Share

Bab 5 (Pekerjaan)

Author: Black_v
last update Last Updated: 2025-10-08 10:12:09

Xelio akhirnya mundur beberapa langkah sambil mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. Ia tahu, jika terus menggoda Jonathan, suasana kantor bisa berubah dingin seperti lemari es.

“Baiklah, baiklah, aku pergi dulu. Tapi jangan lupa, makan siang nanti kau traktir aku. Anggap saja hadiah karena aku tidak datang ke pesta pernikahanmu,” ucap Xelio santai sebelum melangkah keluar dari ruangan.

Jonathan hanya mendengus pelan tanpa menatap sahabatnya itu. “Keluar,” katanya singkat, tanpa menoleh sedikit pun dari layar laptopnya.

Begitu pintu menutup, ruangan kembali sunyi. Hanya suara ketikan cepat di keyboard yang terdengar. Wajah Jonathan datar, tetapi sorot matanya tajam — seperti ada beban yang ia simpan di balik ketenangan itu.

Alex, sekretarisnya yang setia, berdiri di dekat meja kerja sambil membawa beberapa berkas tambahan. “Tuan, ini laporan keuangan untuk proyek di Singapura. Perlu saya jadwalkan meeting dengan tim keuangan sore ini?” tanya Alex hati-hati.

Jonathan mengangguk tanpa menatapnya. “Jam empat. Pastikan semuanya lengkap. Aku tidak ingin ada kesalahan kecil pun.”

“Baik, Tuan,” jawab Alex cepat, kemudian keluar meninggalkan ruangan.

Begitu sendirian, Jonathan menyandarkan tubuhnya di kursi kerja, menatap jendela besar di sisi ruangan. Dari sana, ia bisa melihat langit biru dan hiruk pikuk kota Jakarta di bawah sana.

Namun, pikirannya justru melayang ke tempat lain — ke apartemen yang kini ditempati Alya.

Wajah datar itu perlahan mengeras, bibirnya terkatup rapat. “Semoga saja dia tidak membuat masalah,” gumamnya dingin.

Sementara itu, tangan kirinya tanpa sadar menggenggam pena dengan kuat. Ada perasaan yang tak bisa ia jelaskan — entah jengkel, tak nyaman, atau mungkin... takut kehilangan kendali atas sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami.

Di sisi lain, ponselnya bergetar.

Sebuah pesan masuk dari Xelio:

> “Kau boleh pura-pura dingin, tapi aku yakin kau mulai terpengaruh oleh istrimu itu. Hati-hati, bro, kadang yang kita benci justru yang paling sulit kita abaikan.”

Jonathan menatap layar itu lama.

Detik berikutnya, ia mematikan ponselnya dan kembali bekerja — seolah pesan itu tak berarti apa-apa.

bagi Jonathan Alya tak. lebih bencana yang datang didalam. kehidupan nya yang damai.

....

Tak terasa matahari mulai naik tinggi. Jarum jam menunjukkan pukul setengah dua siang ketika Alya masih duduk di balkon apartemen Jonathan, dengan laptop terbuka di hadapannya. Angin siang yang lembut sesekali berhembus, membuat helaian rambutnya menari pelan di bahunya. Di meja kecil di sampingnya, segelas squash melon buatan tangannya sendiri tampak berembun segar.

“Kayaknya aku bisa coba buat naskah novel aja dulu deh…” gumam Alya sambil menatap layar laptopnya yang penuh dengan coretan ide dan draf awal.

“Soalnya kalau nulis naskah drama tuh bingung mau diajukan ke mana. Lagian aku kan masih pemula,” lanjutnya dengan nada berpikir keras.

Ia menghela napas panjang, lalu mengetik beberapa baris kata di lembar kerja barunya.

“Oke, Alya… gini aja,” ucapnya pelan, seperti sedang memotivasi diri sendiri.

Jari-jarinya mulai menari di atas keyboard. Ia membuat cover concept sederhana, menentukan judul sementara, lalu menyusun outline cerita yang ingin ia kembangkan. Meskipun sederhana, Alya tampak serius — matanya fokus, sesekali tersenyum kecil saat menemukan alur yang menarik.

