Share

Kontrak Pernikahan

Nanda masih bingung dengan situasi di kantor CEO tadi. Tau-tau, dia sudah diseret ke sebuah restoran oleh Hanif masih dengan seragam office girl nya.

Tiba-tiba menjadi pengantin? Apa CEO-nya sudah gila?

Dion sudah sampai terlebih dahulu di restoran steak langgannya. Selang dua puluh menit, Hanif dan Nanda datang menyusul. Mereka bicara serius mengenai kontrak pernikahan.

"Nanda, Pak Dion ini harus segera menikah dalam waktu dekat. Berhubung Pak Dion belum punya calon istri yang cocok menurut padangan Pak Dion, jadi waktu saya bawak kamu tadi. Pak Dion langsung setuju," terang Hanif.

"Tanpa bertanya dulu sama saya?" tanya Nanda meradang.

"Kenapa memang kamu keberatan?" tanya Dion pada Nanda.

"Jelas keberatan, Pak Hanif gak izin sama saya hadap Bapak. Permasalahannya apa, main tarik tangan saya." Amuk Nanda menggebu, sepanjang jalan ke restoran dia menahan jengkel sama Hanif dan Dion.

"Kamu berani marah sama saya?!" gertak Dion.

Sontak Nanda lupa kalau dia masih menjadi pegawai di perusahaan Dion. Dia menurunkan tatapan sinisnya ke bawah dan mengatur nafas panjangnya agar emosinya lebih stabil.

Sementara Dion kembali memandangi wajah Nanda, dia menilai Nanda cukup baik dalam membangun pertahanan diri.

"Lihat kamu berani berekspresi seperti ini. Saya semakin yakin kamu bisa membasmi parasit, benalu yang berwujud manusia." Ungkap Dion.

Nanda menggeram mendengar ucapan Dion dan Hanif. Namun dia tetap menyimak perkataan Dion dan Hanif dengannya. Nanda membaca dari gelagat keduanya inti dari pembicaraan mereka adalah uang.

"Ini kontrak pernikahan yang ditawarkan Pak Dion untuk kamu Nanda," ujar Hanif menyodorkan iPad-nya pada Nanda.

Dion menyengir lagi melihat ketangkasan Hanif bekerja.

"Kapan kamu buat kontrak itu?" tanya Dion.

"Saya suruh Linda yang bikin, sesuai arahan saya Pak dan sesuai persyaratan Pak Dion sendiri," jelas Hanif.

"Good job," puji Dion.

Nanda mengambil iPad milik Hanif, dia membaca detail kontrak pernikahan dan persyaratannya. Lagi-lagi dia diliputi kebingungan, kenapa dia harus membaca kontrak pernikahan sedangkan dia hanya OB bahkan dia belum setuju mau menikah dengan Dion.

"Bagaimana kamu mau menikah dengan saya tapi pernikahan kontrak?" tanya Dion penasaran.

"Kenapa Pak Dion memilih saya, padahal masih banyak wanita lain di luar sana yang mau," oceh Nanda cemberut.

"Lihat kebodohan kamu yang banyak tanya itu, alasan utama saya memilih kamu. Padahal sudah saya bilang dari kantor tadi kalau saya suka mental kamu yang kuat," terang Dion.

"Pertama kali kita bertemu, kamu tidak sok cantik, tidak tebar pesona terus melihat kontrak ini kamu tidak langsung setuju. Perlindungan diri kamu kuat dan fisik kamu cantik di pandangan saya. Kamu cocok jadi istri untuk saya tidurin tapi jangan takut kalau itu diperlukan," tambah Dion.

"Bapak pikir pernikahan itu main-main, pernikahan itu sakral. Dihidupkan dengan cinta dan kasih sayang bukan dengan uang. Kata Bapak tadi saya juga cocok jadi istri Bapak  terus ditidurin kalau diperlukan, istri bukan mayat hidup hanya menjadi pendamping raga. Mereka juga perlu cinta lahir batin," oceh Nanda kesal.

"Asal kamu tahu, bagi saya cinta itu menghancurkan kesetiaan dan kehidupan, menimbulkan luka dan pertengkaran, satu lagi membutakan akal. Makanya saya tidak mau terikat dengan cinta dalam pernikahan," balas Dion.

Nanda beranjak dari tempat duduknya, dia tidak terima perkataan Dion tentang cinta. Baginya cinta dan kasih sayang adalah lambang pernikahan, seperti kebahagiaan pernikahan Ayah dan Ibunya dulu. Terbayangkan dari wajah serampangan dan kata-kata Dion, menjadi istrinya penuh dengan aturan.

"Maaf saya permisi dulu," Nanda melangkah pergi tapi langsung dicegat Dion.

Mereka saling menatap lalu Nanda berusaha melepaskan genggaman Dion.

"Saya mohon kamu kembali duduk dulu," bujuk Dion rela menurunkan egonya di depan Nanda karena dia merasa butuh Nanda.

