Beranda / Romansa / Kontrak Hati Sang CEO / Bab 6 – Bayangan di Balik Warisan

Share

Bab 6 – Bayangan di Balik Warisan

Penulis: Yuna lys
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-07 10:30:35

Apartemen tempat tinggal Ayla dan Arka terasa lebih hening dari biasanya malam itu. Bukan karena tidak ada percakapan, melainkan karena keduanya sedang larut dalam pikiran masing-masing. Setelah obrolan emosional mereka malam sebelumnya, banyak hal yang belum sempat diurai. Tapi pagi ini, Ayla terbangun dengan perasaan berbeda. Lebih tenang... dan lebih kuat.

Saat ia keluar dari kamar, aroma kopi menyambutnya. Arka dengan kemeja putih dan lengan digulung hingga siku sedang menuangkan dua cangkir kopi.

“Kopi?” tanyanya tanpa menoleh.

Ayla menahan senyum kecil. “Tumben.”

“Aku ada rapat pagi ini. Sekalian buat kamu,” jawab Arka datar, tapi Ayla menangkap nada berbeda di ujung suaranya. Nada yang... perhatian.

Setelah sarapan singkat, mereka turun bersama ke lobby. Sopir sudah menunggu. Tapi sebelum masuk mobil, ponsel Arka berdering. Nama di layar membuatnya menghela napas panjang.

“Oma,” gumamnya. “Dia minta kita ke rumah sore nanti. Katanya penting.”

Ayla langsung menegang. “Penting gimana?” tanya Ayla hati-hati.

“Entahlah. Tapi kalau Oma yang bilang, biasanya nggak bisa ditolak.”

Sore harinya, mobil berhenti di halaman rumah besar bergaya kolonial di kawasan Menteng. Rumah itu terlihat seperti museum hidup penuh pilar besar, taman tertata rapi, dan aura kekuasaan yang tak bisa disangkal.

Ayla mengenakan blus krem polos dan rok panjang hitam. Sederhana tapi rapi. Ia berusaha menenangkan degup jantungnya saat Arka membuka pintu dan menggamit tangannya tanpa banyak bicara.

Suasana ruang makan besar di rumah Oma Ratna sore itu tampak elegan seperti biasa, dengan dekorasi klasik dan wangi melati yang samar tercium dari sudut ruangan. Jamuan keluarga besar memang rutin diadakan setiap dua minggu sekali, dan Ayla kini harus ikut sebagai bagian dari keluarga setidaknya di atas kertas.

Ayla duduk di sisi kanan Arka, berseberangan langsung dengan salah satu sepupu Arka yang dari awal sudah tampak tak ramah Tari, wanita karier muda yang dikenal tajam komentar dan mulutnya.

“Jadi kamu sekarang kerja di bagian administrasi ya?” tanya Tari dengan senyum samar yang tidak sampai ke mata.

“Iya, Kak. Baru dua minggu mulai,” jawab Ayla sopan.

“Wah, keren juga. Padahal aku pikir kamu bakal langsung jadi ibu rumah tangga aja setelah dinikahi Arka,” timpal sepupu lain, Fanny, sambil menyisipkan nada sinis.

Tawa ringan terdengar di antara mereka. Ayla tersenyum kecil, menahan diri. Ia sudah memperkirakan akan mendapat perlakuan seperti ini. Bagi keluarga Arka, ia tetap orang luar. Bahkan kehadirannya dianggap ganjalan.

“Setidaknya dia masih mau bekerja, daripada cuma duduk cantik dan boros belanja,” suara berat Oma Ratna memotong tiba-tiba.

Semua kepala menoleh ke arah wanita tua yang kini menyendokkan sayur ke piringnya tanpa ekspresi. Tapi suaranya membawa bobot yang langsung membungkam komentar nyinyir tadi.

“Tari, Fanny, kalian juga dulu kerja sambil kuliah, kan?” lanjut Oma, masih tajam. “Atau sekarang kalian pikir gelar keluarga besar Dirgantara bikin kalian lebih tinggi dari orang yang kerja keras?”

Tari menelan ludah, sementara Fanny pura-pura fokus memotong daging di piringnya.

Ayla hanya bisa menunduk, tidak tahu harus bersyukur atau gugup karena dibela oleh Oma Ratna langsung.

“Bagaimana di kantor, Ayla?” tanya Oma, kali ini langsung pada Ayla. Nada bicaranya masih datar, tapi mata tajamnya menatap lurus.

Ayla menegakkan tubuhnya sedikit. “Cukup baik, Oma. Saya masih banyak belajar. Tapi alhamdulillah, atasannya baik.”

