Share

JEBAKAN

SEROJA

Apa hidup ini adil untukku?

Pertanyaan itu terus terbayang setelah aku menonton flim Rembulan tenggelam di wajahmu. Adaptasi dari novel karya penulis legendaris favoritku Tere liye, dia sudah menjadi idolaku sejak bangku SD sampai batas usiaku yang entah sampai kapan.

Setelah kupikir-pikir hidup ini cukup adil untuk diriki sendiri, tapi entah dengan orang lain. Aku menjadi presdir Veritas SMA Victoria, salah satu SMA bergengsi di kota hujan. Yang menurutku satu dari sedikitnya SMA terbaik di Bogor yang letaknya berdekatan dengan desa.

Orang-orang di sekolah itu begitu menghormatiku beberapa dari mereka bahkan terlihat takut kepadaku, entah karena apa. Mungkinkah wajahku menakutkan? Sungguh keji jika mereka menganggap rupaku yang tampan ini menakutkan.

Tunggu, aku ini bicara apa? Tampan?

Aish, apa wajahku ini bisa dibilang tampan, tapi sepertinya memang benar. Terbukti kemarin ada seorang gadis di kereta yang menatapku terpesona dan memberikan sapu tangan untuk membersihkan darah yang mengucur deras lewat hidungku.

Namun tatapan gadis itu berubah ketika aku masuk tanpa hukuman, tatapanya berubah seolah ia ingin menerkamku dengan gigi gingsulnya yang terlihat jelas saat itu.

Memangnya dia belum tahu siapa aku? Sebagai presider veritas, wajarlah diriku diperlakukan khusus.

Kentara sekali kalau dia anak kudet.

Ah, meskipun aku mendapat perlakuan khusus dan ditakuti, tapi tetap saja ada orang yang berani kepadaku. Merekalah anak buahku, para anggota veritas. Berani-beraninya mereka menyeretku paksa berdiri sendirian di rooftop, aku bisa saja menolaknya tapi mereka mengancamku akan membeberkan aibku, terpaksalah demi harga diriku, kuturuti kemauan mereka. Padahal matahari tepat bersinar di atas kepala. Sampai-sampai tapak bundar nan bau itu terlihat jelas di kedua ketiakku.

Sial! Awas saja mereka.

Tapi aku salah, diriku tidak sendirian. Seorang gadis berjalan kikuk ke arahku, wajahnya tidak terlalu jelas karena penglihatanku terhalang silaunya sinar matahari. Perlahan wajahnya itu terlihat jelas ketika ia sudah semakin dekat. Hey, tunggu sebentar bukankah dia gadis di kereta kemarin.

"Hai, ada apa?"

Apa? Aku tidak salah dengarkan? Dia mengajukan sebuah pertanyaan aneh.

"Hah? Ada apa gimana maksudnya?"

Wajah gadis itu berubah menjadi sama bingungnya denganku.

"Kamu kan, yang ngajak ketemuan?"

Gadis itu bertanya dengan polosnya.

Sial! Awas aja mereka, tunggu pembalasan berlipat ganda dariku!

"Oh, iya. Gue lupa, hehehe."

Aku tidak bisa membayangkan mukaku sekarang dengan tanggapan bodoh ini. Tapi gadis itu masih terlihat gugup, itu berarti tampangku masih menawan. Syukurlah kalau begitu.

"Emmm, terus gimana?" Gadis itu bertanya dengan pandangan tertuju pada kakinya yang menggesek-menggesek pijakan.

"Hah?"

"Iya, gimana?" Masih setia memandangi kakinya yang berbalut sneakers putih itu.

Astaga, mulai lagi.

Aku mulai mencari topik bahasan apapun, untuk mencairkan suasana yang sangat kubenci ini.

"BTW, siapa nama lo?" tanyaku, basa-basi.

"Rimba buana."

Heemm, nama yang lumayan unik, tapi gak seberapa dibandingkan dengan namaku.

"Serasi sama yang punya."

Gadis itu kini berani mendongak menatapku, kakinya juga berhenti bergerak.

"Serasi?" dahinya berkerut, bingung.

"Iya, sama uniknya kayak kamu."

Kedua pipi tembamnya terlihat memerah mendengar pujianku, benar-benar gadis yang lugu. Aku tebak dia pasti dari desa.

"Kelas? Jurusan?" tanyaku kembali.

"Hah? Oh, emmm. Kelas XI Bahasa."

