Apartemen tempat tinggal Ayla dan Arka terasa lebih hening dari biasanya malam itu. Bukan karena tidak ada percakapan, melainkan karena keduanya sedang larut dalam pikiran masing-masing. Setelah obrolan emosional mereka malam sebelumnya, banyak hal yang belum sempat diurai. Tapi pagi ini, Ayla terbangun dengan perasaan berbeda. Lebih tenang... dan lebih kuat.
Saat ia keluar dari kamar, aroma kopi menyambutnya. Arka dengan kemeja putih dan lengan digulung hingga siku sedang menuangkan dua cangkir kopi. “Kopi?” tanyanya tanpa menoleh. Ayla menahan senyum kecil. “Tumben.” “Aku ada rapat pagi ini. Sekalian buat kamu,” jawab Arka datar, tapi Ayla menangkap nada berbeda di ujung suaranya. Nada yang... perhatian. Setelah sarapan singkat, mereka turun bersama ke lobby. Sopir sudah menunggu. Tapi sebelum masuk mobil, ponsel Arka berdering. Nama di layar membuatnya menghela napas panjang. “Oma,” gumamnya. “Dia minta kita ke rumah sore nanti. Katanya penting.” Ayla langsung menegang. “Penting gimana?” tanya Ayla hati-hati. “Entahlah. Tapi kalau Oma yang bilang, biasanya nggak bisa ditolak.” Sore harinya, mobil berhenti di halaman rumah besar bergaya kolonial di kawasan Menteng. Rumah itu terlihat seperti museum hidup penuh pilar besar, taman tertata rapi, dan aura kekuasaan yang tak bisa disangkal. Ayla mengenakan blus krem polos dan rok panjang hitam. Sederhana tapi rapi. Ia berusaha menenangkan degup jantungnya saat Arka membuka pintu dan menggamit tangannya tanpa banyak bicara. Suasana ruang makan besar di rumah Oma Ratna sore itu tampak elegan seperti biasa, dengan dekorasi klasik dan wangi melati yang samar tercium dari sudut ruangan. Jamuan keluarga besar memang rutin diadakan setiap dua minggu sekali, dan Ayla kini harus ikut sebagai bagian dari keluarga setidaknya di atas kertas. Ayla duduk di sisi kanan Arka, berseberangan langsung dengan salah satu sepupu Arka yang dari awal sudah tampak tak ramah Tari, wanita karier muda yang dikenal tajam komentar dan mulutnya. “Jadi kamu sekarang kerja di bagian administrasi ya?” tanya Tari dengan senyum samar yang tidak sampai ke mata. “Iya, Kak. Baru dua minggu mulai,” jawab Ayla sopan. “Wah, keren juga. Padahal aku pikir kamu bakal langsung jadi ibu rumah tangga aja setelah dinikahi Arka,” timpal sepupu lain, Fanny, sambil menyisipkan nada sinis. Tawa ringan terdengar di antara mereka. Ayla tersenyum kecil, menahan diri. Ia sudah memperkirakan akan mendapat perlakuan seperti ini. Bagi keluarga Arka, ia tetap orang luar. Bahkan kehadirannya dianggap ganjalan. “Setidaknya dia masih mau bekerja, daripada cuma duduk cantik dan boros belanja,” suara berat Oma Ratna memotong tiba-tiba. Semua kepala menoleh ke arah wanita tua yang kini menyendokkan sayur ke piringnya tanpa ekspresi. Tapi suaranya membawa bobot yang langsung membungkam komentar nyinyir tadi. “Tari, Fanny, kalian juga dulu kerja sambil kuliah, kan?” lanjut Oma, masih tajam. “Atau sekarang kalian pikir gelar keluarga besar Dirgantara bikin kalian lebih tinggi dari orang yang kerja keras?” Tari menelan ludah, sementara Fanny pura-pura fokus memotong daging di piringnya. Ayla hanya bisa menunduk, tidak tahu harus bersyukur atau gugup karena dibela oleh Oma Ratna langsung. “Bagaimana di kantor, Ayla?” tanya Oma, kali ini langsung pada Ayla. Nada bicaranya masih datar, tapi mata tajamnya menatap lurus. Ayla menegakkan tubuhnya sedikit. “Cukup baik, Oma. Saya masih banyak belajar. Tapi alhamdulillah, atasannya baik.” “Bagus. Jangan manja. Perempuan kuat itu bukan yang