“Bagus. Jangan manja. Perempuan kuat itu bukan yang banyak gaya, tapi yang bisa berdiri sendiri. Jangan cuma mengandalkan cucu saya.”

Arka melirik ke arah sang nenek, tapi tidak berkata apa-apa. Ia tahu, ini bentuk perhatian khas Oma Ratna. Pedas, tapi tulus.

Usai makan malam, sebagian keluarga mulai bubar dan berpamitan. Ayla berdiri untuk membantu membereskan gelas, tapi tangan Oma menyentuh pergelangan tangannya pelan.

“Duduk dulu. Biar pembantu beresin,” ucap Oma, lalu memberi isyarat agar yang lain pergi dulu. Beberapa anggota keluarga saling pandang, tapi memilih menurut.

Kini tinggal mereka bertiga di ruangan Arka, Ayla, dan Oma Ratna.

Oma menatap Ayla dalam diam beberapa detik. Lalu ia berkata pelan, “Kamu kuat, ya.”

Ayla terkejut. “Maaf, Oma?”

“Saya sudah lihat jenis perempuan macam kamu. Biasanya orang luar akan menyerah dalam dua minggu pertama. Tapi kamu masih duduk di sini dengan kepala tegak.”

Ayla menelan ludah. “Saya hanya berusaha menjalani, Oma.”

“Teruskan. Jangan tunggu mereka suka kamu. Itu sia-sia. Tapi buat mereka hormat. Dan itu hanya bisa didapat kalau kamu berdiri tegak, bukan menunduk.”

Arka diam. Tapi pandangannya pada Ayla sedikit berubah.

Oma kemudian berdiri, mengisyaratkan malam sudah selesai.

“Arka,” ucapnya tajam sebelum pergi, “kalau kamu bawa perempuan ke rumah ini, kamu jaga. Jangan biarkan dia dimakan keluarga kamu sendiri.”

Dan dengan langkah tenangnya, Oma Ratna berjalan keluar, meninggalkan Ayla yang tertegun dan Arka yang sedikit bingung menelan semua itu.

Untuk pertama kalinya… Ayla merasa, di tengah keluarga besar yang membencinya, ada satu sekutu yang tidak ia duga dan mungkin paling kuat dari semuanya.

Pagi di kantor seperti biasa dimulai dengan tumpukan berkas dan hiruk-pikuk suara keyboard. Ayla tiba lebih awal dari kebanyakan staf, seperti biasa. Ia memilih kesibukan sebagai cara melupakan tekanan dari keluarga Arka.

Namun pagi itu terasa berbeda.

Pandangan beberapa karyawan terutama di lantai tempat Arka berkantor terasa lebih tajam dari biasanya. Ada bisik-bisik yang mengarah padanya saat ia berjalan menuju ruangannya.

Ayla tak menggubris, meski perasaannya mulai tak enak.

Setengah jam kemudian, sebuah pesan masuk ke e-mail pribadinya. Judulnya singkat “Pantas Saja Cepat Naik”. Isinya anonim, tanpa nama pengirim, namun jelas-jelas ditujukan padanya.

"Ternyata memang benar kabar yang beredar. Pantes aja kamu bisa kerja langsung di kantor pusat, dan bukan di anak perusahaan. Semua karena kamu ‘istri bos’, ya? Hebat juga cara main kamu. Semangat terus, ya, Bu CEO.”

Ayla menelan ludah. Tangannya sedikit gemetar saat menutup e-mail itu. Tapi sebelum pikirannya benar-benar larut, ponselnya berbunyi. Nama Arka muncul di layar.

“Iya?” jawab Ayla pelan setelah memastikan tidak ada yang mendengar.

“Kamu masih di meja kamu?”

“Iya, kenapa?”

“Ke ruangan aku sekarang.”

Nada Arka terdengar serius. Tidak datar seperti biasa, tapi juga tidak marah. Ayla langsung berdiri dan berjalan ke ruangan CEO, beberapa pasang mata kembali mengarah padanya.

Begitu pintu tertutup, Arka langsung berdiri dari kursinya.

“Ada yang kirim ini ke aku juga,” katanya sambil menyerahkan ponselnya. Isi pesannya hampir sama hanya lebih vulgar. Tuduhan tentang Ayla tidur dengan CEO demi naik jabatan.

Ayla mengatupkan rahangnya. “Aku nggak tahu siapa yang kirim ini. Tapi aku nggak akan keluar dari sini cuma karena omongan orang, Arka.”

Arka menatapnya beberapa detik. “Aku tahu kamu nggak main curang. Tapi perusahaan ini keras. Orang-orang di dalamnya juga bisa lebih kejam dari keluargaku.”

