Share

Bab 5

last update Last Updated: 2025-08-16 11:20:49

Aku berjalan cepat meninggalkan ruang rapat itu, seolah udara di dalam sana telah mencuri semua tenagaku. Sepatu hakku beradu dengan lantai marmer, tapi gemeretaknya kalah nyaring dibanding degup jantungku yang kacau.

“Nadine!” Suara Adrian memanggil dari belakang, terdengar panik.

Aku berhenti di depan lift, menekan tombol berkali-kali meski aku tahu itu tidak akan membuat pintunya terbuka lebih cepat.

“Nadine, tunggu. Tolong, dengarkan aku sebentar.”

Aku menoleh. Adrian berdiri beberapa langkah dariku, wajahnya penuh resah. Ada luka di matanya, luka yang pernah membuatku jatuh cinta dulu. Tapi sekarang—semua terasa berbeda.

“Aku tidak bisa sekarang, Adrian.” Suaraku serak. “Kamu tidak tahu apa yang sedang terjadi.”

“Aku tahu lebih dari yang kau kira.” Ia melangkah mendekat, berusaha menahan pergelangan tanganku. “Aku tidak akan biarkan Arkana mempermainkanmu.”

Aku menepis tangannya cepat, menahan air mata yang hampir pecah. “Dan kau pikir aku punya pilihan? Kau datang setelah dua tahun menghilang, Adrian! Dua tahun aku menunggu jawaban, dan yang kudapat hanya hampa.”

Wajah Adrian menegang. “Aku minta maaf… aku—”

Pintu lift terbuka tepat saat itu. Aku melangkah masuk tanpa menoleh lagi, membiarkan Adrian berdiri di sana dengan ekspresi penuh penyesalan.

---

Di dalam lift, aku merosot, bersandar pada dinding dingin. Kata-kata Arkana tadi masih terngiang di kepalaku:

“Kalau kau menolak, aku punya cara lain untuk memastikan keluargamu hancur lebih cepat.”

Ancaman itu bukan sekadar gertakan. Aku tahu, Arkana punya kekuatan untuk benar-benar melakukannya.

Tanganku bergetar hebat. Kontrak itu… aku tidak bisa kabur.

---

Beberapa jam kemudian aku tiba di apartemen kecilku. Ruangan itu terasa lebih sempit dari biasanya, mungkin karena pikiranku terlalu penuh.

Aku menjatuhkan tubuh ke sofa, menatap langit-langit kosong.

Hidupku seolah jadi permainan. Antara lelaki yang dulu kucinta tapi meninggalkan luka, dan lelaki yang kini menggenggam kendali penuh atas masa depanku.

Aku memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Namun, suara ketukan di pintu membuatku terlonjak.

Dengan ragu, aku bangkit dan membuka pintu.

“Kamu?!” seruku tak percaya.

Arkana berdiri di sana. Dengan setelan jasnya yang rapi, ia terlihat seperti pria yang baru saja keluar dari sampul majalah bisnis. Tatapannya tenang, tapi menusuk.

“Bagaimana kau tahu alamatku?” tanyaku dengan suara bergetar.

Ia menyeringai tipis. “Tidak sulit mencari informasi kalau aku menginginkannya.”

Aku menggenggam erat gagang pintu. “Apa lagi yang kau mau? Bukankah sudah cukup kau mengancamku tadi?”

Arkana melangkah masuk begitu saja tanpa izin, membuatku mundur beberapa langkah. Kehadirannya memenuhi ruang sempit apartemenku.

“Aku tidak suka menunggu jawaban,” katanya dingin. “Kau sudah memutuskan?”

Aku terdiam. Ingin berkata tidak, tapi lidahku kelu.

“Kau benar-benar tega mengikatku dengan kontrak aneh itu?” tanyaku lirih.

“Aku hanya melakukan apa yang perlu,” jawabnya singkat. “Dan kau juga harus melakukan hal yang perlu, kalau tidak ingin keluargamu menderita.”

Hatiku mencelos. Jadi memang benar—tidak ada celah untuk kabur.

Aku berbalik, menatap jendela apartemenku yang gelap. “Kenapa aku? Dari semua orang, kenapa harus aku?”

Arkana tidak langsung menjawab. Hening sesaat, hanya suara detak jam dinding yang terdengar.

Kemudian ia berkata pelan namun tegas. “Karena kau berbeda.”

Aku tertegun, menoleh padanya. “Berbeda? Apa maksudmu?”