Setelah hampir satu jam, ia menyandarkan tubuhnya di kursi dan menatap layar laptopnya dengan puas.

“Lumayan juga. Tapi… aku gak bisa hanya kerja di sini aja,” ujarnya pelan. “Aku juga harus punya pemasukan harian. Kalau terus begini, uang tabungan bisa habis.”

Ia menggigit ujung sedotan minumannya sambil berpikir keras. “Apa aku coba tanya Ririn aja, ya?” gumamnya kemudian.

Ririn adalah sahabat Alya sejak SMP — gadis ceria, supel, dan kini bekerja di perusahaan besar. Mereka jarang bertemu karena kesibukan masing-masing, tapi komunikasi lewat pesan tetap terjaga. Tanpa pikir panjang, Alya mengambil ponselnya dan mulai mengetik pesan.

> “Ririn, kamu tahu gak ada lowongan kerja part time atau harian? Aku butuh tambahan penghasilan nih.”

Tak butuh waktu lama, pesan balasan pun datang.

> “Babe, coba tanya Riko deh. Semalam dia bilang lagi cari staf buat kafenya. Katanya sistem gajinya fleksibel, bisa pilih mau harian atau mingguan.”

Alya tersenyum kecil membaca pesan itu.

> “Oke, makasih banget infonya, sayangku,” balas Alya cepat.

> “Sama-sama, semangat ya!” balas Ririn lagi dengan emoji semangat di akhir pesannya.

Tanpa menunda waktu, Alya segera mengirim pesan pada Riko — saudara kembar Ririn yang ia juga kenal baik. Riko lebih pendiam dan cuek dibanding Ririn, tapi Alya tahu, di balik sikap dinginnya, Riko orang yang bisa diandalkan.

> “Riko, kata Ririn kamu lagi cari pegawai buat kafe, ya? Masih ada lowongan gak buat aku?” tulis Alya singkat.

Tak lama kemudian, notifikasi ponselnya berbunyi.

> “Ada. Besok datang aja ke lokasi yang gue share.”

Alya langsung tersenyum lega.

> “Makasih banget, Riko!” balasnya cepat.

Namun, seperti biasa, Riko tak menjawab lagi. Alya hanya tertawa kecil. Ia sudah terbiasa dengan sifat dingin pria itu — cuek tapi selalu menepati kata-katanya.

“Syukurlah… setidaknya besok aku udah punya arah. Semoga aja keterima,” ucap Alya lirih, menatap langit biru yang kini mulai diselimuti sinar sore.

Gadis itu menutup laptopnya, mengambil gelas squash melon, lalu meneguk sisa minumannya sambil tersenyum kecil. Dalam hatinya, tumbuh secuil semangat baru.

Mungkin, perlahan-lahan, kehidupannya akan mulai berubah.

...

Ngomong-ngomong soal kehidupan barunya, sampai detik ini kedua sahabat Alya—Ririn dan Riko—belum tahu kalau ia sebenarnya sudah menikah. Bukan karena Alya sengaja menyembunyikannya, tapi karena memang semuanya terjadi begitu cepat dan mendadak. Lagi pula, ia baru beberapa bulan pindah ke kota ini, masih beradaptasi dengan lingkungan baru yang terasa asing baginya.

Alya berasal dari keluarga sederhana di kampung kecil di pinggiran kota. Ia tumbuh dengan nilai-nilai kesederhanaan, terbiasa hidup pas-pasan namun bahagia. Sementara Ririn dan Riko, meski juga berasal dari kampung yang sama, keduanya beruntung memiliki koneksi dan kenalan di kota. Itu sebabnya mereka bisa lebih cepat meniti karier di tempat baru.

Ririn bekerja di perusahaan swasta ternama, sementara Riko memilih jalur yang berbeda. Lelaki itu melanjutkan usaha kafe milik pamannya yang cukup terkenal di kawasan tengah kota. Meski begitu, Alya tahu kalau bisnis itu bukan sepenuhnya milik Riko — ia hanya meneruskan sekaligus belajar mengelola, agar suatu hari nanti bisa memiliki usahanya sendiri.