Ayla mengangguk. “Aku nggak butuh semua orang suka aku. Tapi aku nggak mau dinilai nggak kompeten. Aku bisa kerja. Aku bisa buktikan.”

Arka terdiam. Ada sesuatu dalam tatapan Ayla yang terasa lebih kuat dari biasanya. Ia mengangguk singkat.

“Oke. Aku akan cari tahu siapa yang mulai sebarin gosip ini.”

Ayla mengangguk lagi. “Terima kasih. Tapi aku juga bisa urus ini sendiri. Asal jangan suruh aku keluar.”

“Kalau kamu keluar, aku rugi,” gumam Arka.

Ayla mengernyit. “Rugi?”

“Kontrak belum selesai. Dan… orang seperti kamu, lebih cocok di medan perang daripada disembunyiin.”

Kalimat itu membuat pipi Ayla sedikit hangat. Tapi ia cepat-cepat menunduk, kembali profesional.

“Baik, kalau nggak ada lagi, saya kembali kerja.”

Ayla berbalik, namun Arka tiba-tiba memanggil.

“Ayla.”

Ia berhenti.

“Kamu nggak sendirian. Di tempat ini atau di rumah. Kalau ada yang nyakitin kamu, ngomong.”

Ayla menoleh pelan. Pandangan mereka bertemu. Dan untuk beberapa detik… hanya diam yang berbicara.

“Aku ngerti,” bisiknya akhirnya.

Dan dengan langkah ringan namun tegap, Ayla kembali ke ruangannya berusaha terlihat biasa, meski isi hatinya mulai terasa berbeda.

Untuk pertama kalinya… Arka seperti benar-benar ada di pihaknya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kontrak Hati Sang CEO    Bab 17 – Malam yang Disorot

    Gedung Grand Seraya Ballroom berdiri megah di tengah pusat kota, seluruh fasadnya disinari lampu-lampu putih keemasan yang membuatnya tampak seperti istana dari cerita lama. Malam itu, parkirannya dipenuhi mobil-mobil mewah, dan karpet merah terbentang dari pintu masuk sampai lobi utama.Ayla berdiri di depan cermin apartemen, mengenakan gaun navy pilihan Oma Ratna. Rambutnya disanggul rapi, hanya beberapa helai dibiarkan jatuh lembut di sisi wajah. Riasannya tipis, elegan. Stylist yang dikirim Arka bekerja cepat dan profesional tapi tak ada yang bisa menenangkan gemuruh di dadanya.Ia menarik napas dalam-dalam, lalu keluar dari kamar.Arka sudah menunggunya di ruang tengah. Pria itu mengenakan setelan jas hitam dengan dasi berwarna senada dengan gaun Ayla. Saat melihat Ayla berjalan pelan ke arahnya, langkahnya terhenti.Mata mereka bertemu."Kamu… cocok banget sama warna itu," ucap Arka, singkat tapi tulus.Ayla tersenyum kecil

  • Kontrak Hati Sang CEO    Bab 16 - Di Balik Serangan

    Pagi itu, suasana di Dirgantara Group terlihat seperti biasa. Tapi di lantai 15, beberapa staf terlihat bergerak lebih cepat dari biasanya, membisikkan sesuatu sambil saling menunjukkan layar ponsel mereka. Ayla, yang baru saja turun dari lift, langsung menyadari perbedaan itu.Langkahnya terhenti sejenak saat melihat Cynthia berbicara dengan dua staf dari divisi lain wajah mereka serius, suara mereka tertahan. Begitu melihat Ayla mendekat, mereka langsung diam dan berpura-pura sibuk.Ayla tidak bereaksi. Ia melanjutkan langkahnya menuju ruang kerjanya. Namun sebelum sempat masuk, Cynthia memanggilnya."Ayla, Pak Arka minta kamu ke ruangannya sekarang."Nada suaranya seperti biasa, datar dan formal. Tapi mata Cynthia menatap dengan sorot berbeda lebih tajam dari biasanya.Ayla mengangguk pelan dan menuju ruang CEO. Saat ia membuka pintu, Arka sudah berdiri di depan layar besar yang menampilkan tangkapan layar dari beberapa situs berita da

