LOGINGiovano tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menempatkan dirinya di antara Zara dan Daren. Ia melingkarkan lengannya di pinggang Zara, menariknya erat-erat, hampir posesif. Pemandangan itu adalah tampilan dominasi yang nyata.
"Lepaskan tanganmu dari tunanganku," kata Giovano kepada Daren, suaranya pelan dan mengancam, seolah sedang memperingatkan hama. "Jika aku melihatmu di sekitar Zara lagi, aku akan pastikan kamu tidak akan pernah lagi bekerja di kota ini."
Daren, yang hanya bisa melihat tatapan membunuh Giovano, memucat dan mundur.
Zara, yang gemetar karena trauma masa lalunya, merasakan perlindungan dari Giovano. Pelukan di pinggangnya bukan lagi hanya akting; itu adalah perisai.
"Aku baik-baik saja," bisik Zara, setelah Daren pergi.
Giovano tidak menjawab. Ia hanya terus memegang Zara, pandangannya mengamati kerumunan. Mereka berdua berdiri seperti itu untuk waktu yang lama, terlalu dekat, terlalu intens, seolah-olah mereka adalah satu-satunya dua orang yang tersisa di dunia itu.
Momen itu, saat Zara merasakan detak jantungnya sendiri berpacu melawan kemeja sutra Giovano, terasa begitu nyata hingga ia lupa itu adalah sandiwara.
Giovano menunduk, matanya yang gelap bertemu mata Zara. Dia tidak lagi memandang Zara sebagai kontrak atau properti. Ada keraguan, pertanyaan, dan sesuatu yang berkilau dan berbahaya di matanya. Giovano menyentuh pipi Zara dengan ibu jarinya, gerakannya lembut, benar-benar berbeda dari sentuhan-sentuhan kasarnya yang lain.
Ia menarik Zara lebih dekat. Zara memejamkan mata, membiarkan dirinya jatuh. Kali ini, tidak ada kerumunan. Tidak ada Adhi Hadikusumo. Ini adalah Giovano dan Zara.
Bibir Giovano hanya berjarak satu inci—
Tiba-tiba, telepon Giovano berdering. Nada dering khusus yang jarang terdengar, darurat. Giovano segera melepaskan Zara, ekspresi di wajahnya kembali menjadi CEO yang kejam.
"Ya." Ia menjawab, suaranya menuntut. Ia mendengarkan selama beberapa saat, dan rahangnya mengeras. "Apa? Tapi... bagaimana bisa mereka tahu?"
Giovano memijat pelipisnya, melirik Zara dengan mata yang dipenuhi kekhawatiran yang belum pernah Zara lihat sebelumnya.
"Sial." Giovano mengumpat pelan. Ia menatap Zara, pandangannya kosong. "Dokumen rahasia ... bocor. Seluruh strategi kita sekarang ada di tangan musuh."
Giovano mematikan telepon, pandangannya tertuju pada Zara seolah ia baru saja melihatnya untuk pertama kalinya. Ketegangan di tubuhnya begitu besar sehingga ia tidak lagi memeluk Zara sebagai perisai, melainkan sebagai jangkar.
"Aku harus pergi," katanya, suaranya kembali datar dan profesional. Ia bergerak cepat ke arah pintu keluar VIP.
"Apa yang terjadi?" Zara mengejar, terengah-engah. Rasa terkejutnya karena hampir dicium hilang sepenuhnya, digantikan oleh kecemasan atas rahasia yang bocor.
Mereka kembali ke dalam mobil, Audi hitam meluncur dengan kecepatan berbahaya menembus lalu lintas kota. Giovano melemparkan dasinya ke kursi. Wajahnya yang tegang kini terlihat rapuh di bawah cahaya lampu jalanan.
"Dokumen merger dengan Hadikusumo. Detail strategis yang hanya diketahui oleh dewan direksi dan beberapa manajer kunci. Semuanya ada di tangan Hadikusumo. Dia sudah tahu setiap tawaran, setiap kelemahan kita," jelas Giovano, suaranya tajam seperti pecahan kaca.
