Share

SEMANGKUK SOTO

RIMBA

Angin sepoi-sepoi menerbangkan helaian rambutku. Hari ini tidak ada yang spesial, aku juga tidak pergi ke ruang lukis, karena masih kesal dengan kejadian tempo hari. Aish, si Oja tunggu pembalasanku. Tunggu aku ini bicara, tentu hari ini aku tidak kesana karena hari ini Minggu.

Entah mengapa aku benci semua tentangnya, mukanya yang selalu dipuja-puja buatku muak, senyumnya, iuhhh. Ketawanya, rasanya inginku bunuh dengan tanganku.

Aku tidak ingin bertemu dengannya.

Lebih baik seperti ini duduk sendiri dibangku taman yang luas, ditemani buku novel klasik, dengan alunan musik ghost by skinnyfabs lewat earphone.

Ah, aku suka ketenangan ini.

"Hello, my best!"

Sebuah tepukan keras memecah ketenangan ini, ya siapa lagi kalau bukan Gina, sahabatku.

Aku hanya meliriknya sekilas kemudian kembali ke novel.

"Kangen enggak?"

Hanya gelengan kepala yang ikhlas kulakukan.

"What! Gue enggak masuk selama 3 hari dan lo enggak kangen sama gue, seriously?" cerocos Gina histeris.

Aku meletakkan novel di sampingku dan menghembuskan nafas kemudian menatap Gina.

"Lo, jahat udah ninggalin gue. Huwaaaa." aku menangis tidak peduli, karena memang lingkunganya sepi.

"Cup, cup, cup." Gina menenangkanku kedalam pelukannya.

"Kok, lo tega sih ninggalin gue sendiri."

"kan udah ada Oja yang jagain lo, jadi gue enggak khawatir."

Aku melepas pelukan Gina begitu mendengar namanya disebut. Ah sial, padahal aku sudah membuangnya tapi malah dipungut Gina, sang pecinta alam.

"Gue suka uangnya, bukan orangnya," ucapku kesal.

"Astaga, gue kebanyakan ngasih lo serbuk jahat."

"Hah?"

"Lo butuh uang banget ya?"

Aku hanya mengangguk.

"Tapi dia udah tahu lo cuman mlorotin."

"Tentu lah, dia udah sadar secarakan dia pinter. Enggak kayak kita cuma copas suara hati istri."

Kami kemudian saling tatap dengan tatapan prihatin.

"Segitu bodohnya kita ya?"

Kami berdua mengangguk bersamaan.

Lalu menatap langit cerah namun polos tanpa awan dan matahari. Entah pergi kemana mereka. Mungkin memilih tempat yang dibawahnya ceria lebih sedap dipandang tidak seperti kami, menyedihkan.

"Kalian enggak sebodoh itu kok."

Suara entah dari mana tiba-tiba membuka hatiku, sepertinya Gina juga. Suara barusan seolah memberiku kekuatan untuk tetap hidup.

Siapa sih dia, sepertinya malaikat penuh kata-kata bijak. Ah, aku ingin memeluknya dan berterimakasih.

Pandanganku menyusuri sekitar taman, tapi tak ada siapapun, lalu kutatap kembali langit, Gina mengikuti arah pandangku. Mungkinkah suara dari langit.

"Woi! Gue disini."

Sebuah suara keras tepat menggema ditelingaku. Aku berbalik dan mendapati seseorang yang sangat ingin kubunuh, dia adalah Oja, dengan muka yang memuakkan.

Gina tersenyum kearah kami secara bergantian, kenapa perasaanku mulai enggak enak ya. Tentu sajalah kan ada Oja, gimana sih, aku ini.

Tapi sepertinya bukan hanya itu saja karena Gina mulai berdiri dan meninggalkan kami berdua. Berdua.

Aku hanya bisa menghela napas lemas, kemudian memutar bola malas dan mengadahkan tangan kearah Oja.

"Mana jatah gue."

"Gue kesini mau putus," tukas Oja.

