MasukSudah hampir tiga minggu sejak Ayla memulai proyek ilustrasi barunya.Di ruang tamu yang dulunya sering diisi tawa, kini lebih sering terdengar bunyi ketikan keyboard.Kertas berserakan di meja, secangkir kopi dingin dibiarkan setengah, dan Ayla masih menatap layar laptop dengan mata yang berat tapi penuh tekad.Nayaka memandanginya dari ambang pintu. Ia membawa dua gelas teh hangat, tapi tidak langsung bicara.Ada sesuatu di wajah Ayla yang membuatnya ragu memanggil — semacam fokus yang tak ingin diganggu.Ia hanya diam di sana beberapa detik sebelum akhirnya melangkah mendekat.“Teh hangat, sebelum kamu lupa minum lagi,” katanya pelan.Ayla menoleh, tersenyum kecil. “Kamu penyelamatku.”Ia mengambil gelas itu, menyesap sedikit, lalu kembali menatap layar.Nayaka duduk di kursi seberang. “Proyeknya sampai mana?”“Hampir selesai tahap awal. Mereka minta revisi warna di halaman tiga puluh.”Ia berhenti sejenak, mengerjap cepat. “Aku suka, Nay... rasanya kayak balik jadi diriku sendiri
Pagi itu, sinar matahari masuk pelan lewat jendela ruang makan. Ayla duduk dengan laptop terbuka di depannya, wajahnya serius tapi matanya berkilat semangat. Di layar, ada pesan baru dari seorang teman lama:“Kami butuh ilustrator tambahan untuk proyek buku anak. Kamu tertarik, Ayla?”Tangannya sempat berhenti di atas keyboard. Ia menatap pesan itu lama, seperti sedang menimbang sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar pekerjaan.Sudah lama ia tidak merasa seperti ini—deg-degan, tapi juga hidup.Nayaka baru keluar dari kamar, masih dengan kemeja kerja dan rambut sedikit berantakan. “Wangi kopi pagi ini beda,” katanya sambil tersenyum, mendekat ke dapur.Ayla menoleh. “Aku tambahin sedikit kayu manis. Biar nggak monoton.”Nayaka tertawa kecil. “Kamu dan eksperimenmu.”“Kalau hidup nggak dicoba hal baru, nanti stagnan,” jawab Ayla sambil menyerahkan secangkir kopi.Kata-katanya terasa ringan, tapi Nayaka sempat menatapnya lebih lama dari biasanya.Mereka duduk berhadapan. Beberapa men
Sudah hampir sebulan sejak Ayla dan Nayaka mulai “memperbaiki rumah” mereka.Bukan rumah secara fisik—tapi tempat bernama hubungan yang pernah hampir runtuh.Hari-hari terasa lebih tenang, meski di sela-sela tawa dan kehangatan itu, masih ada sisa rasa kikuk yang belum sepenuhnya hilang.Pagi itu, aroma sambal terasi menyebar dari dapur. Ayla sedang menyiapkan sarapan.Ia memakai daster kuning muda, rambut diikat seadanya.Dari ruang tamu, Nayaka duduk di meja makan sambil menatap layar laptop—terlalu fokus pada laporan pekerjaannya.“Kalau kamu terus kerja waktu makan, aku laporin ke HR loh,” kata Ayla sambil tersenyum jahil, menuangkan nasi ke piring.Nayaka mendongak, tertawa kecil. “Aku justru pengen kamu yang jadi HR-ku. Biar bisa diomelin tiap hari tapi tetap disayang.”Ayla pura-pura memutar mata. “Alasan klasik pria sibuk.”“Tapi manjur, kan?” Nayaka menyengir.“Sedikit,” jawab Ayla pelan, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan.Mereka makan dalam suasana ringan. Tapi Ayla memp
Pagi itu terasa hangat tapi hening.Cahaya matahari menembus tirai tipis ruang tamu, menyoroti debu-debu kecil yang menari di udara.Ayla berdiri di depan jendela, menatap taman kecil di halaman. Di luar, bunga melati yang dulu mereka tanam bersama mulai berbunga lagi. Aroma samar dari kelopak putih itu menyusup ke dalam rumah.“Kayaknya melatinya suka sama musim ini,” gumam Ayla pelan, lebih kepada dirinya sendiri.Dari dapur, terdengar suara langkah pelan. Nayaka muncul dengan kaus abu dan rambut acak, wajahnya masih separuh mengantuk.Ia membawa dua cangkir kopi, menaruh salah satunya di meja.“Dan kayaknya kamu juga mulai suka pagi lagi,” katanya, duduk di sebelahnya.Ayla tersenyum tipis. “Entahlah. Kadang aku ngerasa pagi itu cuma pengingat kalau kita masih harus lanjut, padahal hati belum benar-benar pulih.”Nayaka menatapnya lama. “Kamu masih marah?”“Bukan marah,” jawab Ayla cepat. “Lebih ke… lelah.”Suasana hening. Hanya terdengar detik jam dinding dan kicau burung dari luar
Sudah hampir seminggu sejak percakapan mereka di taman itu.Rumah kecil di pinggiran kota itu kini terasa lebih damai — atau setidaknya, terlihat begitu dari luar.Ayla sibuk di dapur, menyiapkan makan malam. Suara gemericik minyak dan aroma tumisan memenuhi udara. Sementara dari ruang kerja, terdengar suara laptop Nayaka yang belum berhenti mengetik.Mereka jarang bertengkar sekarang. Tapi juga jarang bicara lama.Setiap percakapan terasa sopan, hati-hati — seperti dua orang yang berjalan di atas kaca tipis, takut langkahnya membuat retak.“Sayang, kamu mau nasinya disendokin sekarang atau nanti?” teriak Ayla dari dapur.“Sekarang aja!” jawab Nayaka tanpa menoleh, masih sibuk menatap layar.Nada suaranya terdengar biasa saja, tapi entah kenapa, Ayla merasa seperti sedang bicara ke seseorang yang jauh.Ia menatap meja makan yang sudah tertata rapi: dua piring, dua sendok, semangkuk sayur, dan lauk sederhana.Tak ada yang salah. Tapi juga tak ada yang benar-benar terasa hangat.Begitu
Pagi itu, hujan turun tipis sejak subuh. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi kopi yang baru diseduh Ayla memenuhi dapur.Ia duduk di meja makan, menatap layar ponsel suaminya yang dibiarkan di meja layar hitamnya memantulkan bayangan wajahnya sendiri.Nama itu… Meira Lestari.Sudah dua hari sejak pesan itu muncul, dan Ayla masih berusaha meyakinkan diri bahwa itu bukan apa-apa. Tapi bayangan kemungkinan lain terus mengusik pikirannya.Langkah kaki terdengar menuruni tangga. Nayaka muncul dengan rambut setengah kering, kemeja abu-abu tergulung di siku, terlihat santai namun terburu.“Pagi, Ay,” ucapnya ringan, mencium kening istrinya. “Kopi buatan kamu masih juara.”Ayla tersenyum kecil, tapi senyum itu kaku. “Kamu sempat dihubungi Meira lagi?” tanyanya akhirnya.Pertanyaan itu menggantung di udara, lebih lama dari yang seharusnya.Nayaka berhenti menaruh tasnya. “Kenapa kamu tanya?”“Cuma nanya,” jawab Ayla cepat, pura-pura santai. “Soalnya kemarin aku lihat pesan dari dia. Aku k







