LOGIN"Apa artinya ini bagi kita? Di depan umum?" tanya Zara, suaranya tercekat, matanya mencari jawaban di wajah Giovano.
Giovano melangkah maju, menjembatani jarak di antara mereka. Ia tidak menjawab, tetapi rahangnya mengeras, urat di lehernya menegang. Ini bukan lagi soal bisnis; ini adalah pertarungan pribadi.
"Mereka mengira ini adalah taktik usang: menikah, lalu menceraikannya. Kita harus mengubah kontrak itu. Kita harus membuktikan kepada setiap mata yang menonton bahwa kita... nyata," desisnya.
Giovano mencondongkan tubuhnya ke depan, bisikannya dipenuhi beban yang baru, "Aku tidak punya pilihan selain mempercayai orang luar. Seseorang yang tidak terikat secara internal pada Dirgantara Group. Seseorang yang tidak punya alasan untuk mengkhianatiku. Zara." Ia menyebut namanya dengan desakan mentah, "Jadilah tunangan sejatiku, untuk saat ini. Aku butuh kamu."
Ketakutan dingin karena sewa dan hutang yang tertunda terasa remeh dihadapannya. Zara merasakan jantungnya berdebar, bukan karena ketakutan kecil, tetapi karena bahaya besar yang baru terungkap. Ia menggenggam tangan Giovano, cengkeramannya kuat, membiarkan baja terbentuk dalam dirinya.
"Apa pun yang terjadi, kita bersama," jawab Zara, nadanya datar dan mantap, sebuah janji yang baru lahir.
Giovano mengangguk, kilatan perhitungan muncul di matanya. Ia menarik Zara, hampir menyeretnya, menuju ruang kerjanya.
Di tengah ruangan, papan tulis digital berdenyut dengan grafik dan struktur perusahaan. Giovano menampar layar dengan telapak tangannya. "Kebocoran ini terlalu bersih. Terlalu sempurna. Ini bukan Adhi Hadikusumo saja. Ada tikus di lingkaran dalamku, seseorang dengan akses tingkat tinggi yang ingin menghancurkanku sepenuhnya."
Dia mengetik cepat, struktur perusahaan runtuh dan mempersempit daftar nama di layar. "Anggota dewan yang merencanakan kudeta, atau..."
Giovano berhenti. Bahunya merosot sedikit. Ia tidak melihat Zara, tetapi tatapannya kosong, terpaku pada layarnya sendiri. Ekspresi kemarahan yang dingin berubah menjadi rasa sakit yang menusuk. Zara bisa merasakan luka lama muncul di ruangan itu.
"...Atau anggota keluarga," lanjutnya, suaranya datar, lebih berbahaya daripada teriakan. "Pamanku, yang selalu cemburu. Dia tahu persis di mana harus menembak."
Zara hanya bisa menarik napas, isakan tertahan di tenggorokannya. "Keluarga Anda sendiri?"
Giovano meraih cangkir teh kamomil yang dingin di meja, lalu meremas dalam genggamannya.
"Permainan sudah berakhir. Kita bukan lagi fiktif, Zara. Kita adalah tim. Kita sedang berperang. Dan untuk memancing tikus itu keluar, kita harus menunjukkan pertunangan paling meyakinkan yang pernah dilihat kota ini."
Dia menatapnya, intensitas di matanya begitu kentara, seakan lidah api yang membara siap melahap.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Zara, tahu bahwa jawaban itu akan menjadi bom yang jauh lebih besar daripada 'gala lagi'.
Giovano menyeringai sinis, senyum tanpa kegembiraan, hanya perhitungan kejam. "Sekarang, Nona Zara." Ia mengucapkan kata-kata itu seolah sedang mengukir takdir.
"Kita tidak akan memberinya makan malam gala lagi. Kita akan memberinya kepastian. Hari ini, kita mulai perencanaan pernikahan. Kita akan mengumumkan tanggalnya. Kita akan terikat selamanya, di mata publik. Dan kemudian..."
Giovano mencondongkan tubuhnya mendekat, bisikannya sedingin janji kematian. "... Kita akan menghancurkan mereka bersama."