"What? Enggak enggak enggak, Enggak bisa," tolakku bagaimana bisa tiba-tiba dia minta putus, aku kan, belum puas mlorotin.

"Kalau gue bilang putus, ya putus." Oja masih saja ngotot.

"Gue bilang enggak bisa, karena gue punya ini."

Aku memperlihatkan sebuah flashdisk.

"Apaan isinya?" tanya Oja, mulai tertarik.

Aku memasang benda itu ke HP dan terputarlah sebuah video dimana Oja menangis karena didorong adik cowoknya yang masih ingusan ke bawah derasnya hujan.

"Enaknya disebarin kapan ya," aku menakut-nakuti Oja yang masih menatap HP ku meski sudah kumatikan.

Hahaha, rasain kemenanganku.

"Emmm, nanti aja deh abis putus."

"Eh, jangan jangan. Gak jadi putus deh," cegah Oja terlihat ketaakutan.

Aku tersenyum penuh kemenangan, menatap wajah Oja yang ketakutan. Aduhhh, senangnya lihat musuh menderita.

"Good boy." aku sedikit berjingkat mengacak-acak rambut Oja.

Laki-laki itu menghunuskan tatapan tajam kepadaku, tentu saja diriku yang kalem ini kaget dan berhenti membuat rambutnya berantakan. Kenapa anjing penurut ini tiba-tiba menggonggong.

"Gue bukan anjing lo," ketus Oja.

Dia kemudian berlalu meninggalkanku yang masih termangu dengan ucapanya, kupikir dia mulai menakutkan, lihat saja barusan Oja berucap seolah bisa membaca pikiranku.

Apa selama ini aku terlalu jahat kepadanya, tapi setelah kupikir-pikir, aku hanya memlorotinya sedikit, sekitar tiga ratus ribu. Bukankah itu jumlah yang amat sedikit bagi seorang Seroja nelumbo.

Ah, sudahlah untuk apa aku memikirkan. Aku sekarang juga harus segera pulang.

Aku berjalan menyusuri gang-gang sempit, beberapa sampah gelas plastik berserakan. Dasar manusia! Masih saja membuang sampah sembarangan, aku menendangnya satu persatu dan berhasil masuk ke tong sampah,hingga hanya tersisaa satu, kutendang saja terus untuk sekedar bermain di dunia yang membosankan ini.

Akhirnya aku keluar dari gang sempit busuk itu, tapi kenyataanya aku kembali melihat sebuah pemandangan busuk. Seorang pria kurus dangan pakaian lusuh sedang duduk di pembatas jalan sendirian dengan sebotol miras murahan ditanganya.

Aku benci melihatnya.

Tapi sebagai seorang anak aku harus berbakti kepadannya. Aku menghembuskan nafas dan mulai mendekatinya.

"Ayah, ayo makan dirumah. Nenek sudah menunggumu," ajakku lembut.

Ayah meneguk miras lalu mengelap mulutnya dengan lengan yang memegang miras. Kemudian ayah mengacungkan mirasnya dengan sempoyongan kearahku dan mulai berkata.

"Hei, kau. Berani berainya menyuruh orang yang telah banting tulang hanya untukmu, tugasmu itu hanya belajar. Mengerti!"

Aku kembali menghembuskan nafas penuh kesabaran dan tersenyum paksa.

"Ayah ayo pulang, dan makan bersama."

"Apa kau ikan! Sudah kubilang jangan berani kepadaku, rawat saja nenek peyotmu itu sendiri!"

Ayah kembali meneguk minumanya rakus.

Ucapan ayah barusan membuatku tertusuk, aku masih bisa sabar jika ayah menghinaku. Tapi saat ayah menyebut nama nenek seperti itu, rasanya kesabaranku sudah berada dipenghujung.

Tanganku terkepal kuat, rasanya gatal sekali. Tapi tidak aku tidak boleh melakukanya, lebih baik aku pulang dan makan bersama nenek.

Hari semakin petang, aku berlari untuk sampai di rumah, aku tidak ingin membuat nenek menunggu terlalu lama.

