LOGINPagi itu terasa lebih berat daripada malam tanpa bintang. Aku berdiri di depan cermin, menatap wajahku sendiri. Mata sembab, kulit pucat, bibir gemetar. Bagian terdalam dari diriku ingin sekali berteriak lari! tapi suara lain berbisik, jika lari, keluargamu yang jadi taruhannya.
Aku menutup mata, menarik napas panjang, lalu meraih blazer biru tua yang kupunya—satu-satunya pakaian yang masih bisa terlihat “profesional” di mata orang seperti Arkana. --- Di kantor Arkana, suasana mencekam sudah menungguku. Lantai 27 gedung itu dipenuhi orang-orang berjas hitam, berjalan cepat dengan wajah serius. Aku merasa seperti semut kecil yang masuk ke sarang raksasa. Seorang sekretaris cantik menyambutku. “Nona Nadine, Tuan Arkana sudah menunggu di ruangannya.” Aku mengangguk kaku, mengikuti langkahnya hingga berhenti di depan pintu besar berlapis kaca. “Silakan masuk.” Tanganku bergetar saat memutar kenop. Dan di sana… Arkana duduk di balik meja kerjanya, dengan setumpuk dokumen di hadapannya. Seolah semua sudah diatur sejak lama. “Duduklah.” Suaranya tenang, tapi penuh kuasa. Aku duduk perlahan, menunduk. Di atas meja, sebuah map hitam terbuka. Isinya—kontrak itu. “Aku sudah menambahkan beberapa klausul baru,” ucapnya sambil menyodorkan kertas itu. Aku mengernyit. “Klausul baru?” “Ya. Syarat bahwa selama kontrak berlangsung, kau tidak boleh menjalin hubungan dengan pria lain.” Aku menelan ludah. “Kenapa? Bukankah ini hanya permainan untuk citramu?” Arkana menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatapku dengan tatapan menusuk. “Permainan pun butuh aturan. Kau milikku, Nadine. Setidaknya sampai kontrak ini berakhir.” Aku tercekat. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada ancaman apa pun. Miliknya? Aku membuka halaman pertama, membaca setiap kalimat. Semakin kubaca, semakin aku merasa dinding besi menutup di sekelilingku. Tidak ada celah untuk kabur. “Kalau aku menolak?” tanyaku pelan, meski tahu jawabannya. Arkana tersenyum miring. “Kau sudah tahu akibatnya.” Hening. Detik jam terdengar nyaring, seakan menertawaiku. Tanganku terulur, pena bergetar di genggaman. Air mata nyaris jatuh saat tinta biru mulai menggores kertas. “Dengan ini, saya, Nadine Azzahra, menyetujui kontrak…” Namun tiba-tiba— BRAK! Pintu ruang Arkana terbuka keras. Adrian berdiri di sana, wajahnya tegang, napasnya memburu. “Berhenti, Nadine!” serunya. Aku terlonjak, pena hampir jatuh dari tanganku. Arkana bangkit dari kursinya, wajahnya gelap. “Siapa yang memberimu izin masuk?” Adrian melangkah maju, tatapannya tajam pada Arkana. “Kau pikir bisa mengurungnya dengan kontrak konyol ini? Nadine bukan barang yang bisa kau beli.” Aku membeku di kursi. Suasana tegang seperti bom siap meledak. “Keluar.” Suara Arkana rendah, tapi berbahaya. “Ini bukan urusanmu lagi, Adrian.” Adrian mengepalkan tangannya. “Justru ini urusanku. Karena aku masih mencintainya.” Darahku berdesir. Kata-kata itu menghantamku lebih keras daripada apa pun. Aku menoleh pada Adrian, bibirku bergetar. “Adrian…” Arkana menatapku, lalu menatap Adrian dengan sinis. “Kau datang dua tahun terlambat. Kau kehilangan