Zara merasakan hawa dingin menjalari tulang punggungnya, tetapi bukan karena kata-kata kejam yang diucapkan Giovano. Itu karena realisasi yang baru saja muncul di benaknya. Ia tidak hanya menyetujui pertunangan palsu; ia baru saja menyetujui sebuah pernikahan, yang, meskipun dimaksudkan sebagai umpan, akan tetap mengikat mereka secara hukum.
"Pak Gio...." Zara berbisik, suaranya sedikit bergetar. "Pernikahan, di mata hukum... itu nyata. Bahkan jika itu hanya untuk panggung. Apa yang terjadi selanjutnya... apa yang terjadi jika setelah semua ini berakhir, kita tidak bisa berpisah?"
Giovano tidak tersenyum. Senyum sinisnya menghilang, dan ada bayangan gelap yang melintas di matanya, bayangan yang hanya muncul ketika ia berpikir tentang pengkhianatan di masa lalu.
Giovano menyentuh pipinya dengan ibu jari yang dingin. "Itu risiko yang harus kita ambil, Zara. Aku pastikan semuanya hancur setelah aku mendapatkan apa yang kuinginkan." Ia berhenti, mendekat. "Kecuali...."
"Apa artinya ini bagi kita? Di depan umum?" tanya Zara, suaranya tercekat, matanya mencari jawaban di wajah Giovano.Giovano melangkah maju, menjembatani jarak di antara mereka. Ia tidak menjawab, tetapi rahangnya mengeras, urat di lehernya menegang. Ini bukan lagi soal bisnis; ini adalah pertarungan pribadi."Mereka mengira ini adalah taktik usang: menikah, lalu menceraikannya. Kita harus mengubah kontrak itu. Kita harus membuktikan kepada setiap mata yang menonton bahwa kita... nyata," desisnya.Giovano mencondongkan tubuhnya ke depan, bisikannya dipenuhi beban yang baru, "Aku tidak punya pilihan selain mempercayai orang luar. Seseorang yang tidak terikat secara internal pada Dirgantara Group. Seseorang yang tidak punya alasan untuk mengkhianatiku. Zara." Ia menyebut namanya dengan desakan mentah, "Jadilah tunangan sejatiku, untuk saat ini. Aku butuh kamu."Ketakutan dingin karena sewa dan hutang yang tertunda terasa remeh dihadapannya. Zara merasakan jantungnya berdebar, bukan kare
Giovano tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menempatkan dirinya di antara Zara dan Daren. Ia melingkarkan lengannya di pinggang Zara, menariknya erat-erat, hampir posesif. Pemandangan itu adalah tampilan dominasi yang nyata."Lepaskan tanganmu dari tunanganku," kata Giovano kepada Daren, suaranya pelan dan mengancam, seolah sedang memperingatkan hama. "Jika aku melihatmu di sekitar Zara lagi, aku akan pastikan kamu tidak akan pernah lagi bekerja di kota ini."Daren, yang hanya bisa melihat tatapan membunuh Giovano, memucat dan mundur.Zara, yang gemetar karena trauma masa lalunya, merasakan perlindungan dari Giovano. Pelukan di pinggangnya bukan lagi hanya akting; itu adalah perisai."Aku baik-baik saja," bisik Zara, setelah Daren pergi.Giovano tidak menjawab. Ia hanya terus memegang Zara, pandangannya mengamati kerumunan. Mereka berdua berdiri seperti itu untuk waktu yang lama, terlalu dekat, terlalu intens, seolah-olah mereka adalah satu-satunya dua orang yang tersisa di dunia itu.