Jawabnya gelagapan.

Sepertinya pertanyaanku mengganggu kesibukanya membereskan pipi tomatnya itu.

Lucu sekali dia.

"Wah, anak bahasa ya? Berarti gue harus perbanyak kosa kata nih, buat ngobrol sama lo."

Tiba-tiba si Rimba ini tertawa tertahan, ada apa? Apa pernyataanku barusan lucu? Dimana letak lucunya coba? Dasar receh!.

"Kak Oja lucu deh, ekspresinya itu loh."

Kedua alisku bertaut, bingung. Ekspresi gue emang kayak apa? Apa jangan-jangan jelek? Kayak Sincan? Aduh gawat nih.

Aku berusaha menutupi wajahku dengan kedua tanganku, sungguh tak elite bukan?

Tapi yang kulihat Rimba bukanya diam tapi malah semakin meledekku dengan tawanya yang semakin meledak.

"Bwahaha, gak usah ditutupin lah kak. Wajah kakak enggak jelek kok, cuman lucu gemesin gitu."

"Ohhh." Aku bernafas lega mendengar penjelasanya yang terkesan memuji itu.

Bagus deh ketampananku bertambah dengan keimutan. (Plak! Tampar aja deh gue)

Keheningan menyusupi kami berdua, hanya ada suara hembusan angin lembut menerbangkan rambut kecoklatan Rimba. Kedua alis coklatnya itu tertutup samar oleh poninya yang hampir mengenai mata beningnya, bibirnya merah jambu namun agak sedikit kering. Aku jadi ragu dia ini anak desa.

Tapi sepertinya gadis yang kupandangi ini tak sadar, karena asyik menikmati cerahnya langit dan benda seperti permen kapas yang bergerak secara perlahan.

Aku lalu duduk di pagar tembok pembatas rooftop  dan sedikit melakukan perenggangan pada tanganku.

"Ekhem," aku berdehem berusaha menarik perhatian Rimba dan berhasil.

"Lo orang mana?" tanyaku.

"Aku dari desa terdekat," jawabnya singkat.

"Dari desa?" tanyaku memastikan, masih tak percaya dengan pendengaranku. Tidak mungkin dengan penampilan seperti ini dia anak desa.

Rimba mengangguk mengiyakan.

"Hemm, lo blasteran?" tanyaku mencari fakta.

Rimba terlihat terkejut dengan pertanyaanku barusan.

"Hah, aku blasteran? Mirip dari mananya?"

"Terus rambut sama alis lo, kenapa warna coklat?" Tanyaku sambil menunjuk rambut dan alisnya.

Tangan rimba memegangi rambutnya dan menyentuh salah satu alisnya.

"Oh, ini. Sejak lahir sebenarnya rambut sama alisku warna merah, terus aku sering di buly karena warnanya kayak api. Jadilah orang tuaku mengecat rambut dan alisku dengan warna coklat," jelas Rimba panjang lebar.

Aku ternganga mendengar penjelasannya. Warna merah? Kok bisa?.

"Kok bisa warna merah?" tanyaku.

"Emmm, orang tuaku bilang itu terjadi karena aku kekurangan vitamin..., vitamin..., ya pokoknya itulah," Rimba terlihat agak kesal karena gagal mengingat jenis vitamin.

"Kenapa enggak dicat warna hitam aja?" penyakit kepoku mencapai stadium 4.

"Kata orang tua ku enggak boleh, alasannya juga enggak jelas."

Aku mangut-mangut mendengar penjelasannya.

Rimba terlihat syok ketika melihat jam tangannya, bisa dipastikan dia ketakutan karena tanpa disadari ia telah membolos satu jam pelajaran.

Gadis ini, belum terlalu tahu kekuasaaku di sekolah ini.

"Udah, tenang aja. Kalau sama gue mah, aman."

Aku berusaha menenangkannya sekaligus memamerkan kekuasaanku kepada gadis kudet ini.

"Tenang gimana, sekarang ini jamnya pak Agung!" sentaknya.

Aku tergelak mendengarnya, tak menyangka Rimba si gadis lugu berani menyentakku. Perempuan memang penuh misteri.

Rimba segera berlari meninggalkanku, dengan gerakan cepat aku memegangi lenganya, berusaha menahanya agar bisa merasakan sensasi bolos dengan aman yang hanya bisa dirasakan saat sekolah.