Alya duduk di tepi tempat tidur, menatap jari manisnya yang kini tersemat cincin pernikahan berwarna perak lembut. Cincin itu tampak berkilau diterpa sinar sore yang masuk dari jendela kamar apartemen.

“Masih gak nyangka… di umur dua puluh tahun aku udah nikah,” gumamnya lirih.

Nada suaranya terdengar campur aduk — antara tidak percaya, lelah, dan sedikit getir. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang kembali dipenuhi bayangan wajah Jonathan dengan tatapan dinginnya.

“Gak apa-apa, Alya… cuma satu tahun kok,” ucapnya lagi, seolah meyakinkan diri sendiri.

Ia tahu, pernikahannya dengan Jonathan hanyalah sebuah kesepakatan — sebuah kontrak. Tidak ada cinta, tidak ada kasih sayang, hanya tanggung jawab dan balas budi. Namun meski begitu, Alya bertekad untuk menjalaninya dengan sebaik mungkin. Setidaknya, ia tidak ingin mempermalukan nenek Rosa yang sudah begitu baik padanya.

Alya menatap bayangan dirinya di cermin besar yang berdiri di pojok ruangan. Rambut hitamnya terurai seadanya, sedikit berantakan karena angin. Kacamata bulat besar bertengger di wajah mungilnya, menutupi sebagian keindahan matanya yang sebenarnya lembut dan teduh.

“Kalau aku bisa berdandan sedikit aja… mungkin aku gak bakal kelihatan kayak anak kampung,” katanya sambil tersenyum miris.

Padahal, kalau saja Alya mau merapikan poni, mengganti gaya rambutnya, dan melepas kacamata itu, pesonanya akan terlihat dengan jelas. Ia memiliki kulit bersih, hidung mungil yang manis, serta senyum yang mampu menenangkan hati siapa pun yang melihatnya. Tapi sayangnya, semua itu tertutupi oleh kesederhanaannya — dan kenyataan bahwa ia bahkan tak punya cukup uang untuk sekadar merawat diri.

Ia menghela napas panjang dan menatap cincin di jarinya sekali lagi.

“Aku harus kuat,” ujarnya mantap. “Apapun yang terjadi, aku gak boleh nyerah. Setahun ini harus aku lewati dengan kepala tegak.”

Dengan semangat yang mulai tumbuh kembali, Alya menutup laptopnya dan menyiapkan diri untuk hari esok — hari di mana ia akan mencoba peruntungan baru di kafe milik Riko.

Bersambung....

.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kontrak Nikah dengan CEO Kejam   Bab 13 ( Bebal )

    Alya yang baru saja membuka pintu apartemen itu langsung terdiam kaku. Matanya membulat sedikit ketika melihat Jonathan duduk di ruang televisi, tampak masih mengenakan kemeja santai dengan lengan tergulung dan ekspresi dingin yang sulit ditebak. Televisi di hadapannya menyala, menampilkan berita malam, namun jelas bahwa fokus lelaki itu bukan pada layar—melainkan pada dirinya.Langkah Alya sempat tertahan di depan pintu. Ia bingung, harus menyapa atau pura-pura tidak melihat. Dalam hatinya, ia bahkan berdebat dengan diri sendiri. Ia malas menegur, takut dianggap mencari perhatian. Tapi jika diam saja, bisa-bisa Jonathan menuduhnya tidak sopan.“Jam sepuluh malam lewat baru pulang?” suara Jonathan memecah keheningan. Nada suaranya datar tapi menusuk, cukup membuat suasana apartemen terasa tegang.Alya menunduk sesaat. Ia mencoba menenangkan diri, menata napas sebelum akhirnya mengangkat wajah dan memberanikan diri menatap suami kontraknya itu.“Dalam kontrak tidak ada larangan tentang

  • Kontrak Nikah dengan CEO Kejam   Bab 12 ( Pria Aneh)

