Sementara itu di konferensi pers. Para wartawan bagai tentara semut, berkumpul tertata rapi duduk manis di kursi lipat menghadap meja panjang. Ruang itu pun gaduh oleh arus bisik-bisik mereka.
Papan raksasa berdiri gagah di belakang Raul dan Cecil. Terdapat tulisan Genrecorps di bawah lambang matahari bermata satu. Cecil duduk di sebelah Raul. Di sisi lain duduk beberapa pria berjas hitam. Cahaya flash kamera milik puluhan wartawan tak merubah senyum buatan Cecil yang nampak tulus. Suara obrolan ringan semakin meredup oleh suara tepukan pada kepala mic oleh pria berjas hitam, salah satu warga Genrecorps.
"Test test," ucap pria berjas di sebelah Cecil, sekarang semua mulut wartawan tertutup rapat. "Konferensi kali ini akan dibuka dengan beberapa pernyataan dari Tuan Raul, CEO utama Genrecorps grup. Nanti akan ada sesi tanya jawab, jadi diharap teman-teman wartawan mengikuti aturan main yang ada, atau boleh angkat kaki dari sini sebelum diusir. Mari Tuan Raul, dipersil
Gemercik air kolam mendominasi. Kai melangkah masuk ke rumahnya, duduk di sofa dalam ruang tengah. Dia berselonjor kaki dalam remang cahaya teras menyinari taman kecil, kolam ikan, juga gazebo di tengah kolam yang menjadi pemandangan baginya. Dia merindu pada Aira. Dia khawatir pada gadis idolanya. Dia tak tenang. Bayu pasti marah pada Aira. Gadis itu tidak salah, semua karena dia yang memaksa untuk keluar melihat bintang. Semua kemesraan selama perjalanan pulang antara Bayu dan Aira pasti hanya tipu muslihat Bayu. Bukan tanpa alasan anggapan itu muncul. Kai mengenal lama pemuda atos itu dan tahu sikap, sifat, serta wataknya. Sekali lagi ia mengecek iphone di meja. Pesan singkat yang dia kirim belum dibaca. [Aira, apa kamu baik-baik saja?] Simpel, tidak berbelit, pasti bukan karena Aira tak bisa menjawab, mungkin karena dia tak boleh menjawab oleh suami culasnya. Tiba-tiba bel berbunyi, tanda jika ada tamu. Seorang gadis berpakaian maid me
Aroma daging bakar memaksa perut meronta minta diisi. Suara musik jazz live show memanjakan telinga. Terdapat tulisan Steak House & Kafe Solarian di kaca jendela besar di sisi dinding, yang memisahkan jalan di luar dengan interior kafe. Kafe bernuansa Amerika Classic di pinggir jalan itu menjadi pilihan mereka untuk bertemu. Dinding batu bata berhias lukisan Abraham Lincoln, Jefferson Davis juga bendera Konfederasi dan bendera Union terpajang bersebelahan. Nyaris tiada kursi kosong saking padatnya pengunjung. Beruntung Aira dan Mei mendapat kursi di dekat jendela. "Enak ya suasananya," ujar Aira mengangguk-angguk pelan mengikuti irama musik yang dia suka. Mei mengangguk, menaik turunkan kaca mata membaca daftar harga yang dia pegang. "Harga makanannya juga enak banget. Jadi kamu mengajak ke mari buat mentraktir makan? Ah, Aira baik banget! Makasih ya sayang." "Iya, tapi makannya kita tunggu yang punya uang datang." "Siapa?" "
Tak sia-sia usahanya mengikuti Aira sambil mengendap seperti ninja. Lukman menyeringai puas dengan hasil yang dia dapat. Pemuda itu sampai melompat menepuk angin di udara, padahal dia melangkah di tengah keramaian. Langkahnya melambai lebai sembari mengecek hasil jepretan. Dia mendapat tugas rahasia dari Bayu untuk mengawasi Aira. Karena tak ada kerjaan dan sekarang dia memasuki masa skripsi, Lukman pun setuju melakukan pekerjaan itu secara gratis. Foto Aira di kafe bersama Kai. Foto Aira dan Kai berpelukan ketika sebuah motor kencang melintas nyaris menabrak Aira. Foto Aira bersama Kai di dalam mobil. Foto Aira dan Kai ketika membayar barang belanjaan. Semua ini menjadi souvenir menarik untuk Bayu. Lukman mencopot SD-card dari kamera. "Bagus, semua selesai. Sekarang lo bakal menerima ganjarannya Kai. karena mengkhianati cinta suci Ana, berusaha mendekati istri sahabat lo sendiri--" Tak sengaja dia menabrak seorang gadis kurus berk
Di kejauhan suara azan Isya menggelora. Terdengar suara mesin motor dari kejauhan. Nyala lampu motor menyinari jalan berpaving kompleks perumahan elit. Cukup sepi keadaan kompleks di mana rumah-rumah megah dua tingkat berdiri gagah di kiri dan kanan jalan. Motor-matik milik Mei berhenti di depan gerbang jeruji besi tinggi berwarna hitam. Rumah megah dua lantai gelap gulita, berbeda dengan rumah lain yang terang benderang. Semua lampu rumah itu mati, membuat nuansa angker muncul secara alami. "Wah, sepertinya Bayu belum pulang, tuh. Bagaimana, mau jalan-jalan lagi?" tanya Mei. "Tidak ah, sudah malam." Mei tersenyum meledek. "Tahu begini mending tadi lama-lama ya, jalan bersama Kak Kai yang uh uh, gandengan tangan." "Apaan sih, tidak jelas banget deh, kamu. Lagipula sudah malam juga, kelayapan. Tidak baik, tahu. Bisa jadi buah bibir tetangga, nanti." Aira kesal mengembalikan helm ke gadis di sebelahnya, yang masih duduk manis di atas motor