"Bagaimana mungkin?"
Giovano mengusap wajahnya dengan satu tangan. "Hanya ada satu cara. Ada tikus di dalam perusahaanku."
Zara terdiam. Tiba-tiba, taruhan kontrak mereka naik sepuluh kali lipat. Ini bukan lagi sekadar sandiwara tunangan; ini adalah mata-mata, pengkhianatan, dan kehancuran finansial.
"Aku... aku minta maaf," bisik Zara.
Giovano menoleh. Kali ini, ia benar-benar menoleh. Matanya tidak lagi menganalisisnya, tetapi melihatnya, kebingungan dan kelelahan terlihat jelas.
"Kamu tidak perlu meminta maaf," katanya. "Kamu tidak ada hubungannya dengan ini. Kamu hanya... kontrak."
Setibanya di penthouse, Giovano langsung menuju ruang kerjanya. Zara berdiri di luar pintu, mendengarkan panggilan telepon yang dipenuhi kemarahan dan instruksi tajam. Setelah dua jam, ruangan itu hening.
Zara mengetuk. "Saya membuatkan teh," katanya, memegang cangkir kamomil yang ia tahu Giovano akan tolak.
Giovano duduk di kursinya, kepalanya bersandar, matanya terpejam. Dia terlihat hancur. Pria berwibawa yang mengancam Hadikusumo tadi malam kini hanya terlihat seperti pria yang baru saja kehilangan segalanya.
"Tinggalkan saja di sana," gumamnya.
Zara meletakkan cangkir itu dan malah duduk di sofa terdekat, menatapnya. Ia tidak pergi.
"Apa yang kamu inginkan?" tanya Giovano, membuka matanya yang merah.
"Anda terlihat seperti akan hancur," jawab Zara jujur. "Saya tidak akan pergi. Setidaknya Anda tidak membuang teh itu."
Giovano menatapnya selama keheningan yang panjang. Zara tidak menunjukkan ketakutan, hanya kekhawatiran yang tulus. Bukan kekhawatiran pada gaji besok, melainkan pada kelelahan di mata pria itu.
Tiba-tiba, Giovano berdiri, berjalan ke jendela kaca besar.
"Aku bisa kehilangan segalanya karena tikus itu," katanya, suaranya rendah. "Bukan hanya uang. Warisan. Nama keluargaku. Tapi yang lebih membuatku marah—"
Dia berhenti, meremas tangannya.
"Yang lebih membuatku marah," ulang Giovano, berbalik menghadap Zara, "adalah bagaimana aku bereaksi saat melihat bajingan itu—Daren—menyentuhmu."
Zara menahan napas. Ini bukan bagian dari pembahasan dokumen rahasia yang bocor.
"Reaksiku," lanjut Giovano, suaranya dipenuhi amarah yang bergetar. "Saat dia menyentuhmu, saat dia bilang dia yang menemukanmu... kemarahan itu nyata, Zara. Posesif itu nyata. Aku tidak melindungimu dari Hadikusumo. Aku melindungimu dari Daren, karena aku tidak ingin dia memilikimu."
Itu adalah pengakuan, bukan permintaan maaf.
"Aku tidak bisa membiarkan kontrak itu berjalan seperti ini." Giovano bergerak mendekat, berdiri di depannya. "Aku tidak bisa kembali ke berpura-pura dingin setelah aku melihat..." Dia menunjuk bibirnya. "Aku tidak tahu apa yang kurasakan padamu. Itu mengganggu, itu tidak nyaman, dan itu tidak rasional. Tapi aku tidak bisa kembali ke kepalsuan."
Zara menahan air mata yang tiba-tiba muncul. Bukan air mata sedih, tapi air mata keterkejutan. Miliarder yang kejam ini baru saja mengakui kerentanannya.
