Share

TUAN PUTRI PMS

SEROJA

Hari-hari dikelas berjalan seperti biasanya, membosankan. Aku punya banyak teman tapi hanya sebatas nama. Mereka pikir bisa membodohiku dengan menyuruhku mengerjakan pr mereka.

Aku melakukan itu hanya karena aku bosan, tidak tahu apa yang harus dilakukan.

"Oja, kantin yuk."

seorang gadis berambut panjang dan tinggi berdiri di sebelahku dengan muka ceria seperti biasa. Dia bernama michel salah satu murid VIP.

"Yuk." jawabku sambil berdiri dan berjalan bersisihan denganya. Tentunya juga bersama teman-teman yang lain.

Aku seperti biasa berpapasan dengan Rimba dan seperti biasa pula kami saling tak sapa, seolah tak pernah bertemu.

Tapi berpapasan dengan dia kali ini membuatku mengingat suasana ruang lukis yang begitu tenang.

Aku ingin kesana lagi.

Dikantin aku tidak perlu berebut bangku seperti anak-anak lain, aku hanya perlu berdiri didekat tempat yang ingin aku tempati dan dengan sendirinya mereka akan menyingkir untukku.

Inilah keuntungan menjadi siswa populer.

"Oja, nanti biar aku bantu ngerjain pr-nya," tawar Michel.

Aku memakan sesuap soto dan menatapnya kemudian terseyum.

"Makasih, tapi kali ini gue pengen sendiri."

Michel kembali menyedot es teh-nya dengan muka masam, sepertinya aku membuatnya kecewa.

Kasian dia, dari kemarin membantuku mengerjakan pr anak-anak. Sebagai gantinya kali ini aku enggak akan membiarkanya kelelahan.

Soto-ku sudah habis, aku mengecek arloji hadiah dari ayahku. Waktu istirahat masih tersisa banyak.

"Aku ketoilet sebentar ya," dustaku.

Teman-teman hanya mengangguk percaya kepadaku.

Aku berjalan menyusuri lorong menju ke tempat favorit baruku, ruang lukis. Meskipun disana ada  si tuan putri PMS tapi aku tak peduli.

Aku terlambat si tuan putri itu sudah sampai duluan, tapi aku sudah terlanjur sampai didepan, jadi kuputuskan masuk dan duduk dijendela.

Rimba juga kelihatanya tidak peduli ia lebih tertarik kepada lukisanya, sekarang dia ngelukis apa ya? Aku penasaran. Kemarin itu lukisanya ter-.

"Apa lihat-lihat?"

Huh, untung aku tidak terjengkal kebelakang, sentakanya itu membuatku kaget, tak salah aku menjulukinya tuan putri PMS. Kerjaanya setiap hari marah-marah terus.

Padahal teman aja sedikit tapi gayanya selangit.

"lukisan lo yang kemarin mana?" tanyaku.

Tapi sepertinya tindakanku ini salah karena mukanya terlihat memerah seperti akan meledak.

"Apa? Mau lo ketawain lagi?" sembur Rimba.

"Astaga, lo tuh salah paham. Kemarin gue ketawa karena lukisan lo terlihat bebas tanpa batas," jelasku.

Rimba terlihat tenang, dia tak memberontak lagi. Rimba hanya menatapku sebentar kemudian melanjutkan lukisanya lagi.

"Rasanya kayak ngetawain hidup gue," gumamku lirih.

"Hah?"

"Apa?"

"Lo, barusan kayak bilang sesuatu."

Aduh, sepertinya dia mendengarku, kalau aku kasih tahu pasti keponya kambuh.

"Bukan apa-apa kok," kilahku.

"Oh," balas Rimba terlihat tak peduli.

Apa? Hanya oh, saja. Bagus lah, dia tak seperti gadis kebanyakan, punya kepo akut.

Iya, aku juga punya penyakit kepo.

Suasana kembali sunyi, aku suka. Tapi, sunyi, bersama Rimba rasanya aneh.

