تسجيل الدخولIndra menatap dokter Salsa tanpa berkedip. Napasnya mulai tak teratur. Sementara itu, tangan gemetar membuka kancing celananya—perlahan, gugup, dan tak percaya ini benar-benar terjadi.
Celananya turun hingga lutut. Ia menunduk, malu. Bagian dirinya yang selama ini tak bisa berdiri tegak, kini berdiri… tapi bukan karena obat atau imajinasi. Melainkan karena wanita yang berdiri di hadapannya, dengan aroma tubuhnya yang hangat dan suara rendah yang menusuk langsung ke pusat hasrat pria. “Bagus,” gumam Salsa pendek. Ia mengenakan sarung tangan medis lateks bening, dan duduk di kursi kecil dengan roda. Ia bergeser mendekati pangkal paha Indra. Jaraknya hanya beberapa inci. “Rileks,” katanya sambil menatap matanya dari bawah. “Saya akan lakukan evaluasi dasar dulu. Kita perlu tahu apakah ini murni psikologis, atau ada kendala fisik tertentu.” Indra hanya bisa mengangguk. Tangannya mulai menyentuh. Lembut. Profesional—tapi tidak terasa seperti dokter biasa. Sarung tangannya dingin, tapi tekanan jari-jarinya terasa mantap. Ia memeriksa perlahan, sambil melihat reaksi tubuh Indra. Bahkan napasnya terasa menyentuh bagian perut bawah Indra, membuat rambut halus di kulitnya berdiri semua. Tubuh Indra menegang. “S-sensitif, Dok.” Salsa hanya mengangguk. Jemarinya meraba pangkal batang, mengukur diameter, sedikit menekan bagian kepala, lalu ke sisi kiri. Tidak terburu-buru. Setiap sentuhan seperti uji rangsang—dan jelas, ada reaksi. Sangat nyata. “Tidak ada kelainan struktur. Aliran darah normal. Otot dasar panggul cukup aktif. Kalau seperti ini… masalahmu bukan karena fisik,” katanya sambil menatap langsung ke mata Indra. Tangan Salsa berhenti. Tapi ia tidak mundur. “Pernahkah kamu merasa, tubuhmu tahu kamu pria… tapi semua orang, termasuk pasanganmu, memperlakukanmu seperti beban?” Indra menelan ludah. “Setiap hari.” Salsa melepaskan sarung tangannya perlahan, sambil tetap berlutut. Jemarinya masih sedikit menyentuh paha Indra. “Kamu bukan beban.” Ia berdiri. Tubuhnya kini sangat dekat. Napasnya beradu dengan napas Indra. Jemarinya meraih folder catatan medis, membukanya. Suara kertas bergesek terdengar jelas di ruangan yang sepi. “Pekerjaan Anda?” tanyanya tanpa mengangkat wajah. Indra sempat mengerutkan kening. Apa perlu masalah itu dibahas? Tapi, pasti sang dokter punya alasan, jadi dia dengan ragu menjawab. “P… penulis.” “Penulis apa?” tanya Salsa lagi, datar. “Fiksi.” Dokter Salsa akhirnya mengangkat kepalanya. Bibirnya sedikit naik. “Fiksi seperti apa?” Indra menghela napas pendek. Ia ragu—perlu jujur atau tidak? Tapi dokter ini tadi sudah menyuruhnya buka celana. Masih ada gunakah menyimpan rahasia? “Novel dewasa,” jawabnya pelan. “Erotis.” Salsa tidak bereaksi. Ia hanya memandangi wajah Indra beberapa detik, lalu berkata sebelum berpaling kembali ke dokumen di tangan, “Tidak memalukan. Saya juga kadang baca yang seperti itu.” Indra menunduk. Tetap saja ada rasa malu. ‘Penulis cerita dewasa... tapi gagal di ranjang,’ batinnya. Di saat itu, sebuah pertanyaan terlontar dari bibir sang dokter. “Apa nama pena Anda?” tanyanya. Indra mengangkat kepala. “Pasti tidak kenal,” gumamnya. Tapi ia tetap menjawab, lirih, “Indra Perkasa.” Salsa membeku. Matanya menatap Indra lebih lama. Lalu, perlahan, bibirnya mengembang. Ia mendekat lagi. Aroma parfumnya tercium jelas—vanila dan sesuatu yang lebih hangat, seperti kulit yang dipanaskan. “Jadi kamu… Indra Perkasa itu?” Indra mengangguk, canggung. “Ya…” Salsa menutup dokumen di tangan, lalu menatap Indra dengan senyuman. “Saya pernah baca novel Anda.” Mata Indra membola. “Serius, Dok?” Salsa hanya tersenyum. “Lucu, ya?” lanjutnya pelan selagi mendekat. Tumit sepatunya berdecit pelan di lantai vinyl putih saat ia melangkah maju, hingga tubuh mereka hanya terpisah satu jengkal. Tubuh Indra seketika tegang. “Pria yang menyalakan gairah saya selama ini... berdiri di depan saya, mengira dirinya