MasukPagi itu, udara terasa lebih ringan dari biasanya. Setelah berhari-hari diguyur hujan, matahari akhirnya menampakkan diri. Cahaya hangatnya menembus tirai ruang tamu, memantul di lantai, dan menyapa wajah Ayla yang tengah sibuk menata bunga di vas kaca.Bibirnya tersenyum kecil tanpa sadar. Hatinya belum sepenuhnya pulih, tapi pagi ini terasa seperti awal yang baik.Dari kamar, Nayaka keluar sambil mengancingkan kemejanya. “Kamu kelihatan bahagia,” katanya sambil menatap Ayla yang berdiri di dekat jendela.Ayla menoleh, sedikit tersipu. “Mungkin karena langitnya cerah. Udah lama nggak lihat langit biru.”Nayaka mendekat, berdiri di belakangnya. “Atau mungkin karena kamu mulai belajar bahagia lagi.”“Belajar, iya. Tapi belum sepenuhnya bisa.”“Pelan-pelan aja,” ujarnya sambil mengulurkan tangan, memperbaiki letak bunga di vas. “Kayak bunga ini, tumbuhnya nggak pernah buru-buru, tapi akhirnya mekar juga.”Ayla menatapnya sekilas, senyumnya lembut. “Kamu belajar puitis dari mana, Nay?”“
Pagi datang dengan sisa embun yang menggantung di daun jendela. Langit masih kelabu, tapi aroma tanah basah membawa ketenangan yang aneh seolah semesta baru saja mencuci bersih segala kekalutan malam sebelumnya.Ayla membuka mata pelan. Ia masih di ruang tamu, tertidur di bahu Nayaka yang kini sudah terlelap dengan posisi duduk miring. Napas laki-laki itu teratur, tenang dan untuk pertama kalinya setelah lama, Ayla tak merasa gelisah melihatnya di sisinya.Ia bangkit perlahan, menatap wajah Nayaka yang tampak lebih lembut saat tidur. Semua garis keras di wajahnya hilang, digantikan oleh ketenangan yang jarang terlihat. Satu hal yang terlintas di kepala Ayla: begini rasanya rumah, bukan tempat, tapi seseorang.Ayla berjalan ke dapur. Ia menyalakan kompor, menyiapkan dua cangkir kopi hitam untuk Nayaka, dan sedikit manis untuk dirinya. Sementara air mendidih, pikirannya melayang kembali ke malam tadi: pelukan yang tak direncanakan, kata-kata yang akhirnya keluar, dan kesunyian yang just
Langit sore menua bersama warna jingga yang pelan-pelan pudar di balik gedung Arvenza. Angin berhembus lembut, tapi bagi Ayla, hari itu justru terasa berat. Seharusnya hari liburnya digunakan untuk istirahat, tapi notifikasi di ponselnya justru menampar ketenangan yang baru saja ia bangun.Grup internal kantor Nayaka yang dulu diam-diam ia ikuti karena rasa ingin tahu tiba-tiba ramai dengan satu unggahan anonim. Foto kabur, diambil dari kejauhan. Nayaka sedang berbicara dengan seorang wanita di lobi hotel. Tak ada yang terlihat mencurigakan sebenarnya, tapi caption-nya menyulut api kecil:“CEO Arvenza, kembali dekat dengan rekan lamanya?”Ayla menatap layar lama. Ia tahu siapa wanita itu Lara. Mantan asisten proyek yang dulu sempat menjadi sumber pertengkaran di antara mereka. Jemarinya gemetar, tapi bukan karena marah—karena takut. Takut jika kepercayaan yang susah payah ia bangun mulai retak lagi.Pintu rumah terbuka. Nayaka baru pulang, wajahnya lelah, dasi dilepas separuh. “Kamu b
Malam itu, hujan turun pelan, seolah langit pun enggan membangunkan dunia yang sedang mencoba menenangkan dirinya. Rumah kecil mereka tenggelam dalam suara rintik air, dan di balik jendela, dua siluet berdiri berhadapan Ayla dan Nayaka.Tak ada kata, hanya tatapan panjang yang seakan bicara lebih banyak dari seribu kalimat. Luka-luka yang pernah menganga kini mulai merapat, meski belum sepenuhnya sembuh. Dan di antara senyap, ada keberanian baru yang lahir dari rasa yang belum sepenuhnya padam.Nayaka melangkah pelan, mendekat. Ia mengangkat tangan, menyentuh pipi Ayla dengan hati-hati, seolah takut sentuhan itu bisa memecahkan sesuatu yang rapuh. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana buat nebus semuanya,” ucapnya pelan.Ayla menatapnya, napasnya tertahan. “Kadang nggak perlu ditebus, Nay. Cukup dijaga supaya nggak rusak lagi.”Mata mereka saling mencari, lalu berhenti dalam keheningan yang menenangkan. Hujan di luar makin deras, tapi di antara mereka, waktu seperti berhenti. Tak ada
Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai ruang tamu, menandai awal hari baru yang seharusnya tenang. Tapi bagi Ayla, ketenangan itu masih terasa rapuh. Ia duduk di meja makan sambil memainkan sendok di atas piring yang sudah dingin. Pikiran berlarian, menumpuk seperti kabut yang tak juga hilang.Nayaka keluar dari kamar dengan rambut masih basah, mengenakan kemeja biru muda yang belum dikancingkan sepenuhnya. Ia terlihat bersemangat, namun menahan diri ketika melihat Ayla yang tampak diam.“Belum makan?” tanyanya lembut.Ayla menggeleng. “Nggak terlalu lapar.”Nayaka duduk di seberang, mencoba mencari cara untuk membuka percakapan. “Kamu nggak bisa terus begini. Aku tahu semuanya belum benar-benar baik, tapi aku pengin kita pelan-pelan nyembuhin semuanya.”Ayla menatapnya sejenak, kemudian mengalihkan pandangan. “Kamu tahu nggak, Nay… kadang aku iri sama orang yang bisa lupa. Aku pengin juga gitu. Tapi aku nggak bisa.”“Lupa tentang apa?” Nayaka menatapnya, meski sudah tahu arah pembi
Malam itu, hujan turun pelan di luar jendela. Suaranya lembut, seperti irama yang sengaja menenangkan hati yang sedang kalut. Ayla duduk di ruang tamu, mengenakan sweater abu-abu, matanya menatap kosong ke arah tirai yang bergoyang diterpa angin.Nayaka baru pulang. Jaketnya basah sebagian, rambutnya juga. Ia menutup pintu pelan, seperti takut mengganggu. “Kamu belum tidur?” suaranya rendah, nyaris tenggelam oleh suara hujan.Ayla hanya menggeleng tanpa menoleh. “Lagi nggak ngantuk.”Nayaka meletakkan kunci mobil di meja, lalu berjalan ke arah dapur. Ia menyiapkan dua cangkir teh hangat, aroma melatinya menyebar lembut ke seluruh ruangan. Setelah itu ia duduk di sebelah Ayla, tanpa banyak bicara. Cangkir disodorkan. “Masih suka teh ini, kan?”Ayla menatap cangkir itu, mengangguk kecil. “Masih.”Keheningan lagi. Hanya suara hujan yang menutup celah di antara napas mereka.Ayla menyeruput perlahan, lalu berkata lirih, “Kamu pulang telat.”“Rapat dadakan. Laporan revisi dari Lara baru ke