Ibu melihat foto Aira sedang berpelukan dengan Kai. Semua itu sontak membuat wajahnya memerah padam. Ia memandang wajah Aira yang tertunduk, lalu memandang foto sekali lagi, seakan belum percaya dengan apa yang dia lihat. "Ini? Ini apa maksudnya? Aira, kamu selingkuh?" "B-bukan seperti itu Bu. Anu, sebenarnya itu, uhm anu." "Anu anu, anu siapa?" sahut Ibu, mengamati gelagat aneh menantu. Aira berusaha menutup-nutupi bantalan sofa, membuat Ibu semakin yakin jika di sana ada yang gadis itu sembunyikan. Kasar beliau menarik Aira, lalu mengambil bantal sofa, mendapati lebih banyak foto tergeletak di sana. Sekarang semua foto Aira dan Kai berada di tangan beliau. Setiap foto menjadi bahan bakar amarah yang semakin memuncak. Dia memandang bengis Aira. "Maksud foto-foto ini apa?" tanya Ibu, suaranya rendah, membuat Aira keder. "Ayo jelaskan, ini maksudnya apa! Kamu selingkuh? Berani kamu selingkuh?" "Bu, semua salah paham," ucap Bayu.
Aroma keringat semerbak di dalam ruang. Suara berita dari dalam TV plasma yang digantung mendominasi ruang gym dalam rumah. Kai berlari di treadmill. Badannya basah oleh keringat begitu deras keluar dari pori-pori. Air keringat turun mengikuti lekuk otot dada, perut, membuat badan seakan bersinar. Belum cukup puas dengan berolah raga lari, dia pindah memakai alat pull up bell, lalu setelah beberapa menit, pindah memakai mesin barbell, dan mencoba mesin-mesin lain di sana. Semua dilakukan untuk mempertahankan keindahan lekuk tubuh juga membuat bugar, dan kesehatan raga terjaga. Kai sadar jika sembari tadi dua gadis pelayan berdiri di depan pintu kaca. Keduanya terpesona melihat kegiatan Sang Tuan muda di dalam sarang kaca itu. Dia menghampiri kedua gadis sambil mengusap wajah memakai handuk yang melingkar di leher jenjangnya. Ketika dia membuka pintu kaca, kedua gadis sontak memberi senyum ramah. Mereka membungkuk dalam, tak berani memandang langsung wajah tampan.
Aira tidak tenang. Mau dibawa ke mana. Terlebih ucapan Ibu sangat ambigu dan lagi dia habis berbuat salah. Terbayang hukuman apa yang bakal diterima. Mungkin diikat di sebuah pohon, lalu dicambuk, atau di kurung dalam gudang seperti adegan sinetron-sinetron? Ah terlalu ekstrim. Terlepas dari semua pikiran itu, Aira hanya bisa memandang jalan di luar seperti puppy baru melihat dunia. Mobil berbelok memasuki jalan utama. Begitu banyak kendaraan di sekitar. Aira semakin panik ketika mobil mereka melambat masuk ke lahan parkir di depan sebuah mall. Dia memandang seperti kucing bingung, ke kiri, ke kanan, tiada tenang di wajah. "Kenapa, Menantuku?" tanya Ibu, sambil tertawa kecil. "Kita ke mall, Bu?" "Iya dong, memang kamu pikir kita mau ke mana? Ayo ikut Ibu, biar Ibu kenalkan dengan seseorang yang bisa merubah penampilan secara maksimal." Aira baru pertama kali masuk mall dikawal dua pria kekar berjas hitam yang juga mengenakan berkaca mata hitam
Bayu kembali ke rumah. Ia bergegas masuk ke kamar. Di sana begitu kosong tiada kehidupan, seekor nyamuk pun tak ada. Dia membuka kasar pintu kamar mandi, hasilnya sama saja. Bayu pergi ke ruang keluarga dan dapur, tetap tidak menemukan apa yang dia cari. Pada akhirnya dia pasrah duduk ke sofa di ruang tengah mengamati jam di dinding. "Sudah jam sebelas, ke mana doi? Aira! Lo--ehm, kamu di mana?" Ia mencoba menghubungi nomor Aira, tapi tidak tersambung. Nomor telepon Ibu juga tidak ada yang mengangkat. Bagaimana kalau terjad sesuatu di jalan? Ibu adalah keluarga yang sangat berarti bagi Bayu. Dia merenung cukup lama sambil memandang layar TV kosong. Pikirannya mulai bermain-main. Sudah pasti benar Kai berjalan berdua dengan Aira, istri kontraknya. Tetapi Bayu bingung, sebenarnya apa alasannya berkata seperti tadi di depan Kai? Berkata dengan nada bercampur api cemburu. Toh mereka mau berduaan, mau ke hotel juga seharusnya Bayu cuek, karena harusnya