  • Kontrak Hati Sang CEO    Bab 15 – Ujung Benang yang Mulai Tampak

    Keesokan harinya, kantor Dirgantara Corp lebih ramai dari biasanya. Ruang rapat dipenuhi agenda, dan lantai eksekutif dipenuhi lalu lalang staf senior. Suasana tegang tak terhindarkan, terutama setelah berita mengenai latar belakang Ayla beredar dan menjadi bahan gosip di berbagai kalangan internal.Namun, Ayla tetap datang tepat waktu. Mengenakan setelan sederhana berwarna abu lembut dan membawa map berisi pembaruan dokumen merger. Tatapannya lurus, langkahnya mantap, meski hatinya tetap waspada.Di meja pantry, beberapa staf hanya melirik lalu pura-pura sibuk. Tidak ada yang menyapa. Tidak ada yang terang-terangan mencibir. Tapi keheningan itu sudah cukup tajam untuk membuat napas terasa berat.Ayla memilih fokus. Ia masuk ke ruangannya dan langsung bekerja.Tak lama berselang, Cynthia masuk tanpa mengetuk. Wajahnya serius.“Ada rapat mendadak dengan PT Lathansa jam sebelas. Di ruang video conference lantai atas. Pak Arka minta kamu iku

  • Kontrak Hati Sang CEO    Bab 14 – Tetap Bertahan

    Pagi itu, Ayla berjalan memasuki kantor dengan kepala tegak, meski langkahnya terasa berat. Sejak berita tentang masa lalu kakaknya tersebar, tatapan orang-orang di sekitarnya berubah. Tak ada lagi bisik-bisik mereka terang-terangan, tapi atmosfer itu terasa seperti kabut tipis yang menyelimuti setiap sudut ruangan. Dingin. Sunyi. Menghakimi.Namun ia tak berpaling. Ia datang bukan untuk mencari pengakuan, tapi untuk membuktikan bahwa ia masih bisa berdiri.Ketika lift terbuka di lantai tujuh, beberapa staf yang sedang menunggu langsung berpura-pura sibuk dengan ponsel mereka. Ayla menahan napas, menyapa mereka dengan senyum tipis yang tak mendapat balasan.Di ruang kerjanya, ia langsung tenggelam dalam tumpukan dokumen merger yang semakin kompleks. Arka belum tampak sejak pagi. Biasanya pria itu akan menyempatkan muncul untuk menanyakan laporan atau sekadar memberi arahan. Tapi hari ini, tidak ada kabar.Saat waktu menunjukkan pukul 10.15, sebuah

  • Kontrak Hati Sang CEO    Bab 13 – Luka yang Tak Sempat Pulih

    Pagi itu langit Jakarta mendung, seolah mencerminkan isi hati Ayla yang berat. Sudah dua hari sejak pemberitaan itu mencuat, dan meski kantor terlihat seperti biasa, Ayla tahu ombak tidak selalu datang dengan suara besar. Kadang hanya lewat tatapan dan gumaman halus yang memotong seperti pisau. Saat Ayla menyalakan komputer, notifikasi email masuk beruntun. Salah satunya dari tim PR internal. Kepada: Ayla Ramadhani Kami mendapat pertanyaan dari mitra kerja PT Lathansa terkait pemberitaan yang beredar. Kami akan segera mengatur klarifikasi tertulis. Mohon kerja samanya untuk tetap tenang dan tidak membuat pernyataan ke media tanpa seizin tim PR. Ayla membaca ulang pesan itu, lalu menarik napas panjang. Bukan karena isi emailnya tapi karena ia tahu, ini baru awal. Berita itu mulai menyentuh luar tembok kantor. Dan sekali nama seseorang dikaitkan dengan skandal, stempel itu sulit terhapus. Pukul 10.00 pagi, Cynthia datang menghampirinya di ruang kerja bersama. “Kamu dipanggil Pak A

  • Kontrak Hati Sang CEO    Bab 12 – Riuh yang Tak Terucap

    Pagi itu kantor seperti sarang lebah. Semua terlihat sibuk, tapi jelas bukan karena pekerjaan saja. Ada kegelisahan samar yang beredar di udara bisik-bisik yang ditahan, pandangan yang terlalu cepat dialihkan saat Ayla lewat.Ayla melangkah masuk ke lantai 7, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana bahan hitam. Wajahnya tenang, tapi kedua tangannya mengepal di balik tas.Ia tahu hari ini akan berat.Begitu sampai di ruangannya, ia langsung menyalakan laptop dan menatap layar kosong. Tapi fokusnya sulit dikumpulkan. Beberapa menit kemudian, suara langkah tergesa menghampiri.“Ayla.” Cynthia muncul di ambang pintu, kali ini dengan wajah serius, bukan sinis seperti biasanya. “Pak Arka mau bicara sekarang. Di ruangannya.”Ayla berdiri. Napasnya dalam. Jantungnya berdetak lebih cepat saat menapaki lift menuju lantai 20, ruangan CEO. Ia belum tahu akan dihadapkan pada strategi... atau keputusan.Begitu pintu lift terbuka, Arka sud

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status