ke tangan laki-laki yang udah nggak perjaka.”

“Lo tahu dari mana dia udah nggak perjaga?”

“Lo kira cowok sama cewek masuk hotel malem-malem terus keluar pagi harinya ngapain, kalau nggak buat nyari tempat mesum? Nggak mungkin dong, cuma ngobrol doang sampai pagi di dalam kamar?”

“Terus rencana lo apa sekarang?”

“Gue akan coba mastiin lagi nomor Pak Prana di ponsel Diran. Setelah itu ... mungkin gue akan cari orang buat mata-matain mereka.”

“Ngapain lo mata-matain? Kan udah jelas Diran selingkuh sama Jonna di belakang lo,” lirih Reen.

“Justru gue mata-matain mereka buat mempermainkan mereka,” kataku yang kemudian

meneguk habis segelas air putih.

“Sekarang, lo bawa ponsel gue. Lo tetep di sini dulu sampai gue telepon

lo.” Aku kemudian memasukkan ponselku ke dalam tas Reen.

“Mau ngapain lo?” Reen mengernyit tak mengerti. Meski begitu, dia menuruti.

“Hai Gee, Reen,” sapa Jonna menghampiri.

“Oh hai, Jonna,” balas Reen kikuk seraya cipika-cipiki.

“Hai, Jonna. Akhirnya lo muncul juga sekarang.” Dengan ekpresi yang aku buat ceria, aku juga melakukan cipika-cipiki.

“Happy wedding ya, Gee. Sorry banget ya, gue nggak bisa datang ke resepsi lo semalam,” ucap Jonna dengan wajah penuh penyelasan.

“Nggak papa. Yang penting lo sekarang udah dateng dan bawa kado buat gue.” Secentil mungkin gue bertingkah, agar tidak kentara.

Namun, kalian tahu? Senyum ceria Jonna padaku adalah palsu. Kedua matanya tampak sembab. Mungkin akibat menangisi pernikahanku dengan Diran semalaman. Ekspresi wajahnya pun tampak sedih, meski berusaha berakting sebaik mungkin di hadapanku dan Reen.

Ya. Simpanan dan bermuka 2 adalah paket sempurna untuk perempuan perebut laki-laki orang.

“Ini kadonya.” Jonna menyodorkan kotak kado berpita merah padaku.

“Aku buka ya, Jo,” kataku seraya membuka bingkisan tersebut.

“Wah! Lo tahu aja yang paling cocok buat malam-malam panas gue sama Diran,” sanjungku ketika mendapati sepasang lingerie merah.

“Diran pasti bakal makin menggila di ranjang kalau aku pakai ini,” ucapku sengaja memancing.

Reen hanya tertawa kecut. Sementara Jonna tersenyum dengan sangat dipaksakan.

“Makasih banyak ya, Jo. Bakalan gue pakai nanti malam buat muasin suami gue.” Sementara aku terus memperlihatkan wajah bahagiaku.

Ya. Meski terlihat seperti perempuan bodoh di mata perempuan jalang di hadapanku, tetapi aku harus tetap menunjukkan kebahagiaanku, agar bisa menguliti hatinya sampai perih.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status