"Gue boleh datang kesini setiap hari enggak?"

Tanyaku.

"Buat lo, boleh-boleh aja," jawabnya tanpa menoleh kearahku.

Apa katanya tadi? Buat gue, khusus buat gue? Dia istimewain gue?

"Khusus buat gue doang?" tanyaku memastikan.

"Ya, secara lo kan, siswa VIP jadi boleh datang kesini sesuka hati," jelasnya. Kali ini sambil menatapku.

Ih, apaan sih aku bisa-bisanya mikir Rimba suka aku, kalau dia sampai suka, perang dunia tiga enggak bisa dihindari.

Aku bales nih, lihat aja dia pasti juga bakal ge-er. Hahaha (tawa jahat).

"Gue suka lo."

"apa?" Rimba menatapku serius, mukanya memerah seperti tomat. Astaga, mati-matian aku menahan tawa. Lucu banget sih, dia.

"Iya, gue suka sama lo yang selalu nepatin janji. Buat pura-pura gak saling kenal." Jelasku, berusaha senatural mungkin.

Tatapan serius Rimba berubah menjadi tatapan bodoh, ia mengerjap-ngerjap beberapa kali, dia terlihat salah tingkah. Namun dia berusaha menutupinya dengan kembali melukis.

"Oh, iya. Namanya juga bisnis." balasnya sambil kembali sibuk melukis.

Rasanya air ludah diujung lidahku ini mau muncrat, aku mengalihkan pandanganku keluar jendela dan sesekali menutupi mulutku dengan lengan. Kalau kalian tahu, aku ingin sekali tertawa sampai puas, sampai perutku sakit.

Tapi tidak jangan, bisa-bisa tuan putri PMS marah lagi. Kedua tanduknya nanti keluar, kan, menakutkan.

"Lo ketawa?" tanya Rimba dengan tatapan tajam.

"E-enggak, siapa yang ketawa," kilahku takut-takut.

"Tadi lo ketawa!" tuding Rimba.

"Enggak."

"Lo ngetawain lukisan gue lagi kan?"

Astaga, sekarang bahkan dia lebih menakutkan.

"Gue bilang enggak, ya enggak."

Sebagai laki-laki sejati aku berusaha tegas, jangan sampai kelihatan letoi didepan perempuan meskipun dia putri PMS.

"Kali ini gue enggak bakal lepasin lo."

Rimba tiba-tiba mendekatiku, salah satu tanganya memegang kuas penuh cat ditudingkan kearahku.

Aku berusaha menjauhinya, dengan berlari keluar ruangan ini. Kulihat dibelakangku Rimba masih berusaha mengejarku dengan ganas, apalagi dengan tatapan itu. Hiiii... Menakutkan.

Segerombolan malaikat penolong berjalan kearahku, salah satunya Michel, berjalan cepat dan menggenggam tanganku dengan tatapan khawatir.

"Lo kenapa Ja? Siapa yang ngejar lo?" Michel menyerangku dengan berbagai pertanyaan.

Ah, perempuan ini masih sama seperti dulu.

"Enggak papa kok, udah lupain aja," jawabku enteng. Masih terengah-engah.

Michel hanya mengangguk, tapi aku yakin pertanyaan-pertanyaan itu masih berputar-putar dikepalanya.

Sedangkan yang lainya terlihat tidak terlalu peduli.

Kami berjalan kembali, aku sesekali melihat kebelakang. Terlihat Rimba yang hanya memandangku kesal dengan memegang erat kuas kotor itu.

Aku sedikit melambaikan tanganku sambil tersenyum mengejek.

Tapi Rimba balas menghunuskan tatapan tajam kepadaku, tatapan yang berbeda dari biasanya, tatapan seolah ia ingin membunuhku.

Dan disaat itulah perasaan bersalah itu muncul.

Padahal kan cuman salah paham, dasar tuan putri PMS.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status