gagal sebagai laki-laki.” Indra menahan napas. Matanya terbelalak, mulutnya terbuka sedikit, tapi tak ada suara yang keluar. Salsa menatapnya dengan sorot mata dalam dan lambat-lambat meraih pergelangan tangannya. “Boleh saya tunjukkan sesuatu, Pak Indra?” bisiknya. Tanpa menunggu jawaban, tangan Salsa turun ke celana Indra, menyentuh kejantanannya. Kontak itu tidak langsung, tapi cukup untuk membuat napas Indra terhenti sejenak. Yang mengejutkan, berbeda dari biasanya dia bereaksi terhadap sang istri, kejantanan Indra kali ini menunjukkan reaksi! “Masih merasa gagal?” bisik Salsa tiba-tiba, membuat Indra mematung. Salsa menarik tangannya, lalu berbalik ke mejanya dan duduk di kursi, berhadapan dengan Indra yang masih tercengang. “Tubuh Anda merespons. Sangat baik, malah. Itu bukan ciri pria gagal. Sebaliknya, ada seseorang yang terus membuat Anda merasa gagal.” Dengan ragu, Indra bertanya, “Kalau seperti ini, apa yang harus saya lakukan, Dok? Apa ada obat yang bisa diberikan ke saya?” Salsa mengeluarkan selembar form dari rak kaca. Ia menyodorkannya ke Indra. “Klinik ini tidak memberikan obat. Kami memberikan pengalaman. Terapi yang memulihkan tubuh lewat gairah, kepercayaan diri, dan stimulasi, bukan hanya farmasi.” Indra membaca formulir itu dan terperangah. Tertera di formulir adalah poin-poin terapi fisik. Indra membacanya dengan cepat, jantungnya berdetak semakin cepat, terutama pada point terakhir: Praktik Langsung / Finalisasi “Kalau Anda tanda tangan sekarang,” kata Salsa, sambil menatap Indra lurus, “Kita bisa melakukan sesi pertama sekarang.” Dengan mata tajam yang menatap Indra lurus, Salsa berucap, “Jadi, bagaimana, Pak?” Indra memandangi form itu. Dia teringat kembali berbagai hinaan sang istri, juga vibrator ungu menyebalkan yang terus membuatnya mempertanyakan diri sendiri. Kalau benar ingin sembuh, dia harus melakukan ini … bukan?Indra tersentak mendengar apa yang dikatakan oleh Aliman. Ini sungguh diluar prediksinya. Dan dia tidak pernah berpikir akan mendengar permintaan itu.“Menikah?”“Iya. Izinkan Papa menikah dengan Ibumu.”Pernahkan terbayangkan seseorang meminta izin kepadamu untuk menikahi ibumu? Mungkin, sebagian orang tidak akan pernah membayangkannya.Begitu juga dengan Indra.Dia seorang anak, apa memang ibunya ingin melakukan sesuatu harus izin darinya? Sedangkan ibunya masih mampu untuk memutuskan sendiri. Dan dia bukan anak kecil yang masih bergantung pada orang tua.Dia sudah dewasa, bahkan sudah memiliki anak.“Sudah bahas sama ibu?” tanya Indra kemudian setelah degup jantungnya mulai normal.“Belum.”“Kenapa harus mengatakan kepadaku lebih dulu, harusnya dibahas bersama Ibu. Karena, aku sama sekali tidak pernah tahu apa yang telah kalian rencanakan dulu,” jawab Indra.“Karena, Papa ingin izin darimu terlebih dahulu nanti baru akan Papa bahas dengan Seva.”Indra terdiam, dia kembali menatap l
“Baby, aku sangat mengantuk,” ucap Budi.Bukan dia tidak menginginkan tubuh Yumna, karena tubuh itu sudah menjadi candu baginya. Tapi, Budi baru saja menyelesaikan proyek bukunya, begadang beberapa malam demi selesai tepat waktu.Buku akan segera masuk cetak.“Kamu diam saja, biar aku yang bekerja,” jawab Yumna.“Ah, terserah padamu saja, Sayang.”Budi mulai merasakan Yumna memasukkan miliknya dan kemudian gadis itu menggoyang goyangkan pinggulnya. Yumna seperti orang yang berbeda.Hari ini, dia begitu beringas dan cepat.“Ada apa denganmu, Yumna?” tanya Budi di sela-sela desahannya.“Aku hanya ingin memuaskanmu,” jawab Yumna.Budi hanya mengangguk, kantuk yang tadi hinggap, kini benar-benar hilang. Dia melihat kedua dada Yumna bergerak turun naik seperti Ritme yang seirama.**“Suasana disini dingin ya. Lebih sejuk.”Suara seseorang mendekati Indra yang sedang duduk di samping rumah neneknya seorang diri, rokok di tangan tapi tidak menyala.Indra duduk di halaman samping menghadap p