hakmu sejak kau memilih pergi.” “Aku punya alasannya!” Adrian membalas cepat. “Dan aku akan jelaskan semuanya—pada Nadine, bukan padamu.” Arkana tertawa singkat, dingin. “Sayangnya, Nadine sudah membuat pilihannya. Dia ada di sini, bukan di sisimu.” Aku menatap kontrak di depanku, lalu Adrian yang kini tampak begitu putus asa. Hatiku tercabik. “Jangan tanda tangani itu, Nadine,” ucap Adrian lirih. “Kalau kau melakukannya, kau akan kehilangan dirimu sendiri.” Tanganku gemetar hebat. Pena masih kugenggam, kontrak masih terbuka, dua pria menatapku dengan pandangan yang sama-sama ingin menang. Aku berada di persimpangan jalan paling kejam dalam hidupku. Jika aku menandatangani, keluargaku selamat—tapi aku terikat pada Arkana. Jika aku meletakkan pena, aku harus percaya pada Adrian, pria yang pernah meninggalkanku tanpa kabar. Air mata menetes di kertas, memburamkan huruf-huruf kontrak itu. “Cukup!” Aku berteriak, suaraku pecah. “Kalian berdua… kalian berdua membuatku hancur!” Keheningan menyelimuti ruangan. Aku menatap pena di tanganku, lalu menutup mata. Dan dengan satu tarikan napas panjang, aku membuat keputusan… Ruangan itu seperti medan perang tanpa senjata, hanya ada kata-kata yang lebih tajam dari pisau. Aku masih menggenggam pena, tapi jari-jariku sudah mati rasa. Arkana berdiri tegap, seperti raja yang tak bisa digoyahkan. Sementara Adrian—dia terlihat begitu berantakan, namun tatapannya penuh tekad. “Lepaskan dia, Arkana.” Adrian melangkah mendekat, berusaha meraih tanganku. “Kalau memang kau lelaki sejati, jangan paksa perempuan dengan kontrak.” Arkana menepis tangan Adrian dengan kasar. “Kau pikir dunia ini adil? Semua ada harga yang harus dibayar. Dan Nadine… dia sudah terlalu dalam untuk mundur.” “Apa maksudmu?” Aku menatap Arkana dengan mata penuh tanya. Arkana memalingkan wajahku dari Adrian, suaranya menekan. “Ayahmu. Hutang yang ditinggalkannya bukan sekadar angka kecil. Kalau kau menolak, Nadine, keluargamu akan kehilangan segalanya—rumah, usaha, bahkan masa depan adikmu.” Aku tercekat. Kata-katanya menghantam ulu hati seperti palu godam. Benarkah sejauh itu? Adrian menggertakkan gigi. “Kau menggunakan keluarganya sebagai senjata? Arkana, kau lebih rendah dari yang kuduga.” Arkana tersenyum miring. “Aku hanya memastikan apa yang milikku tidak pergi ke orang lain.” Aku mendongak, menatapnya tak percaya. “Milikmu? Aku bukan barang!” Suasana semakin panas. Sekretaris di luar bahkan sudah berdiri gelisah, tapi tak berani masuk. Adrian menghela napas panjang, lalu menatapku. “Dengar aku, Nadine. Memang aku pernah salah, aku meninggalkanmu tanpa penjelasan. Tapi sekarang aku kembali, dan aku bersumpah tidak akan membiarkanmu sendirian lagi. Tolong… percaya padaku sekali ini saja.” Hatiku bergetar. Adrian—pria yang dulu pergi tanpa kabar—sekarang kembali dengan kata-kata yang seolah menyalakan bara yang sudah lama kupendam. Tapi… apakah aku bisa benar-benar percaya? Arkana menunduk ke arahku, tangannya meraih daguku, memaksa tatapanku hanya pada dirinya. “Jangan dengarkan dia. Kau tahu betul siapa yang bisa menjamin keselamatan keluargamu, Nadine. Aku, bukan dia.” Aku menepis tangannya dengan sisa keberanian. “Jangan perlakukan aku seperti boneka.” Suasana hening sesaat. Lalu tiba-tiba, ponselku berdering di meja. Nama yang muncul: Mama. Aku buru-buru mengangkatnya, tapi sebelum bicara, suara Mama yang panik langsung memenuhi telingaku.