Share

ILALANG part 1

Siang menjemput sore menampakan goresan-goresan indah dilangit yang kian gelap, hembusan angin lembut menyentuh kulitku, kurasakan hawa hangat yang membuatku nyaman, tentram. Secangkir kopi mungkin pas untuk menemani sore ini.

Hari itu seperti biasanya kulihat seorang perempuan berambut sebahu lengkap dengan gaun putih selutut lengan panjang memandang kosong ke hamparan ilalang liar yang kian memanjang dengan liarnya.

Dan seperti biasa juga aku menemaninya duduk di bangku kayu panjang tua tanpa sandaran, megajaknya ngobrol, mendengarkan ceritanya, menepuk punggungnya ketika tatapanya kosong, dan entahlah.

Aku meringis samar ketika terdengar bunyi 'kriett' setiap kali kujatuhkan pantatku di bangku tua itu. Sebenarnya sudah beberapa kali aku menawarkan diri megganti bangku itu dengan yang baru, tapi gadis itu pasti akan menatapku tajam kemudian berkata dengan lembut 'kau tak mengerti nilai sejarah ya?'

Tangannya menggenggam tanganku erat, ia membuang nafasnya pelan bersama dengan angin yang berhembus lembut menerpa rambut ikal coklatnya.

Dia mulai bercerita.

###################^^

Jakarta, 05 Februari 2002

"Aku mau jadi Artis."

"Aku jadi manager artis."

Dibawah atap gubug kecil,  dua gadis remaja berseragam SMA terlihat bercengkrama, sesekali mereka juga tertawa.

Mengabaikan sinar matahari yang kian panas, mungkin karena mereka percaya atap gubug kecil telah melindungi mereka dari benda langit yang kadang menjengkelkan.

"Nggak bisa." gadis remaja berambut ikal menggeleng cepat.

"Loh, kenapa?," silawan bicara terlihat bingung.

Sirambut ikal memegang pipi silawan bicara, kemudian mengusap rambut lurus yang tergerai indah, dengan lembut.

"kamu lebih cantik dari aku, yang harusnya jadi artis, tuh kamu."

Silawan bicara melepaskan pegangan sirambut ikal yang terasa lengket karena keringat.

"Aku siapa? Siapa yang cantik?"

"Sheilendra. Sella," ucapnya mantap.

Silawan bicara bernama Sella itu menonyor kepala sirambut ikal dengan telunjuknya yang lentik.

Membuat sirambut ikal mengumpat sambil meringis mengelus-elus dahinya.

"Jelas Angaya- lah, sipaket lengkap.

Inget ya A-ya cantik."

Sirambut ikal Aya terdiam. Sella bohong, sahabatnya itu jelas berbohong. Dilihat dari arah manapun Sella jelas lebih cantik daripada Aya.

Rambut lurus hitam legam tergerai indah, bulu mata lentik, kulit kuning langsat, tinggi, ideal, senyum manis yang menawan. Laki-laki mana coba yang bisa menolak pesonanya, bahkan perempuan dan semesta saja mengakuinya.

Langit mulai gelap mereka bergegas pulang, menggunakan tas mereka sebagai perisai dari serbuan tetesan air.

Mereka berdua hanyalah anak terlantar yang kemudian di asuh oleh pihak panti asuh yang baik hati, bukan sekedar menjadi sahabat tapi saudara yang kemana saja selalu bersama.

Seranjang, sepiring, sesekolah, sejalan, tapi tak sampai sebaju.

Bagi mereka pulang sekolah bukanlah waktu rehat, tapi waktunya memeras keringat.

Mereka akan memasak, membagikan makanan,   mencuci piring dan baju, untuk pulahan adik-adik panti disana. Untuk pekerjaan ringan seperti bersih-bersih mereka dibantu adik panti yang paling besar.

"Makasih ya untuk hari ini. Sella dan Aya," kata ibu panti. Itu artinya mereka bisa beristirahat.

Aya lebih dulu menghempaskan tubuhnya di kasur kemudian disusul Sella setelah memanjat tangga kecil penghubung dua ranjang. Sebenarnya ranjang dibawah adalah ranjang milik Sella tapi gadis itu tak suka dibawah, Aya juga sama jadilah mereka satu ranjang.

Aya menghadap ke dinding lalu Sella memeluknya dari belakang, itu memang sudah jadi kebiasaan mereka sejak kecil. Kadang Aya juga memeluk Sella dari belakang.

Disekolah, Sella adalah sang ratu kecantikan, dia ramah kepada siapa saja. Membuatnya disukai banyak orang. Aya juga begitu tapi dilain bidang, dia lebih unggul di bidang akademik, dia sang juara kelas bukan hanya kelas tapi sekolah.