Tatapannya berubah, seolah ada sesuatu yang ia sembunyikan. “Kau tidak akan mengerti. Yang jelas, aku butuh kau. Dan kau juga butuh aku, meskipun kau menolak mengakuinya.”

Aku hampir tertawa pahit. “Butuh? Kau pikir ancamanmu itu bentuk kebutuhan?”

Arkana mendekat. Tubuhnya hanya berjarak sejengkal dariku. Aku bisa mencium aroma parfumnya yang maskulin, menusuk.

“Aku tidak mengancam. Aku menawarkan jalan keluar,” katanya tenang. “Kau hanya perlu memilih apakah ingin berjalan bersamaku… atau melawan dan kehilangan segalanya.”

Air mataku jatuh tanpa bisa kutahan. “Aku benci kamu.”

Arkana terdiam, menatapku dalam. Tapi untuk pertama kalinya, aku melihat ada sesuatu di balik dinginnya mata itu. Sesuatu yang samar, hampir seperti… luka.

Namun ia segera mengalihkan wajah, kembali pada sikapnya yang tak tergoyahkan. “Besok pagi, jam sembilan. Aku ingin kau datang ke kantorku. Kontrak itu harus ditandatangani.”

Tanpa menunggu jawabanku, ia berbalik pergi, meninggalkan apartemenku yang sunyi.

Aku jatuh terduduk di lantai, menangis dalam diam.

Antara Adrian yang ingin kembali, dan Arkana yang mengikatku dengan paksa—aku terjebak di tengah badai.

Dan di dalam hatiku, muncul pertanyaan yang menakutkan:

Bagaimana kalau pada akhirnya aku benar-benar jatuh pada lelaki yang kini memenjarakanku?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Bab 25

    Aku bisa merasakan napasku sendiri tercekat. Setiap langkah terasa seperti langkah terakhir. Ketika kami hampir sampai ke pintu belakang, terdengar suara seretan besi. Seseorang berdiri menghadang di sana. Wajahnya separuh tertutup masker hitam, tapi mata itu… mata yang penuh kebencian. “Akhirnya kita bertemu, Nadine…” suaranya dingin menusuk, membuat darahku seolah berhenti mengalir. Aku membeku di tempat, tidak bisa bergerak. Arkana langsung berdiri di depanku, melindungi tubuhku dengan seluruh keberadaannya. “Kau tidak akan menyentuhnya.” Pria itu menyeringai tipis, menodongkan senjata ke arah Arkana. “Kita lihat saja siapa yang bertahan hidup malam ini.” Dan dalam detik berikutnya—suara tembakan kembali memecah malam.Suara tembakan meledak memekakkan telinga. Sekilas aku melihat percikan api kecil di udara, lalu tubuh Arkana bergerak cepat menahanku agar tidak terkena peluru.

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Bab 24

    Arkana memasukkan ponsel ke saku, lalu menatapku dengan mata tajam penuh api. “Ya. Dan aku harus menghadapi mereka. Tapi kali ini… aku tidak sendirian. Kau ada di sisiku.” Aku menggenggam tangannya erat, meski tubuhku masih gemetar. Dalam hati aku tahu, apa pun yang menunggu di depan akan jauh lebih berbahaya. Tapi anehnya, ada kekuatan baru yang muncul—karena aku tak lagi hanya berjuang demi diriku sendiri, melainkan juga demi pria yang kini kucintai dengan seluruh hatiku. Malam itu, di balik ketakutan, aku sadar: pertarungan kami baru saja dimulai.Malam itu terasa panjang, lebih panjang daripada malam-malam sebelumnya. Aku tidak bisa tidur. Setiap suara kecil dari luar membuatku tersentak. Degup jantungku terus berpacu, seolah aku sedang berdiri di tepi jurang. Arkana duduk di ruang tamu, matanya tajam memperhatikan layar ponselnya. Sesekali ia berbicara singkat dengan orang-orangnya. Wajahnya tegas, penuh fokus, tapi aku bisa