Bibir Giovano berhenti hanya sejengkal di atas bibir Zara, cukup dekat hingga Zara bisa merasakan kehangatan napasnya yang beraroma mint dan tembaga, cukup dekat hingga kecanggungan yang tersisa dari penghinaan Adhi Hadikusumo mencair menjadi antisipasi yang memalukan.Namun, sebelum sentuhan itu terwujud, Giovano menarik diri. Gerakannya cepat, klinis, dan tegas, seolah ia baru saja menghindari sengatan listrik."Cukup," bisiknya, suaranya kembali menjadi es yang terukir tajam. Giovano tidak pernah melepaskan senyum palsunya, wajahnya tetap ramah untuk kerumunan yang menonton, tetapi matanya—matanya dingin dan marah. "Kalian sudah melihat buktinya, Adhi Hadikusumo. Jika ada pertanyaan lebih lanjut, Anda bisa bertanya kepada pengacara saya."Ia menarik Zara menjauh tanpa menunggu jawaban, tangannya di pinggang Zara kini terasa seperti belenggu yang dingin.Di lift, menuju private lounge Giovano, keheningan itu memekakkan telinga. Udara di antara mereka berderak seperti kabel listrik y
Giovano merasakan ketegangan itu. "Dia tunanganku," katanya tanpa emosi kepada Elva. "Dia akan pindah malam ini. Pastikan ruang sayap barat disiapkan. Dan Elva, ingat aturannya. Loyalitas mutlak."Elva mengangguk kaku, sorot matanya yang tidak percaya sedikit melunak, digantikan oleh kepatuhan dingin. "Tentu, Tuan Gio."Giovano memimpin Zara ke lorong panjang yang dihiasi karya seni abstrak mahal, tanpa sempat memandang kembali apakah Zara mengikutinya. "Ruangan ini adalah sayap pribadiku. Jangan pernah masuk tanpa izin." Ia menunjuk pintu kayu gelap. "Kamarmu ada di seberang."Zara mengangguk, mencoba mencatat semua aturan tak terucapkan yang melayang di udara."Satu hal lagi." Giovano berhenti di ambang pintu kamar Zara. Ia bersandar di kusen pintu, menatap Zara dengan intensitas yang membuat Zara merasakan sensasi sentuhan yang sama seperti di lobi tadi pagi. "Di tempat ini, kamu adalah tunanganku. Ini adalah bisnis. Di mata publik, kita sedang jatuh cinta. Di balik pintu ini, kamu
Zara tertegun. Butuh beberapa detik baginya untuk memproses kata-kata itu. "Saya tidak mengerti, Pak."Giovano menyeringai. "Sederhana. Aku akan membayar semua hutang yang kamu miliki, tanpa batas. Aku akan memberimu gaji bulanan sepuluh kali lipat dari gajimu saat ini. Aku akan memberimu kartu kredit dengan batas yang cukup untuk membeli seluruh butik di sini."Zara menghitung. Uang itu akan melunasi biaya obat bibinya, melampaui uang sewa, dan bahkan cukup untuk memulai hidup baru. Jumlahnya tak terbayangkan."Sebagai imbalannya." Giovano melanjutkan, nadanya berubah profesional. "Kamu akan tinggal di penthouse-ku. Kamu akan berpura-pura menjadi tunanganku, bahkan istriku di acara-acara publik, selama enam bulan ke depan. Kamu akan melakukan persis seperti yang kuperintahkan, di mana pun, kapan pun."Zara merasa pusing. Ini gila. Ini adalah kisah Cinderella yang dijual dengan kontrak."Mengapa saya?" Zara bertanya, memaksa suaranya terdengar netral. "Mengapa bukan model? Atau aktris
PENCARIAN EKSKLUSIFPosisi: Asisten Pribadi Eksekutif (Kontrak 3 bulan, NDA Ketat)Kualifikasi: Mampu menahan tekanan, loyalitas mutlak, bersedia bekerja di luar jam normal.Gaji: 10x Standar Pasar.Wawancara Terbuka: Pukul 09.00 di Lobi Utama, SKYLINE TOWER.Zara menatap nama gedung itu: SKYLINE TOWER. Monolit kaca dan baja setinggi seratus lantai yang mendominasi cakrawala kota. Markas besar Dirgantara Group, perusahaan properti dan teknologi paling tertutup di Asia. Orang-orang berbisik bahwa CEO-nya, Giovano Axel Dirgantara, adalah seorang jenius yang tak kenal ampun, yang menghancurkan pesaing hanya dengan satu panggilan telepon.Itu adalah dunia yang seharusnya tidak pernah ia sentuh. Tapi dengan lutut yang nyaris ambruk karena kelelahan, rasa sakit, dan keputusasaan finansial, Zara mengambil keputusan. Ia harus mengambil risiko ini.PAGI HARI DI SKYLINE TOWERZara mengenakan satu-satunya setelan kerjanya yang layak, kainnya terasa tipis dan murahan dibandingkan dengan marmer di