“Ada yang Mengawasi Kita”POV ArkanaDetik itu juga, setelah membaca pesan ancaman terakhir, aku langsung menarik Nadira masuk lebih dalam ke ruang tengah. Tanganku refleks memeluk pinggangnya—bukan hanya melindungi, tapi juga memastikan ia benar-benar ada di sini.Jantungku masih berdegup keras.Ini bukan ancaman biasa.Orang itu datang ke depan pintu kami.Hanya beberapa menit lalu.“Aku harus keluar lihat CCTV,” gumamku.“Jangan tinggalin aku sendirian,” suara Nadira bergetar.Aku menatap wajahnya yang pucat, matanya memohon.Hatinya terluka, ketakutan… dan aku yang membiarkannya mengalami ini?Tidak. Itu tidak akan terjadi lagi.Aku meraih tangannya. “Kamu ikut. Kita turun bareng.”“Ke ruang kontrol?”Aku mengangguk. “Aku nggak mau kamu lepas dari pandangan aku satu detik pun.”Nadira mengangguk kecil, memeluk lenganku erat.Begitu erat sampai aku bisa merasakan ketakutannya merambat ke kulitku.---Di ruang CCTV apartemenPetugas keamanan berdiri kaku begitu aku masuk.“Pak Arka
POV NadiraSudah lebih dari satu jam Arkana tidak pulang, dan perasaanku… kacau.Entah kenapa, sejak sore tadi dadaku seperti memberi sinyal bahaya. Seperti ada sesuatu yang mengintai di balik bahagia kecil yang baru mulai kami bangun.Aku memandangi jendela apartemen, lampu jalanan di luar memantul di kaca. Hujan mulai turun, menambah rasa gelisah.Arkana ke mana?Biasanya, meski sibuk, ia akan mengabari.Tapi sejak tadi… tidak ada kabar.Aku membuka pesan kami terakhir.“Aku sedang urus sesuatu. Pulang sebentar lagi.”Tapi nyatanya, jam terus berjalan.Dan “sebentar lagi” rasanya menjadi selamanya.Aku menggigit bibir, mengambil ponsel, lalu mencoba menghubunginya lagi.Tersambung…Tapi tidak diangkat.“Arkana…” gumamku lirih.Aku berjalan mondar-mandir di dalam apartemen. Peranku sebagai istri—yang awalnya hanya kontrak—harusnya tidak membuatku secemas ini. Tapi nyatanya, hubungan kami sudah jauh berubah.Aku sudah jatuh cinta.Dan sekarang, aku takut kehilangan.---Tiba-tiba, sua
POV ArkanaLangkahku terhenti di depan bangunan tua itu—gudang penyimpanan yang sudah lama tak dipakai, berada jauh dari pusat kota. Angin malam menampar wajahku, membawa aroma debu bercampur dingin yang menusuk tulang.Dari informasi yang kuterima, seseorang—entah siapa—telah menyewa tempat ini selama dua bulan terakhir. Seseorang yang sama yang mengirim foto-foto Nadira diam-diam… yang mencoba memecahkan rumah tanggaku.Aku menarik napas panjang.“Siapa pun kau… permainannya selesai.”Aku melangkah masuk.Lampu gantung berayun pelan di langit-langit tinggi. Suara cipratan air dari sudut terdengar jelas, membuat suasana makin kelam. Dari kejauhan, ada jejak kaki berdebu, seolah baru ditinggalkan beberapa menit lalu.Aku mengikuti jejak itu.---Teleponku bergetar.Nadira.“Halo, sayang.”Suara Nadira terdengar pelan, cemas. “Kamu di mana? Sudah malam…”Aku hampir mengatakan semuanya—bahwa aku sedang memburu seseorang yang ingin merusak hubungan kami. Tapi aku menahan diri. Aku tak in
