“Al, Bapak ngapain ya? Duh, Rey masih nangis gak ya? Kalau dia demam gara-gara kelamaan nangis gimana?” Alvaro bukannya menjawab justru membawaku ke dalam pelukannya. Mengatakan jika Bapak tidak akan melukai Rey. Meskipun selama ini tak pernah mau dekat dengan anak itu.Ya— aku paham. Mana mungkin Bapak tega menyakiti anak semanis dan sepunurut Rey? Tapi, aku tetap saja khawatir. Karena Rey tadi menangis histeris. “Lebih baik kamu mandi dan berganti pakaian yang telah disiapkan sama Bunda. Biar aku yang melihat keadaan Rey.”“Tapi, Al—”“Nurut ya,” potong Alvaro. “Hari ini adalah hari penting buat kamu. Jangan sampai rusak hanya karena suasana hatimu tidak tenang.”Aku menganggukkan kepala, meski masih terasa berat di hati. "Iya. Tapi Al, tolong segera ke kamar Bapak untuk menjemput Rey ya? Aku benar-benar khawatir dengan keadaannya.""Tentu saja," Alvaro mengusap pipiku dengan lembut. "Aku pasti akan bawa Rey keluar dari sana."Aku memeluk Alvaro sebentar, mencoba menenangkan diri.
Ya Allah, aku masih tidak percaya ini semua benar-benar terjadi. Duduk di dalam minibus super mewah, dikelilingi oleh keluarga besar Alvaro yang ternyata sangat hangat dan menyenangkan. Tadi pagi aku pikir hanya kami bertiga yang akan pulang ke Jogja, ternyata— ini seperti mimpi yang jadi kenyataan.Oma Narumi dan Opa Barra di barisan depan itu, ya Allah, mereka begitu manis. Sesekali Oma menoleh ke belakang dan tersenyum padaku. Tatapannya seperti sudah menganggapku sebagai cucu sendiri. Dan cara Opa memegang tangan Oma sambil sesekali menunjuk-nunjuk pemandangan di luar jendela— mereka masih romantis sekali di usia senja."Nayla, mau ngemil? Tante bawa cookies dari rumah," kata Tante Zivanya sambil mengeluarkan beberapa kotak dari tas besarnya. “Terima kasih, Tan. Tapi saya masih kenyang,” jawabku.“Oke, kalau pengen ngemil bilang saja ya. Tante taruh sini cookies-nya,” balasnya sambil menunjuk ke arah meja kecil disebelahnya.Aku mengangguk sebagai jawaban. Kemudian membenarkan tu
Aku sudah bangun sejak subuh tadi— sudah pula memasak dan membersihkan apartemen. Tinggal membangunkan dua laki-laki beda umur yang kini masih nyenyak dalam tidurnya. Tumben, Alvaro bangun siang. Biasanya dia bangun pukul 5 pagi— untuk berolahraga sebelum berangkat ke kantor. Rey pun sama, si ganteng itu tidak pernah terlambat bangun di hari sekolah.“Al, Rey— ayo, bangun!” panggilku sambil masuk ke dalam kamar. Semalam, setelah aku dan Al membicarakan perihal rencana pernikahan— Rey bangun dan merengek minta tidur dengan Papanya. Keduanya bukannya bangun justru hanya menggeliat kecil lalu kembali bergelung di dalam selimut. Memang di luar sedang gerimis pas sekali untuk melanjutkan tidur dan bermalas-malasan seharian penuh.Namun, Alvaro harus berangkat bekerja. Sedangkan Rey harus ke sekolah. Dan, aku— libur hari ini. “Al, tumben susah banget dibangunin.”“Jam berapa, Nay?”“Sudah jam 7. Dari tadi aku bangunin gak bangun-bangun.”“Santai saja, Nay. Kita berangkat ke Jogja jam 10
“Al— aku ingin kamu cerita tentang Rey. Garis besarnya saja. Agar aku bisa memutuskan tawaran darimu.”“Bolehkan aku makan malam dulu, Nay. Aku lapar— sejak tadi siang perutku belum kemasukan makanan.”Aku langsung melihat ke arah Jam dinding. Sudah pukul 10 malam dan Alvaro berkata lapar. Dia benar-benar menyebalkan. CEO memang sibuk— tapi apa susahnya sih menyempatkan waktu sejenak untuk mengisi perut. Tanpa berkata apapun, aku langsung berdiri dan menuju ke dapur. Memanaskan lauk yang aku masak tadi pagi. Aku sedikit bersyukur— Alvaro tidak pemilih makanan. Jadi aku tak perlu repot-repot memasak lagi. “Mau minum apa?” Tanyaku ketika Alvaro sudah duduk di meja makan. “Air sehat yang kemarin saja,” jawabnya. Air sehat yang dimaksud adalah infused water. Dan, aku selalu membuatnya setiap hari. Selalu tersedia di dalam lemari es. “Terima kasih,” ujarnya saat sepiring nasi, rendang dan segelas infused water tersaji di meja makan. “Makan yang banyak. Kalau masih kurang bisa tamba
Sebelum Ila dan El sempat menjelaskan, tiba-tiba pintu apartemen terbuka dengan suara yang agak keras. Alvaro muncul dengan nafas memburu dan kening dipenuhi keringat. Rambutnya sedikit berantakan, kemejanya tidak rapi, dan wajahnya terlihat panik.Tanpa mengatakan apapun, dia langsung berjalan cepat ke arah sofa dan duduk di sebelahku dengan gerakan yang tergesa-gesa. Tangannya langsung memeluk pinggangku dengan erat, seolah-olah dia takut aku akan menghilang."Al, kamu kenapa? Kamu baik-baik saja?" tanyaku dengan nada khawatir sambil memperhatikan wajahnya yang pucat. "Kamu harusnya kan masih di Bandung?""Aku—" Alvaro terengah-engah sambil berusaha mengatur nafasnya. "Aku dapat telepon dari satpam apartemen. Mereka bilang ada tamu yang naik ke apartemen kita.""Tamu?" tanyaku bingung. "Maksudnya Ila dan El?""Iya," jawab Alvaro sambil menatap tajam ke arah kedua sepupunya. "Mereka."Yang mengejutkan, bukannya tersinggung atau merasa bersalah, Ila dan El justru tertawa melihat wajah
Bel apartemen berbunyi tepat saat aku sedang asyik membaca artikel tentang cara mengatasi mimpi buruk pada anak. Aku melirik ke arah Rey yang tertidur pulas di sofa, masih mengenakan baju pesta berwarna biru yang dipakainya ke ulang tahun temannya tadi sore. Wajahnya terlihat lelah tapi damai. Aku bergegas menuju pintu dan mengecek monitor intercom. Di layar terlihat dua orang yang berdiri di depan pintu— seorang pria dan seorang wanita yang tampak seumuran dengan Alvaro, mungkin sedikit lebih muda. Keduanya berpenampilan rapi dan elegan, terlihat seperti orang-orang kalangan atas. "Maaf, dengan siapa ya?" gumamku sambil menekan tombol interkom. "Permisi, ini apartemen Alvaro Asenio Juhar?" tanya pria itu dengan suara yang sopan. "Iya, benar. Tapi Alvaro sedang tidak ada di rumah. Dia ke Bandung untuk urusan pekerjaan," jawabku sambil memperhatikan kedua orang itu melalui monitor. "Oh, kami sepupunya. Saya Mikael dan ini adik saya Mikaila," jawab pria itu sambil tersenyum ramah.