"Saya butuh kamu untuk menjadi istri saya, kamu juga butuh uang untuk melunasi semua hutang keluarga kamu." Tawaran Dion sedikit membuat pendirian Nanda goyah.

Namun Nanda kembali bersikeras untuk tidak tergiur dengan uang. Dia tetap membisu tidak merespons omongan Dion. Bagi Nanda, kurang masuk akal Isi kontrak pernikahan dengan Dion.

Kontraknya menikah selama satu tahun, tidur di kamar masing-masing, tidak saling menganggu kepentingan pribadi. Tidak boleh seenaknya pergi keluar rumah tanpa izin dan pamit. Tidak boleh masuk ke kamar tanpa izin. Tidak boleh mencampuri urusan masing-masing tanpa izin. Suami berhak atas kehidupan istri selama kontrak pernikahan.

“Saya mau tanya isi dari kontrak ini, suami berhak atas kehidupan istri maksudnya?” tanya Nanda.

“Pak Dion berhak mengambil keputusan tentang kehidupan kamu Nanda termasuk meniduri kamu tapi tidak mencampuri urusan pribadi kamu, misal masalah pertengkaran keluarga atau masalah kamu sama teman spesial kamu,” terang Hanif.

“Hah...!” Nanda terkaget akan tetapi dia lanjut bertanya.

“Isi kontrak satu lagi, ini di luar nalar. Jika waktunya memaksa suami berhak meniduri istri walaupun tanpa cinta sampai hamil dan punya anak. Betul-betul menguntungkan satu pihak saja,” sewot Nanda.

“Kontrak itu sepadan dengan bayaran yang kamu terima, kompensasi kamu nanti punya saham di perusahaan Pak Dion, punya unit apartemen mewah. Ruko beberapa pintu, tanah beberapa kavling dan sebuah rumah town house mewah. Hidup kamu terjamin kelak jika jadi istri dan punya anak dari Pak Dion,” terang Hanif.

Omongan Hanif meracuni pikirannya yang lurus. Dia juga ingin sekali punya banyak uang. Dia juga memikirkan Ayahnya yang tersiksa setiap hari ditagih rentenir. Setiap pulang ke rumah, Ayah dan Abangnya bahas hutang mereka. Nanda sangat jenuh, lebih-lebih mereka menuntut Nanda mencari pekerjaan lagi agar penghasilan mereka terus bertambah.

 “Hanif sudah beri tahu saya mengenai masalah keluarga kamu, latar belakang keluarga kamu, hutang keluarga kamu menumpuk dan lagi Abang kamu pembuat masalah,” timpal Dion.

Nanda merenung larut dengan kemalangannya, mendengar kompensasi besar dari Dion. Dia meneguk air liurnya seraya melihat pembayaran awal yang berjumlah ratusan juta dari Dion.

Namun Nanda perlu banyak pertimbangan, sama saja dia merelakan tubuhnya dan masa depannya.

"Pak, apakah saya berhak menolak tumpukkan uang sedangkan hidup saya saja sederhana dan penuh kekurangan uang. Keluarga saya juga terlilit hutang...." rintih Nanda termenung.

"Pak, apakah saya berhak punya harga diri sebagai perempuan sedangkan saya saja dihadapkan pilihan menikah sah secara agama dengan laki-laki terhormat, tapi kontrak lalu berpisah..." lanjut Nanda menyedihkan.

Hanif dan Dion hanya bisa tertegun kasihan mendengar cerita hidup dari Nanda dan tanpa bisa berkata-kata. Hidup Nanda memang penuh dengan pilihan yang susah.

“Saya sudah beberapa kali mau dijual sama Abang saya  untuk melunasi hutangnya, tapi Ayah saya menolong saya,” cerita Nanda lagi.

“Mending kamu menikah dengan saya daripada diri kamu dijual lagi sama Abang kamu. Menikah sama saya, jelas laki-laki kaya bisa mengangkat derajat kamu,” ceplos Dion.

"Menurut saya, pilihan menikah dengan Pak Dion adalah pilihan terbaik buat kamu saat ini. Masa depan kamu mungkin tidak secerah yang kamu bayangkan sekarang, sudah hancur tapi setidaknya kamu menikah secara agama dan hukum. Perceraian kelak tidak ada yang tahu. Kamu jadi janda dari orang kaya pun ada plus minusnya," Papar Hanif.

"Hidup berputar oleh waktu, masalah juga terjadi karena berputarnya waktu. Semua keputusan ada konsekuensinya dan juga ada sebab akibat," tambah Hanif.

"Saya dan Linda siap  jika kamu perlu sesuatu ataupun mintak bantuan apapun karena nanti kamu juga istri dari Pak Dion. Atasan saya juga," tambah Hanif lagi.

Dion mengacungkan jempolnya pada Hanif tanda kagum dengan omongan Hanif. Akhirnya pikiran Nanda mulai terbuka dan menerima saran Hanif, pikiran Nanda yang semula sempit dengan beban keluarganya.

Seketika ia sedikit bernafas lega. kemudian ia meraih pena di atas meja untuk menanda tangani surat kontrak pernikahan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status