banyak gaya, tapi yang bisa berdiri sendiri. Jangan cuma mengandalkan cucu saya.” Arka melirik ke arah sang nenek, tapi tidak berkata apa-apa. Ia tahu, ini bentuk perhatian khas Oma Ratna. Pedas, tapi tulus. Usai makan malam, sebagian keluarga mulai bubar dan berpamitan. Ayla berdiri untuk membantu membereskan gelas, tapi tangan Oma menyentuh pergelangan tangannya pelan. “Duduk dulu. Biar pembantu beresin,” ucap Oma, lalu memberi isyarat agar yang lain pergi dulu. Beberapa anggota keluarga saling pandang, tapi memilih menurut. Kini tinggal mereka bertiga di ruangan Arka, Ayla, dan Oma Ratna. Oma menatap Ayla dalam diam beberapa detik. Lalu ia berkata pelan, “Kamu kuat, ya.” Ayla terkejut. “Maaf, Oma?” “Saya sudah lihat jenis perempuan macam kamu. Biasanya orang luar akan menyerah dalam dua minggu pertama. Tapi kamu masih duduk di sini dengan kepala tegak.” Ayla menelan ludah. “Saya hanya berusaha menjalani, Oma.” “Teruskan. Jangan tunggu mereka suka kamu. Itu sia-sia. Tapi buat mereka hormat. Dan itu hanya bisa didapat kalau kamu berdiri tegak, bukan menunduk.” Arka diam. Tapi pandangannya pada Ayla sedikit berubah. Oma kemudian berdiri, mengisyaratkan malam sudah selesai. “Arka,” ucapnya tajam sebelum pergi, “kalau kamu bawa perempuan ke rumah ini, kamu jaga. Jangan biarkan dia dimakan keluarga kamu sendiri.” Dan dengan langkah tenangnya, Oma Ratna berjalan keluar, meninggalkan Ayla yang tertegun dan Arka yang sedikit bingung menelan semua itu. Untuk pertama kalinya… Ayla merasa, di tengah keluarga besar yang membencinya, ada satu sekutu yang tidak ia duga dan mungkin paling kuat dari semuanya. Pagi di kantor seperti biasa dimulai dengan tumpukan berkas dan hiruk-pikuk suara keyboard. Ayla tiba lebih awal dari kebanyakan staf, seperti biasa. Ia memilih kesibukan sebagai cara melupakan tekanan dari keluarga Arka. Namun pagi itu terasa berbeda. Pandangan beberapa karyawan terutama di lantai tempat Arka berkantor terasa lebih tajam dari biasanya. Ada bisik-bisik yang mengarah padanya saat ia berjalan menuju ruangannya. Ayla tak menggubris, meski perasaannya mulai tak enak. Setengah jam kemudian, sebuah pesan masuk ke e-mail pribadinya. Judulnya singkat “Pantas Saja Cepat Naik”. Isinya anonim, tanpa nama pengirim, namun jelas-jelas ditujukan padanya. "Ternyata memang benar kabar yang beredar. Pantes aja kamu bisa kerja langsung di kantor pusat, dan bukan di anak perusahaan. Semua karena kamu ‘istri bos’, ya? Hebat juga cara main kamu. Semangat terus, ya, Bu CEO.” Ayla menelan ludah. Tangannya sedikit gemetar saat menutup e-mail itu. Tapi sebelum pikirannya benar-benar larut, ponselnya berbunyi. Nama Arka muncul di layar. “Iya?” jawab Ayla pelan setelah memastikan tidak ada yang mendengar. “Kamu masih di meja kamu?” “Iya, kenapa?” “Ke ruangan aku sekarang.” Nada Arka terdengar serius. Tidak datar seperti biasa, tapi juga tidak marah. Ayla langsung berdiri dan berjalan ke ruangan CEO, beberapa pasang mata kembali mengarah padanya. Begitu pintu tertutup, Arka langsung berdiri dari kursinya. “Ada yang kirim ini ke aku juga,” katanya sambil menyerahkan ponselnya. Isi pesannya hampir sama hanya lebih vulgar. Tuduhan tentang Ayla tidur dengan CEO demi naik jabatan. Ayla mengatupkan rahangnya. “Aku nggak tahu siapa yang kirim ini. Tapi aku nggak akan keluar dari sini cuma karena omongan orang, Arka.” Arka menatapnya beberapa detik. “Aku tahu kamu nggak main curang. Tapi perusahaan ini keras. Orang-orang di dalamnya juga bisa lebih kejam dari keluargaku.” Ayla