Si cantik Seilendra.

Si jenius  Angaya.

Mereka suka teater, setiap ada pertunjukan teater mereka akan ikut. Tapi  si jenius Aya lebih jago teater dari pada si cantik Sella.

Sella mengakuinya, semua orang juga mengakui kehebatan Aya.

Sella tahu saudaranya Aya begitu ambisius meraih impianya itu. Sehingga ia berusaha membantu mewujudkannya, mencari orang atau apapun itu yang ada sangkut pautnya dengan dunia entertiment.

Itupun tanpa sepengetahuan Aya, Sella ingin yang terbaik untuk Aya.

Hingga akhirnya ia bertemu dengan anak laki-laki yang seumuran, putra seorang direktur entertiment-- Roger-- Sella tersenyum, usahanya tak si-sia.

Kebaikan hati sang ratu kepada si jenius membuat mereka semakin dekat.

Roger selalu menjemput Sella saat istirahat, selalu menarik tangan Sella ketika Aya juga ingin menggandengnya. Selalu membuat Sella ketika Aya ingin bicara.

Membuat jarak diantara mereka, jarak yang mungkin hanya dilihat oleh Aya. Si jenius Aya kesepian, untuk pertama kalinya ia merasa sendiri didunia ini. Seakan ia tak menganggap orang yang juga memperhatikanya.

Memunculkan kecurigaan di benak Aya, jangan-jangan mereka punya hubungan spesial.

Dia harus berbicara kepada Sella.

"Sella hari ini kau pulang bersamaku, kan?"

Tanya Aya.

"Maaf, Aya. Aku ada janji dengan Roger," tolak Sella.

"Kalau gitu aku ikut."

Sella tak bisa menolak.

Mereka akhirnya pergi bersama ketempat janjian, ruang musik.

Disana sudah ada Roger, laki-laki dengan fisik lumayan. Mereka menghampirinya, disambut dengan senyum menawan Roger, beginikah rasanya berada diantara dua orang menawan.

Rasa ingin merosot kebawah tanah.

"Kalian pacaran?" tanya Aya tanpa basa-basi.

Mereka berdua terdiam saling tatap, kemudian tertawa.

"Jangan bilang kamu berpikir seperti itu, karena akhir-akhir ini aku sering jalan bareng sama dia. Hatiku tak sejinak itu." Sella memegangi perutnya yang sakit karena tertawa barusan.

"Maaf ya, aku belum ngenalin, jadi dia itu Roger putranya direktur. Yah pokoknya dia, tuh bisa ngebantu wujudin impian kamu- eh maksudnya impian kita. Jadi kamu yang akrab ya, sama Roger."

Aya tersenyum lega jadi selama ini, ia salah mengira. Syukurlah.

"Tapi kalau ditanya soal rasa ke lo, gue ada," goda Roger.

Gombalan receh Roger berhasil membuatnya terkena pukulan halus dari seorang Seilendra.

Sedengankan Aya hanya bisa meringis miris dalam diam.

Sedekat itu ya mereka berdua? Jadi iri.

Perjumpaan mereka sampai disini, dua gadis itu kembali kerutinitas memeras keringat mereka.

Hari selanjutnya sepulang sekolah, Angaya tak pulang bersama Sella, gadis itu menolaknya tanpa mau menjelaskan alasanya. Aya mendesaknya hingga akhirnya Sella menyerah. Katanya ia ikut bimbel, salah satu larangan keras panti. Sella tak memperbolehkan Aya ikut karena Ia tak mau Aya ikut dihukum.

Sella berlari menjauh dari Aya, berlawanan dengan arah jalan pulang mereka ke panti.

Tapi Aya si jenius tak sebodoh itu,  diam-diam ia mengikuti Sella.

Sella tidak lagi menyusuri jalan aspal ia berbelok menyusuri tanah yang dipenuhi rerumputan liar.

Hingga menemui sebuah robohan bangunan.

Sella bersembunyi dibalik tembok, Aya masih mengawasinya dibalik semak-semak. Dari sana Aya melihat Sella hanya diam menatap kosong rumput liar yang bergoyang di terpa angin sore.

Perlahan air keluar dari matanya, mengalir, membasahi pipi beningnya. Pandanganya masih sama--kosong.

Sella kamu kenapa?

Apa yang tidak aku ketahui?

Apa yang terjadi?

Tolong bicaralah.