Hujan turun tipis malam itu, membuat jalanan tampak seperti cermin gelap yang memantulkan lampu kota. Arkana memacu mobilnya pelan, tapi tegang. Jari-jarinya mencengkeram setir sampai buku-bukunya memutih.Tujuan navigasinya sederhana:Gedung parkir lama milik Dirgantara Group yang sudah tidak dipakai lagi.Dan yang membuatnya semakin tidak nyaman…Gedung itu sejatinya sudah ditutup operasional sejak dua tahun lalu.“Siapa yang menggunakan tempat ini tanpa izinku?” gumam Arkana.Ketika mobilnya memasuki area basement, lampu-lampu otomatis menyala satu per satu. Suara gema langkah dan tetesan air membuat seluruh ruangan terasa seperti film thriller.Arkana turun, menggenggam gelang hitam bertuliskan 23-B dalam genggamannya.Semakin ia melangkah ke dalam, semakin suara-suara samar terdengar—seperti gesekan benda, atau seseorang yang menarik napas dengan gugup.Dan akhirnya, Arkana berhenti di depan deretan loker besi tua.Loker nomor 23-B ada tepat di tengah.Catnya mengelupas. Namun…s
Arkana memandangi paket itu lama. Bentuknya kecil, sekitar ukuran telapak tangan, dibungkus rapi dengan kertas cokelat polos. Tidak ada tanda pengiriman, tidak ada cap kurir, bahkan tidak ada tulisan tangan—semuanya terlalu bersih, terlalu rapi… terlalu sengaja.Ia memanggil lewat interkom, “Rina. Tolong masuk.”Sekretarisnya, Rina, muncul beberapa detik kemudian. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?”Arkana menunjuk paket itu. “Siapa yang menaruh ini di meja saya?”Rina mengerutkan kening. “Saya… tidak tahu, Pak. Barusan saya baru masuk dari rapat.”“Tidak ada staf yang melaporkan ada pengantaran?”“Tidak ada, Pak.”Arkana menatap paket itu lagi, matanya menyipit. “Mulai sekarang, siapa pun yang masuk ke ruangan saya, harus lapor.”Rina mengangguk cepat. “Baik, Pak.”Saat ia keluar, Arkana duduk dan menarik napas panjang. Jantungnya berdetak pelan tapi berat. Nama Nadira tertulis jelas di atas paket. Nama lengkap resmi setelah menikah. Itu sudah cukup membuat pikirannya berputar.Ia membu
Rumah itu terasa jauh lebih tenang hari ini. Tidak ada teriakan, tidak ada drama keluarga, tidak ada telepon darurat kantor. Nadira berdiri di dapur, aroma kopi memenuhi seluruh ruangan. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, suasana rumah benar-benar terasa… seperti rumah.Ia menata meja makan sambil bersenandung pelan. Tangannya gemetar sedikit—bukan gugup, tapi karena hatinya sedang dipenuhi sesuatu yang lembut. Rindu? Kagum? Atau… sesuatu yang dulu ia bilang mustahil: perasaan pada suaminya sendiri.“Pagi.”Suara berat Arkana terdengar dari belakang, membuat Nadira hampir menjatuhkan cangkir. Dia menoleh dan mendapati Arkana berdiri di pintu dapur, rambutnya sedikit berantakan, kemeja putihnya masih belum dikancingkan sepenuhnya. Tampilan CEO itu mendadak lebih… manusiawi.“Pagi,” jawab Nadira sambil menahan senyum.Arkana menarik kursi dan duduk, memperhatikannya dalam diam. Rasanya berbeda. Ada sorot lembut yang tak pernah ia lihat sebelumnya—sorot yang tidak memandangnya