"Saya juga tidak bisa kembali," bisik Zara. Ia berdiri. "Sejak semalam, sejak Daren muncul. Saya tidak memikirkan penghinaan yang ia lakukan, Pak Gio.
Giovano mengulurkan tangan, meraih tangan Zara. Bukan sentuhan yang dominan, melainkan sentuhan yang meminta persetujuan.
"Kontraknya mati," kata Giovano. "Kepalsuan di antara kita secara pribadi mati."
"Apa artinya ini bagi kita? Di depan umum?" tanya Zara, suaranya tercekat, matanya mencari jawaban di wajah Giovano.Giovano melangkah maju, menjembatani jarak di antara mereka. Ia tidak menjawab, tetapi rahangnya mengeras, urat di lehernya menegang. Ini bukan lagi soal bisnis; ini adalah pertarungan pribadi."Mereka mengira ini adalah taktik usang: menikah, lalu menceraikannya. Kita harus mengubah kontrak itu. Kita harus membuktikan kepada setiap mata yang menonton bahwa kita... nyata," desisnya.Giovano mencondongkan tubuhnya ke depan, bisikannya dipenuhi beban yang baru, "Aku tidak punya pilihan selain mempercayai orang luar. Seseorang yang tidak terikat secara internal pada Dirgantara Group. Seseorang yang tidak punya alasan untuk mengkhianatiku. Zara." Ia menyebut namanya dengan desakan mentah, "Jadilah tunangan sejatiku, untuk saat ini. Aku butuh kamu."Ketakutan dingin karena sewa dan hutang yang tertunda terasa remeh dihadapannya. Zara merasakan jantungnya berdebar, bukan kare
Giovano tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menempatkan dirinya di antara Zara dan Daren. Ia melingkarkan lengannya di pinggang Zara, menariknya erat-erat, hampir posesif. Pemandangan itu adalah tampilan dominasi yang nyata."Lepaskan tanganmu dari tunanganku," kata Giovano kepada Daren, suaranya pelan dan mengancam, seolah sedang memperingatkan hama. "Jika aku melihatmu di sekitar Zara lagi, aku akan pastikan kamu tidak akan pernah lagi bekerja di kota ini."Daren, yang hanya bisa melihat tatapan membunuh Giovano, memucat dan mundur.Zara, yang gemetar karena trauma masa lalunya, merasakan perlindungan dari Giovano. Pelukan di pinggangnya bukan lagi hanya akting; itu adalah perisai."Aku baik-baik saja," bisik Zara, setelah Daren pergi.Giovano tidak menjawab. Ia hanya terus memegang Zara, pandangannya mengamati kerumunan. Mereka berdua berdiri seperti itu untuk waktu yang lama, terlalu dekat, terlalu intens, seolah-olah mereka adalah satu-satunya dua orang yang tersisa di dunia itu.
