"Sepanjang perjalanan pulang ke Jakarta, minibus ini seharusnya jadi tempat beristirahat dengan tenang dan nyaman." Harusnya. Kalau saja El dan Ila tidak duduk di belakang kami— dan tidak kompak menjadi buzzer keluarga dadakan. "Gimana rasanya 'quality time' berdua di ruang ganti?" El bertanya sambil mencondongkan badan ke arah kami. Ila menyikut pelan sambil menyeringai. "Deg-degan, ya? Atau bajunya sekarang udah punya gelar—saksi bisu momen panas di ruang ganti?" Aku mendesah, nyaris menutupi wajah dengan bantal kecil di pangkuanku. “Astaga, kalian berdua bisa diem nggak sih?” Alvaro, yang duduk di sebelahku hanya tertawa ringan. “Mereka emang gitu, Nay. Anggap aja bumbu biar perjalanan nggak ngebosenin.” “Mas Al, tolong bantu jelasin. Aku capek jelasin terus,” gerutuku. “Justru karena kamu jelasin terus, mereka makin semangat menggoda,” balasnya santai sambil bersandar. Ila bersedekap dengan ekspresi pura-pura serius. “Kita kan cuma menyuarakan kekhawatiran,” katanya, se
Selesai mandi dan berganti pakaian, aku keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Alvaro masih berbaring di ranjang dengan mata terpejam. "Mas Al, yuk turun dulu. Kamu belum sarapan, kan?" ucapku sambil merapikan beberapa baju di dalam koper. Dia hanya menggeliat malas, lalu menoleh ke arahku. “Nanti dulu, barang-barangku masih berantakan. Aku belum beresin apapun.” Aku mengerutkan kening. “Lho, emang semalam kamu ngapain aja sih?” “Capek, habis nganter kamu pulang langsung tidur,” jawabnya sambil duduk dan menguap lebar. Aku menggeleng pelan, lalu berjalan ke pintu connecting door dan membuka kuncinya. “Aku cek ke kamar kamu, ya.” “Siap-siap kaget,” ucapnya sambil menyandarkan punggung ke sandaran ranjang. Begitu aku masuk ke kamar sebelah, aku langsung terdiam. Mataku menyapu ruangan yang terlihat seperti habis diterjang angin ribut. Baju berserakan di atas koper yang terbuka, kemeja batik lamaran masih tergantung di kepala ranjang, dan handuk te
Ketukan pelan di pintu membuyarkan kantukku. Saat kulirik jam, baru menunjukkan pukul enam pagi. Sinar matahari perlahan menembus celah gorden, menyapa kamar yang masih remang."Mbak Nay, Pak Zain sudah datang," teriak Naren dari luar kamar.Aku langsung terbangun sepenuhnya. Bapak sudah datang? Secepat ini?Kulirik ke samping tempat tidur. Rey masih tertidur pulas, posisinya miring menghadapku dengan rambut yang sedikit berantakan. Wajahnya yang polos saat tidur membuatku tersenyum sejenak sebelum akhirnya bergegas bangun.Setelah mandi dan bersiap, aku keluar kamar menuju ruang makan. Di sana, Bapak sudah duduk di kursi sambil ngobrol dengan Ayah. "Selamat pagi, Bapak," sapaku sambil menunduk sedikit.Bapak tersenyum hangat. "Pagi, Nak Nay. Maaf Bapak mengganggu waktu istirahatmu."Ayah menepuk sandaran sofa. "Duduk, Nay. Bapak mau sarapan dulu di sini sebelum ajak kalian balik ke hotel."Aku mengangguk, lalu duduk di kursi sebelah Ayah. "Rey masih tidur, Pak.""Gapapa, biarkan dia
Setelah seluruh rangkaian acara selesai, para tamu satu per satu mulai berpamitan. Aku akhirnya bisa menarik napas panjang dan duduk sejenak di kursi teras, menikmati ketenangan yang perlahan kembali menyelimuti rumah.Rey sudah tertidur pulas di pelukan Ibu, dan akan menginap di rumahku. Sementara keluarga Juhar—termasuk Alvaro—bersiap kembali ke hotel.Kupikir semuanya akan selesai sampai di sini. Sampai langkah kaki Alvaro terdengar mendekat.“Nay,” panggilnya, membuatku menoleh.Dia sudah tidak mengenakan kemeja batik, tinggal kaos dalaman warna putih. Rambutnya sedikit berantakan tapi tetap mempesona.Aku berdiri. “Mau pulang ke hotel sekarang?”Alvaro menggeleng. “Nggak. Aku lapar. Mau cari mie tek-tek.”Aku mengerutkan dahi. “Mie tek-tek?”Dia mengangguk. “Yang bunyinya ‘tek tek tek’ itu. Dulu pas kecil pernah makan dan sekarang aku pengen makan lagi.”Aku tertawa pelan. “Mas yakin masih lapar? Soalnya tadi aku lihat sempat nambah waktu makan, loh.”Alvaro menyeringai kecil, la
MC mempersilahkan pihak keluarga laki-laki untuk menyampaikan maksud kedatangan. Suasana menjadi hening— bahkan suara detik jam dinding pun terasa lebih keras. Semua mata tertuju ke arah depan ruangan, di mana Alvaro berdiri berdampingan dengan kedua orang tuanya.Bapak melangkah maju. Suaranya tenang, berwibawa, tapi penuh kehangatan saat mulai bicara,“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.Kami, keluarga besar Juhar dan saya sendiri, Zain Juhar, datang malam ini dengan niat yang baik dan tulus.Kami membawa seorang putra— Alvaro Arsenio Juhar— yang dengan segala hormat memohon izin serta restu dari keluarga Bapak Prasetyo Bawazier dan Amara Bawazier, untuk meminang, Nayla Azzahra Bawazier, sebagai calon istri sekaligus pendamping hidup anak kami— InsyaAllah, untuk selamanya.”Suara isak kecil terdengar dari beberapa tamu perempuan. Ibu menggenggam tanganku, menoleh padaku dengan mata yang mulai berkaca-kaca.MC mengangguk pelan dan mempersilakan Alvaro untuk maju ke depan.Lan
Mobil yang aku tumpangi berhenti tepat di depan rumah orang tuaku. Rumah yang biasanya ramai anak-anak kecil yang sedang les kini dihias dengan lampu-lampu gantung dan kain dekorasi warna krem emas. Ada karpet panjang terbentang dari halaman menuju teras.Begitu aku keluar dari mobil, udara Jogja yang hangat langsung menyambut. Suasana rumah juga terasa berbeda. "Nayla!"Suara Ibu terdengar dari ambang pintu. Dia berjalan cepat ke arahku, mengenakan kebaya hijau pastel— terlihat sangat anggun. Di belakangnya, Ayah berdiri dengan wajah tegas namun teduh, mengenakan batik lengan panjang dengan motif parang klasik."Ibu—" suaraku tercekat. Aku langsung memeluknya. “Kamu cantik banget, Nak,” Ibu berbisik sambil membelai pipiku. “MasyaAllah— Ibu sampai merinding lihat kamu.”Ayah ikut mendekat. Tatapannya dalam, seolah ingin memastikan aku benar-benar putri sulungnya. Setelah beberapa detik hening, dia mengangguk pelan dan tersenyum kecil.“Selamat datang kembali di rumah, Nay,” ucap Bap