Ku buka dua pintu besar lalu kulihat seorang wanita tua berpakaian sederhana sedang menata kardus-kardus bekas hasil pungutanya dari pagi. Padahal aku sudah mencegahnya bekerja kasar seperti itu karena aku telah mendapatkan kerja part-time .

"Astaga nenek, bukankah sudah kubilang aku sudah mendapatkan pekerjaan, kenapa masih mengumpulkan kardus." Ucapku sambil membantu nenek menata kardus kemudian mengikatnya menggunakan rafia.

Nenek berdiri dengan membawa kardus yang telah ditali ke sudut halaman kecil rumah kami.

Aku ikutan berdiri lalu duduk di teras rumah.

Disusul nenek yang telah selesai dengan bertumpuk-tumpuk kardus itu.

"Cucuku dimana ayahmu? Kenapa tidak kau ajak pulang?"

tanya nenek khawatir.

Ternyata nenek juga menghawatirkan ayah.

"Ayah sedang makan angkringan bersama teman-temanya," dustaku.

Aku tidak mau membuat nenek keluar mencari ayah yang hanya akan berakhir sia-sia.

Biarkan seperti ini, hanya kami berdua dengan ketenangan.

Halaman rumah kami dipenuhi tumpukan kardus bekas, benar-benar berantakan tapi itu semua hasil kerja keras nenek, rasanya aku ingin menangis. Padahal sudah kukatakan berkali-kali tidak perlu bekerja, nenek memang keras kepala.

Aku merogoh sakuku lalu mengeluarkan tiga lembar kertas merah.

"Nek, terimalah uang ini. Aku akan bekerja mulai nanti malam jadi nenek tak perlu bekerja." Kataku sambil menyerahkan uang itu.

Tapi nenek malah mendorong tanganku seolah menolak pemberianku, dan berkata.

"Bukanya nenek menolak, tapi barusan kau berkata akan mulai bekerja malam ini. Jadi nenek sedikit ragu," jelas nenek, ia menatapku lekat-lekat.

Kami terdiam sesaat.

Dalam keheningan ini tiba-tiba terdengar suara krucukan, ternyata itu berasal dari perutku.

"Astaga, cucuku sudah lapar ya. Nenek akan ambilkan," ucap nenek.

Nenek masuk kedalam. Aku mulai merenungkan sepertinya ucapan nenek benar, aku harus berhenti memloroti Oja meskipun ia sedikit sombong, dan mulai bekerja keras dengan benar. Dunia ini memang kejam sudah beberapa kali aku mencoba pergi selamanya lebih cepat dari dunia sialan ini, tapi wajah teduh nenek selalu berhasil menggagalkanya.

Rasanya aku ingin menangis, pasti sekarang mataku sudah berkaca-kaca.

tak perlu menunggu lama nenek sudah keluar membawa dua mangkuk penuh kepulan asap dengan aroma yang menggugah selera.

Ah, aku tahu aroma apa ini.

Mataku berbinar begitu mengetahui isi dari mangkuk tersebut, dugaanku benar itu adalah soto dengan potongan tahu kecil sebagai pengganti daging ayam.

Aku langsung mengambilnya dan memakannya dengan lahap, ini adalah makanan kesukaanku. Membuatku kembali teringat kakak, air di ujung mataku sudah tak dapat kutahan, aku menangis.

"Pelan-pelan makanya nanti tersedak." Ujar nenek sambil mengelus lembut kepalaku.

Perkataan nenek justru membuatku semakin menangis, dan juga membuatku tersedak.

"Dasar, keras kepala." Nenek mencubit gemas pipiku lalu bersiap untuk berdiri, namun dengan cepat kucegah.

"Aku tidak butuh minum, aku ingin terus makan soto ini," cegahku dengan suara tertahan karena isak tangis.

Nenek kembali duduk dan ikut memakan sotonya bersamaku, dibawah langit senja yang kian menawan memberikan ketenangan tersendiri didunia yang melelahkan, memaksa kami bekerja keras untuk hidup. Meskipun tak tahu tujuannya.

Aku rindu kakak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status