Bibir Giovano berhenti hanya sejengkal di atas bibir Zara, cukup dekat hingga Zara bisa merasakan kehangatan napasnya yang beraroma mint dan tembaga, cukup dekat hingga kecanggungan yang tersisa dari penghinaan Adhi Hadikusumo mencair menjadi antisipasi yang memalukan.Namun, sebelum sentuhan itu terwujud, Giovano menarik diri. Gerakannya cepat, klinis, dan tegas, seolah ia baru saja menghindari sengatan listrik."Cukup," bisiknya, suaranya kembali menjadi es yang terukir tajam. Giovano tidak pernah melepaskan senyum palsunya, wajahnya tetap ramah untuk kerumunan yang menonton, tetapi matanya—matanya dingin dan marah. "Kalian sudah melihat buktinya, Adhi Hadikusumo. Jika ada pertanyaan lebih lanjut, Anda bisa bertanya kepada pengacara saya."Ia menarik Zara menjauh tanpa menunggu jawaban, tangannya di pinggang Zara kini terasa seperti belenggu yang dingin.Di lift, menuju private lounge Giovano, keheningan itu memekakkan telinga. Udara di antara mereka berderak seperti kabel listrik y
Giovano merasakan ketegangan itu. "Dia tunanganku," katanya tanpa emosi kepada Elva. "Dia akan pindah malam ini. Pastikan ruang sayap barat disiapkan. Dan Elva, ingat aturannya. Loyalitas mutlak."Elva mengangguk kaku, sorot matanya yang tidak percaya sedikit melunak, digantikan oleh kepatuhan dingin. "Tentu, Tuan Gio."Giovano memimpin Zara ke lorong panjang yang dihiasi karya seni abstrak mahal, tanpa sempat memandang kembali apakah Zara mengikutinya. "Ruangan ini adalah sayap pribadiku. Jangan pernah masuk tanpa izin." Ia menunjuk pintu kayu gelap. "Kamarmu ada di seberang."Zara mengangguk, mencoba mencatat semua aturan tak terucapkan yang melayang di udara."Satu hal lagi." Giovano berhenti di ambang pintu kamar Zara. Ia bersandar di kusen pintu, menatap Zara dengan intensitas yang membuat Zara merasakan sensasi sentuhan yang sama seperti di lobi tadi pagi. "Di tempat ini, kamu adalah tunanganku. Ini adalah bisnis. Di mata publik, kita sedang jatuh cinta. Di balik pintu ini, kamu
Zara tertegun. Butuh beberapa detik baginya untuk memproses kata-kata itu. "Saya tidak mengerti, Pak."Giovano menyeringai. "Sederhana. Aku akan membayar semua hutang yang kamu miliki, tanpa batas. Aku akan memberimu gaji bulanan sepuluh kali lipat dari gajimu saat ini. Aku akan memberimu kartu kredit dengan batas yang cukup untuk membeli seluruh butik di sini."Zara menghitung. Uang itu akan melunasi biaya obat bibinya, melampaui uang sewa, dan bahkan cukup untuk memulai hidup baru. Jumlahnya tak terbayangkan."Sebagai imbalannya." Giovano melanjutkan, nadanya berubah profesional. "Kamu akan tinggal di penthouse-ku. Kamu akan berpura-pura menjadi tunanganku, bahkan istriku di acara-acara publik, selama enam bulan ke depan. Kamu akan melakukan persis seperti yang kuperintahkan, di mana pun, kapan pun."Zara merasa pusing. Ini gila. Ini adalah kisah Cinderella yang dijual dengan kontrak."Mengapa saya?" Zara bertanya, memaksa suaranya terdengar netral. "Mengapa bukan model? Atau aktris
PENCARIAN EKSKLUSIFPosisi: Asisten Pribadi Eksekutif (Kontrak 3 bulan, NDA Ketat)Kualifikasi: Mampu menahan tekanan, loyalitas mutlak, bersedia bekerja di luar jam normal.Gaji: 10x Standar Pasar.Wawancara Terbuka: Pukul 09.00 di Lobi Utama, SKYLINE TOWER.Zara menatap nama gedung itu: SKYLINE TOWER. Monolit kaca dan baja setinggi seratus lantai yang mendominasi cakrawala kota. Markas besar Dirgantara Group, perusahaan properti dan teknologi paling tertutup di Asia. Orang-orang berbisik bahwa CEO-nya, Giovano Axel Dirgantara, adalah seorang jenius yang tak kenal ampun, yang menghancurkan pesaing hanya dengan satu panggilan telepon.Itu adalah dunia yang seharusnya tidak pernah ia sentuh. Tapi dengan lutut yang nyaris ambruk karena kelelahan, rasa sakit, dan keputusasaan finansial, Zara mengambil keputusan. Ia harus mengambil risiko ini.PAGI HARI DI SKYLINE TOWERZara mengenakan satu-satunya setelan kerjanya yang layak, kainnya terasa tipis dan murahan dibandingkan dengan marmer di