mengangguk. “Aku nggak butuh semua orang suka aku. Tapi aku nggak mau dinilai nggak kompeten. Aku bisa kerja. Aku bisa buktikan.” Arka terdiam. Ada sesuatu dalam tatapan Ayla yang terasa lebih kuat dari biasanya. Ia mengangguk singkat. “Oke. Aku akan cari tahu siapa yang mulai sebarin gosip ini.” Ayla mengangguk lagi. “Terima kasih. Tapi aku juga bisa urus ini sendiri. Asal jangan suruh aku keluar.” “Kalau kamu keluar, aku rugi,” gumam Arka. Ayla mengernyit. “Rugi?” “Kontrak belum selesai. Dan… orang seperti kamu, lebih cocok di medan perang daripada disembunyiin.” Kalimat itu membuat pipi Ayla sedikit hangat. Tapi ia cepat-cepat menunduk, kembali profesional. “Baik, kalau nggak ada lagi, saya kembali kerja.” Ayla berbalik, namun Arka tiba-tiba memanggil. “Ayla.” Ia berhenti. “Kamu nggak sendirian. Di tempat ini atau di rumah. Kalau ada yang nyakitin kamu, ngomong.” Ayla menoleh pelan. Pandangan mereka bertemu. Dan untuk beberapa detik… hanya diam yang berbicara. “Aku ngerti,” bisiknya akhirnya. Dan dengan langkah ringan namun tegap, Ayla kembali ke ruangannya berusaha terlihat biasa, meski isi hatinya mulai terasa berbeda. Untuk pertama kalinya… Arka seperti benar-benar ada di pihaknya.Pagi berikutnya, Arka memasuki ruang rapat utama Dirgantara Group dengan langkah mantap. Rautnya tegas, tapi di matanya ada sedikit kelelahan yang tak bisa ia sembunyikan. Ia tahu, agenda rapat kali ini akan menguras energi pembahasan lanjutan pasca-merger, sekaligus menanggapi rumor yang sedang beredar.Begitu ia duduk di kursi ujung meja, beberapa direksi langsung saling bertukar pandang. Ada yang menatapnya penuh harap, ada juga yang ragu-ragu. Arka bisa merasakan suhu ruangan yang lebih dingin dari biasanya bukan karena AC, tapi karena ketidakpercayaan yang diam-diam menular.“Baik, kita mulai,” ucap Arka singkat. Suaranya jernih, tak memberi ruang untuk spekulasi.Sementara itu, di rumah, Ayla kembali menatap deretan email yang masuk. Beberapa dari mereka berisi permintaan konfirmasi dari media, tapi ada satu yang membuat napasnya tercekat undangan talkshow nasional dengan tema ‘Wanita di Balik Sukses Seorang CEO’.Ia membaca ulang pesan itu. Kata-katanya manis, menawarkan panggu
Pagi itu, ruang pantry kantor Dirgantara Group ramai seperti biasa. Tapi kali ini bukan karena kopi pagi atau sarapan roti dari vendor langganan. Suasana justru dipenuhi dengan bisik-bisik pelan, tatapan sinis, dan tawa setengah teredam saat Ayla lewat membawa map di tangannya."Katanya sih gara-gara dekat sama CEO, bisa langsung naik jabatan," bisik salah satu karyawan perempuan yang berdiri dekat dispenser air."Ya gimana enggak? Lihat aja, cantik, lembut, gampang dikendalikan CEO pasti seneng yang kayak gitu," timpal yang lain dengan senyum penuh sindiran.Ayla mendengar semuanya, tapi langkahnya tetap tenang. Ia hanya menunduk sedikit, menghela napas dalam, lalu terus berjalan tanpa menoleh. Tapi jauh di dalam, hatinya mulai terasa sesak.Rasanya seperti kembali ke masa SMA ketika kabar tentang keluarganya mulai tersebar dan ia jadi bahan gosip. Tapi sekarang jauh lebih rumit, karena bukan hanya harga dirinya yang dipertaruhkan… melainkan karier dan masa depannya juga.Sesampainya