Plak!Sebuah tamparan mendarat di pipi Yumna yang baru saja kembali ke rumah setelah beberapa hari di luar.Tentu saja, sekarang Yumna lebih banyak memilih hidup bersama dengan Budi. Baginya, Budi lebih menghargainya daripada di rumahnya sendiri.“Untuk apa kau ke desa Indra?” tanya Karisa.Kali ini yang menyambutnya bukan Yulia ataupun Tomy, melainkan Karisa. Orang yang selama ini dia tahu adalah kakaknya, tapi pada kenyataannya sepertinya dia salah, Karisa bukanlah kakak kandungnya.Yumna tersenyum miring. Sekarang dia juga baru sadar mengapa semua perusahaan dibawah nama Karisa. Sedangkan dia hanya diberikan kesempatan memimpin perusahaan.Bukan karena dia liar, tapi lebih karena dia bukanlah anak kandung Tomy. Selama ini, Tomy memberikan alasan karena Yumna masih terlalu muda, mudah terbawa suasana dan mudah dimanfaatkan orang lain.“Aku hanya main, Kak.”“Tidak ada tempat lain kah untuk tempat kau bermain?”“Aku suka tempatnya,” jawab Yumna.“Jangan gila! Kau tahu siapa Indra, ka
"Dokter Aliman?" tanya Indra tidak percaya menatap seorang lelaki paruh baya di depan pagar rumahnya."Hai, Indra."Indra masih membeku, seolah dia tidak yakin kalau lelaki di depannya adalah dokter Aliman, ayah kandungnya.Waktu mereka bertemu, dokter Aliman tampak tidak peduli dengan semua ceritanya.Dia bahkan sudah berhenti berharap. Tapi, hari ini lelaki itu tiba-tiba datang."Sayang, siapa yang datang?" tanya Salsa yang sedang menggendong Juna."Dokter Aliman," jawab Indra lirih."Kenapa gak dibuka pintunya?"Indra tersentak, dia baru sadar kalau sedari tadi dia belum mempersilakan dokter Aliman masuk."Ah, maaf."Indra mempersilakan Aliman masuk, berkali-kali Indra mencubit lengannya sendiri untuk memastikan kalau ini bukanlah mimpi.Aliman menatap ke sekeliling, dia belum menemukan keberadaan Seva disana."Aku akan panggilkan ibu," ujar Indra akhirnya setelah Aliman duduk di ruang tamu."Terima kasih."Salsa menemani Aliman di ruang tamu. Juna diletakkan di dalam stroller."Si
“Selamat ya,” ucap Aliman kepada putri bungsunya itu yang baru saja selesai tampil di acara pentas seni sekolahnya.Hari ini adalah ulang tahun sekolahnya, orang tua diundang. Dan Amara tentu saja memaksa sang ayah untuk hadir, kalau tidak dia akan ngambek, namanya anak bontot.“Terima kasih, Papa.”Setelah dari sekolah Amara, Aliman akan langsung ke rumah sakit. Dia akan menyerahkan sampel untuk tes kecocokan antara dia dan Indra.Dia tidak akan bisa mengakui sembarangan orang sebagai anaknya.“Pa, aku tidak setuju Papa jadi menteri,” ujar Amara saat dalam perjalanan pulang.Bukan sekali atau dua kali, bahkan hampir setiap hari Amara mengatakan itu. Dia tidak setuju kalau sang ayah jadi menteri, karena dia yakin ayahnya akan sangat sibuk.“Hmm.”“Aku serius, Pa.”“Kalau misalnya tiba-tiba kamu dan Dira memiliki seorang kakak lelaki gimana? Kamu mau menerimanya gak?” tanya Aliman.“Papa mau nikah lagi?” suara Amara mulai meninggi.“Papa bilang bukan Mama baru, tapi kakak laki-laki.”“
“Papa…” sambut Amara melihat kedatangan Aliman yang pagi-pagi buta sudah tiba di rumah.Kedua anaknya sudah bangun, mereka memang terbiasa bangun pagi. Setiap pagi wajib berolahraga sebentar, ya namanya punya orang tua dokter.“Padahal kan acaranya jam sepuluh, Papa masih bisa santai loh seharusnya,” ujar Aliman sambil mengelus kepala Amara dengan gemas.Dan terakhirnya gadis kecil itu pasti akan berteriak, elusan di kepala itu berakhir dengan rambutnya diacak-acak oleh sang ayah.Aliman memang begitu dekat dengan anak-anaknya.“Papa, jangan berantakan rambutku. Nanti kusut, aku gak mau keramas pagi ini,” gerutu Amara.“Kenapa?”“Kan mau tampil, rambutku harus kering.”“Ada yang namanya alat hair dryer, itu bisa untuk mengeringkan rambut,” jawab Alimna.“Malas.”Aliman duduk disebelah Amara, sedangkan Andira seperti biasa sedang menyiapkan sarapan. Mereka memang memiliki pembantu, tapi setiap pagi Andira akan memilih membuat sarapannya sendiri.Si kecil Amara? Dia akan duduk di sofa d