Berbagai pertanyaan mulai memenuhi pikiran Aya, ia ingin sekali menghampiri saudaranya, tapi ia harus menahanya jika ingin semua pertanyaanya itu terjawab

Sella memeriksa jam tanganya, kemudian dia bergegas pergi berbalik arah, dari raut wajahnya Sella terlihat panik, persis saat ia terlambat berangkat sekolah.

Dari belakang Aya berlari kecil, ia hampir saja kehilangan jejak Sella.

Mereka sampai di sekolah, Sella memasuki bangunan itu. Langkahnya semakin cepat, ia menaiki tangga, sepertinya ia akan ke lantai tiga.

Dan benar dia ke lantai tiga tepatnya di ruang musik.

Ruang musik?

Apa jangan-jangan..

"Hai, Sella," sapa seorang laki-laki yang tak lain adalah Roger.

Sella tersenyum manis, menyamarkan bekas tangisanya.

"Saat liburan sekolah nanti kami jadi debutkan?"

Tanya Sella.

Kami Debut?

Jadi Sella ingin membuat kejutan untukku? Maafkan Sella aku tadi sudah paham.

Aya meremas roknya, tanpa sadar ia menggigit bibirnya, gadis itu tak sabar menunggu jawaban Roger.

Roger tersenyum, tanganya terulur mengacak-acak rambut Sella tapi gadis itu tak bereaksi sama sekali, ia hanya diam menerimanya.

"Jadi dong, itu udah pasti."

Yes!

Aya menutup bibirnya, ia tak bisa menyembunyikan keterkejutanya. Sekarang ia sangat bahagia.

Semesta telah memihaknya, sedikit lagi, tinggal sedikit lagi impianya tercapai.

Lampu sorot akan senantiasa menyorotinya kemanapun ia pergi, beradu akting dengan aktris ternama. Mempunyai perusahaan sendiri, dan yang terpenting dengan itu semua ia bisa membangun pantinya.

Ekspetasi memanglah akan selalu indah tapi realita kadang berlawanan.

"Tapi cuma kamu."

Alis Sella terangkat.

"Loh, bukannya sama Aya?"

"Lo nggak lihat? Aya kan jelek."

Sella menoleh kebelakang, membuat Aya harus bergeser supaya tak terlihat.

Aya begitu terkejut.

Dari sana Aya jelas melihat bagaimana raut wajah Sella.

Pandangan jijik, menghina.

Aya tak mungkin salah, penglihatanya tak pernah salah, tetapi hatinya tetap tak bisa percaya.

Mata dan hatinya bentrok, dan berakhir dengan tangis. Aya menangis, rasanya sakit sekali.

Benarkah itu Sella?

Kenapa dia begitu tega?

Gadis ikal itu tak kuat, ia berlari menjauh.

Sesampainya di panti ia membasuh mukanya, jangan sampai ada yang tahu tentang kesedihanya.

Jam menunjukan angka 8 malam. Sella baru pulang, wajahnya terlihat lelah.  Aya sebisa mungkin tersenyum menyambut kepulanganya.

Namun saudaranya itu tak membalas senyumanya.

Aya membuang napasya pelan, ia harus tetap sabar, meyakinkan diri Sella adalah sahabat, dan saudara terbaiknya. Aya melakukan rutinitas sebelum tidur senormal mungkin, sikat gigi, cuci muka, kemudian tidur seranjang dengan Sella.

Tubuh Aya memeluk hangat Sella dari belakang, matanya perlahan terpejam.

"Geli"

Mata aya kembali terbuka, saat Sella tiba-tiba bangkit dari tidurnya, dan Aya kembali melihat tatapan yang membuatnya menangis.

"apa?" tanya Aya tak yakin

"Aku bilang Geli."

Kini matanya bukan hanya terbuka tapi juga melebar. Ia kembali menarik napas dan membuangnya.

Namun sayang ia terlambat, amarah telah lebih dulu menguasainya, kedua tanganya terkepal kuat, jantungnya berdetak kencang, napasnya memburu hebat.

Aya bangkit dari tidurnya, dengan cepat ia mencekik leher Sella, bercampur dengan bisikan setan dan amarah membuat cekikanya begitu kuat, Sella tak bisa melawan.

Sicantik itu tak pernah membayangkan Aya seperti ini, napasnya tercekat, kedua matanya melebar. Sella hanya mampu menepuk-nepuk tangan Aya keras, perlahan, pelan semakin pelan, dan akhirnya berhenti.

Suasana menjadi sunyi, tak ada suara sama sekali, bahkan jangkrik berisik tepat dibalik jendela tak berani bersuara. Semuanya diam hanya terdengar suara napas Angaya yang memburu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status