Share

BAB 2

Tengah malam aku terbangun oleh kemelut perasaan sakit. Sementara Diran tampak pulas tertidur memelukku dari belakang. Laki-laki berengsek itu bahkan tidak terganggu sama sekali oleh isak tangisku.

Sesaat, aku teringat pesan Reen untuk memeriksa ponsel Diran. Karena ada kemungkinan Diran merahasiakan selingkuhannya itu di sana dengan nama lain. Mereka tidak mungkin bisa saling bertemu begitu saja, jika tidak lewat ponsel.

Perlahan-lahan aku beranjak melepaskan diri dari pelukan Diran. Lalu menghampiri ponsel milik Diran di atas nakas yang tampak dicas. Dengan hati-hati aku meraih ponsel yang kebetulan sekali tidak dalam mode mati. Namun, sayangnya aku tidak bisa membuka layarnya yang dikunci dengan kata sandi.

Aku mengembuskan napas sesal. Ada penyelasan, kenapa aku tidak pernah sekali pun ingin tahu dengan isi ponselnya dari dulu. Bahkan hanya untuk sekadar mengetahui kata sandinya pun aku tidak tahu.

Aku memutuskan ke kamar mandi untuk membasuh wajahku yang rasanya panas oleh tangis. Ditambah lagi, aku tidak mungkin menunjukkan mata sembabku akibat menangis esok hari.

Keluar dari kamar mandi, aku melihat layar ponsel Diran menyala dengan notif panggilan masuk. Ya. Hanya menyala. Tanpa suara maupun getaran. Aku yakin, itu adalah salah satu permainannya bermain-main di belakangku.

Aku mendekat untuk melihat nama si pemanggil tersebut. Tampak nama Pak Prana terpampang di sana.

Pak Prana adalah atasan Diran di kantor e commerce bidang digital marketing. Namun, untuk apa Pak Prana telepon pada tengah malam? Kalaupun ada kepentingan pekerjaan, apakah wajar menelepon tengah malam? Bukankah Diran mengajukan cuti seminggu? Bukankah juga dia bisa berpikir, jika panggilan teleponnya akan sangat menganggu malam pertama kami?

Ya. Meski kenyataannya aku tidak sudi melakukan malam pertama dengan Diran. Kecurigaaku semakin menjadi tatkala panggilan dari Pak Prana terus berlangsung hingga 5 kali.

Cih! Sangat tidak wajar bukan?

Ya. Aku bisa pastikan, jika kontak tersebut bukanlah Pak Prana yang asli. Sudah pasti nama tersebut hanyalah alibi untuk menutupi kontak yang sebenarnya.

Seketika aku teringat banyak kejadian ke belakang. Di mana Diran sering kali menerima telepon dari Pak Prana dengan alasan pekerjaan. Bahkan pada saat-saat kami sedang guality time sekaligus.

Usai panggilan tersebut berakhir, aku menatap nyalang laki-laki berwajah tanpa dosa di hadapanku.

Berengsek! Sudah berapa lama kalian bermain di belakangku? Kalian pikir, kalian bisa terus membodohiku? Akan aku balas kalian.

“Ada apa, Sayang?” tanya Diran menggeliat.

Aku berusaha tersenyum. “Nggak papa, Sayang. Kebangun karena kebelet pipis aku.”

“Sini.” Diran kembali merentangkan tangan, memintaku untuk tenggelam dalam pelukannya. “Aku kedinginan gara-gara kamu nggak bisa malam pertama,” pintanya manja.

Aku kemudian kembali ke ranjang dan menenggelamkan diri ke pelukannya.

“Besok, kalau kamu udah selesai datang bulan, langsung bilang, ya. Aku udah nggak sabar pengen ngeperawanin kamu.”

“Lihat aja besok.” Aku tersenyum penuh tersirat.

“Kamu juga lihat aja besok, gimana aku akan begitu garang di ranjang.”

Tapi Aku mendongak menatapnya, “kira-kira piton kamu masih perjaka nggak?”

“Masih, dong,” jawabnya cepat.

“Buktinya mana kalau masih perjaka?”

tanyaku memancing.

“Buktinya dia selalu memberontak kalau deket

kamu.”

Aku tergelak. Dasar, otak selangkangan.

“Kamu nggak percaya kalau aku masih

perjaka?” tanyanya menyelisik.

Lagi-lagi aku berusaha tersenyum. “Cuma

pengen mastiin aja. Kan nggak adil, kalau aku masih

perawan, tapi kamunya udah nggak perjaka.”

“Buktinya mana kalau masih perjaka?”

tanyaku memancing.

“Buktinya dia selalu memberontak kalau deket kamu.”

Aku tergelak. Dasar, otak selangkangan.

“Kamu nggak percaya kalau aku masih perjaka?” tanyanya menyelisik.

Lagi-lagi aku berusaha tersenyum. “Cuma pengen mastiin aja. Kan nggak adil, kalau aku masih perawan, tapi kamunya udah nggak perjaka.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status