Selama beberapa detik, adegan saling tatap terjadi diantara kami berdua.

"Lo belum tahu siapa gue? tanyaku.

"Tahu, kakak kan. Presdir veritas," jawabnya dengan wajah polos.

Aku menghela napas, tahu seperti itu kenapa Rimba berani menyentakku tadi? Berani sekali gadis ini.

"Yaudah kalau gitu tenang aja."

"Kakak, bisa tenang. Tapi aku enggak!" sentaknya.

Beraninya gadis ini, emosiku sudah tak tertahan.

"Bisa enggak, bicaranya jangan nyentak, terus enggak usah pakek embel-embel kakak. Jijik gue!"

Rasakan pembalasanku, mau dia nangis atau tidak , aku tidak peduli sama sekali.

Benar saja, air mata yang sudah dipenghujung itu kini mengalir membasahi pipi tembamnya. Sebenarnya pipinya hanya sedikit tembam.

Hanya pipinya saja yang agak tembam tidak dengan tubuhnya. (Apaan sih, Ja. Diulang-ulang terus kayak udah tua aja lo)

Mata gadis didepanku ini semakin basah, wajah tomat yang lucu itu sudah tak terlihat lagi. Membuat tembok kokoh yang sudah kubangun runtuh.

Lembek sekali makhluk ini.

"Padahal kan aku cuman berusaha menghormati kamu. Hiks, hiks, hiks," ucapnya disela-sela tangisan.

Aku mengehela napas.

"Iya, iya. Udah nangisnya." Kataku menenangkan sembari mengelus-ngelus rambutnya yang agak lepek.

"Huwaaaaa!!!"

Aku gelagapan menghadapi tangis Rimba yang semakin menjadi-jadi.

Diluar ekspetasiku, biasanya seorang gadis yang menangis jika dielus-elus seperti tadi akan langsung tenang, aku sendiri sudah membuktikannya kepada teman dekatku, Michel.

Padahal saat pertemuan pertama aku sudah bisa melihat bahwa Rimba adalah seorang perempuan kuat, penilaianku tak pernah salah.

Namun ada apa sekarang? Apa keahlianku sudah memudar?.

"Aduhhh, diam dong. Gue harus gimana nih."

Sumpah, saat ini aku bingung setengah mati.

Dalam kebingungan ini aku berdoa semoga tidak ada yang mendengar suara tangisan dari anak manusia ini.

Siapa di atas?

Suara entah siapa itu semakin membuatku gelagapan, keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Otakku tiba-tiba berhenti bekerja. Baru kali ini seorang Seroja nelumbo mengalami ketakutan luar biasa di sekolah.

"Diem dong Jubaedah!" bisikku.

Dalam kondisi seperti ini aku jadi ingat dalam flim action biasanya mereka akan membekap mulut sang lawan yang tidak bisa diam.

Tapi masak iya aku harus mengotori tangan hygienisku ini. Tapi bodo amat lah.

Belum sempat tanganku menyentuh mulutnya ia kembali berbicara.

"Hanya ada satu cara. Hiks, hiks, hiks."

"Apa, gimana?" tanyaku tak sabar.

"Lo harus jadi pacar gue," bisiknya licik, tepat di telingaku.

DUARRR!

Apa? Barusan aku tidak salah dengar kan? Apa gadis ini sudah gila, bagaimana bisa ia mengajukan permintaan gila seperti itu dan apa tadi barusan, dia bicara kepadaku menggunakan bahasa informal?!

Dalam hati aku mengumpat-ngumpat tak terima diriku dipojokkan seperti ini.

"Lo u-"

Siapapun itu gue udah bawa tongkat kasti!

Yang nangis tenang aja gue bakal selamatin lo!

Sial!

Posisiku semakin terpojok, licik sekali si Rimba ini. Kukira dia gadis kudet nan lugu. Tapi apa ini?

Agghhrr! Aku harus bagaimana.

Tidak ada cara lain selain diriku yang sudah tak berdaya ini harus menuruti kemauan Rimba.

Apa lagi suara langkah kaki itu semakin terdengar jelas.

Aku memejamkan mata sesaat, membuang napas. Berusaha meyakinkan diriku bahwa ini adalah keputusan konyol yang tepat.

"Ok."

Rimba memamerkan senyumanya yang lebih mirip seringai.

Membuatku bergidik ngeri.

Seroja (Oja)

=============================

                                             ================

Salam dari perempuan yang baru disini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status