Keesokan paginya, suasana kantor terasa lebih dingin dari biasanya. Sejak pagi, semua mata seolah menatap Ayla dengan bisik-bisik tak kasat mata. Ia tahu, efek dari berita kemarin masih bergema.Ayla melangkah ke mejanya dengan kepala tegak. Ia menyalakan laptop, membuka agenda kerja, dan berusaha bersikap seperti biasa. Tapi tangan dinginnya tak bisa menyembunyikan kegelisahan yang menyelimuti hatinya.“Besty…” Cynthia muncul dengan dua gelas kopi.“Darurat double shot espresso?” Ayla menyambut cangkir itu dengan senyum tipis.Cynthia duduk di kursi sebelahnya. “Aku barusan denger, beberapa orang dari tim merger mulai raguin posisi kamu.”Ayla menoleh cepat. “Siapa?”“Dwi, si analis keuangan, dan satu orang dari legal tim Naira. Mereka ngomongin kamu di pantry tadi. Kayak... mempertanyakan kenapa kamu masih ikut koordinasi merger, padahal posisimu ‘hanya staf’.”Ayla menatap kosong ke depan. Rasanya tak adil, setelah kerja kerasnya, semua diruntuhkan hanya karena satu gosip dan masa
Ayla menatap pantulan wajahnya di cermin kamar mandi kantor. Matanya sedikit sembap, tapi ia memaksa bibirnya tersenyum. Tak ada waktu untuk terlihat rapuh. Terutama setelah semalam Arka menunjukkan bahwa masa lalu betapapun pahitnya selalu punya cara datang kembali.Pagi itu, suasana kantor Dirgantara Group terasa berbeda. Bisik-bisik kecil menyebar cepat, seperti embusan angin yang membawa kabar Investor baru yang cantik itu punya hubungan masa lalu dengan CEO.Ayla melangkah cepat melewati lorong, menolak menanggapi tatapan penasaran dari beberapa karyawan yang dengan sengaja menoleh dua kali saat ia lewat. Ia tidak buta. Ia tahu bagaimana dunia kerja sering kali kejam pada wanita, terutama yang dianggap ‘naik pangkat’ karena koneksi pribadi.Sampai akhirnya suara familiar menghentikannya.“Ayla, sebentar,” ujar Cynthia sambil berjalan menghampiri dengan berkas di tangan.Ayla menoleh. “Ada yang perlu saya tandatangani?”Cynth
Udara Jakarta terasa lebih lembap dari biasanya. Di dalam ruang rapat utama Dirgantara Group, para eksekutif dan staf sudah menempati tempat masing-masing untuk membahas presentasi proyek terbaru proyek yang akan menentukan arah merger strategis ke depan.Ayla duduk di barisan kedua, mencatat sambil sesekali mencuri pandang ke arah Arka yang tengah memimpin rapat. Sikap Arka tetap tenang dan profesional, seolah tidak tergoyahkan oleh berita yang sedang ramai di luar sana tentang kembalinya Naira Maheswari.Namun semua berubah saat pintu ruang rapat terbuka.“Maaf, saya terlambat. Ada sedikit kendala lalu lintas,” ucap suara lembut namun tegas dari arah pintu.Semua mata menoleh.Ayla membeku.Wanita itu melangkah masuk dengan anggun, mengenakan blazer krem dipadukan celana panjang putih dan rambut panjang yang disisir rapi ke belakang. Senyumnya ramah, tapi dingin. Sorot matanya menyapu ruangan, lalu berhenti pada Arka.
Malam itu, apartemen Arka terasa lebih hening dari biasanya. Tak ada suara televisi, tak ada denting gelas dari dapur, hanya detak jam di dinding yang terdengar samar. Ayla duduk di sofa ruang tamu, mengenakan sweater hangat dan rambut digulung seadanya. Matanya sesekali menoleh ke arah pintu, menunggu Arka yang berjanji akan bicara jujur malam ini.Dan ketika suara pintu terbuka, Ayla menegakkan tubuhnya. Arka masuk dengan langkah berat. Wajahnya tampak lelah, tapi lebih dari itu ada semacam tekanan emosional yang tak bisa ia sembunyikan.Tanpa banyak basa-basi, ia meletakkan map kerja di meja dan duduk di seberangnya.“Aku pernah bertunangan,” Arka memulai.Ayla hanya diam, menunggu kelanjutannya.“Namanya Naira Maheswari. Anak tunggal dari salah satu pengusaha properti besar di Jakarta. Kami dijodohkan bukan karena cinta, tapi karena aliansi bisnis antara keluarga Dirgantara dan Maheswari.”Ayla tak kaget, tapi tetap tersentak. Ia menyimak, mencoba tetap netral.“Awalnya aku pikir,