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Bab 23

    Arkana menatapku serius. Tatapan yang biasanya menenangkan kini malah menambah rasa waswasku. “Mereka akan mencoba. Tapi aku sudah bersiap. Ada orang-orang yang masih berutang budi padaku, ada jaringan kecil yang kubentuk diam-diam. Selama ini aku memang menunggu waktu yang tepat. Dan mungkin… waktunya sudah tiba.” Aku menelan ludah. Menunggu waktu yang tepat? Jadi semua yang ia lakukan selama ini—menjadi CEO sukses, menutup diri, bersikap dingin—hanyalah bagian dari strategi untuk hari ini? “Tapi, Nadine…” suaranya menurun, agak serak. “Aku tak bisa melakukannya kalau kau tidak kuat. Kau harus bersiap. Mereka akan mencarimu. Mereka mungkin mencoba mendekatimu dengan cara yang paling tidak terduga. Bisa jadi dengan ancaman, bisa juga dengan tipu muslihat. Aku tidak bisa selalu di sisimu setiap detik.” Tubuhku seketika merinding. Bayangan mengerikan muncul di kepalaku. “Jadi… nyawaku benar-benar terancam?” Arkana mengangguk pelan. “Ya. Karena kau adalah satu-satunya yang bisa

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Bab 22

    Ia mengangguk pelan. “Aku keluar. Aku mencoba meninggalkan semuanya, memulai hidup baru, menjadi orang biasa—seorang CEO, seorang pria normal yang bisa kau kenal tanpa curiga. Tapi ternyata, masa lalu tidak pernah benar-benar melepaskanku.” Aku terdiam. Tanganku gemetar hebat. Arkana melangkah mendekat, menatapku dengan penuh rasa bersalah. “Aku tahu kau pasti takut padaku sekarang. Aku bahkan tidak akan menyalahkanmu kalau kau pergi malam ini juga. Tapi satu hal yang harus kau tahu, Nadine… semua yang kulakukan setelah bertemu denganmu—setiap langkah, setiap keputusan—semua untuk melindungimu. Bahkan kalau aku harus menukar nyawaku.”Air mataku jatuh begitu saja. Rasanya ingin marah, ingin menamparnya karena menyembunyikan semua ini. Tapi di sisi lain, hatiku sakit melihat wajahnya yang penuh penyesalan itu. Aku menggeleng, lalu melangkah mendekat meski ia sempat mundur lagi. “Jangan berani-beraninya bilang aku harus pergi, Arkana. Aku sudah ada di sini. Kalau memang ada bahaya

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Bab 21

    BRAK! BRAK! BRAK! Ketukan keras itu kembali terdengar, bahkan lebih keras, menggema ke seluruh rumah. Aku bisa merasakan lantai di bawah kakiku bergetar pelan. Tanganku refleks menutup mulut agar tidak bersuara. Dari balik pintu kamar yang hanya setengah terbuka, aku bisa melihat Arkana berdiri di ruang tamu. Tubuhnya tegap, matanya tajam penuh kewaspadaan. “Siapa di sana?” tanyanya dengan suara berat, penuh ancaman. Tidak ada jawaban. Hanya ketukan lagi—lebih keras, lebih mendesak. BRAK! Aku ingin sekali keluar, berdiri di sampingnya, tapi kata-katanya tadi masih bergema di kepalaku: “Masuk ke kamar, kunci pintu, dan jangan keluar sampai aku bilang aman.” Arkana melangkah mendekati pintu, tangannya sudah mengepal. Tepat sebelum ia membuka, suara asing terdengar dari luar. “Arkana Dirgantara! Aku tahu kau ada di dalam. Buka pintunya atau aku dobrak sekarang juga!” Aku membeku. Suara itu… dingin, berat, dan penuh amarah. Arkana hanya diam sejenak, lalu menarik napas

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Bab 20

    Wajah Arkana berubah muram. Ada luka dalam sorot matanya, seolah ia ingin bicara tapi terhalang sesuatu. Ia menggenggam tanganku erat, suaranya bergetar. “Percayalah, aku tidak pernah ingin menyeretmu ke dalam ini. Aku ingin kau tetap bersih, tetap jauh dari dunia kotor keluargaku. Tapi… mungkin sudah terlambat.” Aku menatapnya, bingung dan marah sekaligus. “Terlambat? Apa maksudmu?” Arkana tidak menjawab. Ia hanya menarikku ke dalam pelukan yang hangat tapi penuh kepedihan. “Maafkan aku, Nadine. Maafkan aku…” Aku ingin menolaknya, ingin menendangnya pergi, tapi tubuhku lemah. Aku tetap berdiri dalam pelukannya, meski pikiranku penuh dengan pertanyaan. Satu hal yang jelas: mulai saat itu, aku tidak hanya jatuh cinta pada Arkana… aku juga jatuh ke dalam lingkaran bahaya yang mengelilinginya. Dan aku tahu, sekali aku masuk, tidak ada jalan keluar yang mudah.Pagi itu udara di rumah begitu tegang. Aku duduk di kursi ruang makan, menatap secangkir kopi yang sejak tadi tak tersentuh.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status