    Hari ini sedikit berbeda dari biasanya.Jonathan yang selama ini selalu pulang larut malam—kadang lewat dari pukul sepuluh, bahkan mendekati tengah malam—kali ini memutuskan untuk pulang lebih cepat. Entah apa alasannya, mungkin karena pekerjaannya sudah selesai lebih awal, atau mungkin karena pikirannya terlalu lelah untuk terus bergulat di kantor.Langit di luar jendela mulai berubah warna; jingga senja perlahan menelan biru langit sore, menyisakan bayangan-bayangan panjang di jalanan kota. Saat mobil hitam mewahnya berhenti di depan gedung apartemen, jarum jam di dashboard menunjukkan pukul enam tepat.Begitu pintu lift terbuka di lantai paling atas, langkah Jonathan terdengar mantap namun berat. Sepatu kulitnya menimbulkan gema halus di lantai marmer yang mengilap. Ia menempelkan kartu akses ke panel pintu, dan dalam sekejap, pintu apartemen terbuka otomatis.Begitu masuk, suasana hening langsung menyambutnya. Tidak ada suara, tidak ada aroma masakan, tidak ada siapa pun yang meny

  • Kontrak Nikah dengan CEO Kejam   Bab 11 ( Tersenyum )

    Setelah pertemuannya di restoran beberapa hari lalu, Alya merasa jauh lebih tenang. Beban berat yang selama ini menekan dadanya perlahan terangkat setelah Bibi Grace mengetahui seluruh kebenaran tentang pernikahannya dengan Jonathan. Awalnya, wanita paruh baya itu sempat terkejut dan merasa kecewa membaca isi kontrak pernikahan mereka. Namun setelah tahu bahwa Jonathan sendirilah yang memulai semuanya, rasa kecewanya berubah menjadi iba. Ia bisa memahami posisi Alya—gadis polos yang hanya berusaha menjalani kewajiban tanpa pernah berniat menyakiti siapa pun. Selama seminggu ini, Bibi Grace memang tidak datang ke apartemen seperti biasanya. Tapi setiap kali menelpon, suaranya terdengar jauh lebih lembut, tak lagi menyudutkan Alya. Ia bahkan sempat meminta maaf dan menyatakan dukungannya terhadap keputusan gadis itu. “Terkadang terlalu ikut campur justru membuat keadaan semakin rumit,” ucap Bibi Grace waktu itu, dan Alya hanya bisa tersenyum setuju. Hari ini, seperti biasa, Aly

  • Kontrak Nikah dengan CEO Kejam   Bab 10 ( Bibi Grace )

    Saat Jonathan tiba di apartemennya, suasana begitu hening. Tidak ada suara apa pun selain dengung lembut dari pendingin udara yang masih menyala di ruang tengah. Penerangan pun minim—lampu utama padam, hanya cahaya remang dari arah balkon yang menembus lewat gorden tipis, memantulkan siluet lembut di dinding apartemen yang bernuansa abu-abu modern itu.Jonathan berdiri sejenak di ambang pintu, menghela napas panjang. Ia kemudian melonggarkan dasinya perlahan, gerakannya tampak lelah namun tetap berwibawa. Seolah semua energi dan kesabaran yang ia keluarkan di kantor siang tadi telah benar-benar terkuras.Begitu melangkah masuk, sensor otomatis di apartemen mendeteksi gerakannya. Seketika lampu menyala, menyinari ruangan luas yang kini tampak sepi dan dingin. Tidak ada siapa pun di sana, tidak ada suara langkah kaki Alya, atau aroma masakan yang menandakan seseorang sedang beraktivitas.Hanya kesunyian.Jonathan berjalan pelan menuju sofa di ruang tengah, menurunkan tubuhnya perlahan h

  • Kontrak Nikah dengan CEO Kejam   Bab 9 (Jonathan)

    Alya melangkah pelan menuju kamar tidurnya, meninggalkan ruang makan yang kini sunyi tanpa suara. Cahaya lampu temaram di koridor menyoroti bayangan tubuhnya yang tampak lelah. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seolah beban pikiran yang menumpuk membuat udara di sekitarnya semakin padat. Begitu sampai di kamarnya, Alya menutup pintu perlahan. Ia menatap ruangan yang tertata rapi, tapi terasa dingin dan kosong—tak jauh berbeda dengan perasaannya malam itu. Ia meletakkan ponsel di atas meja nakas, lalu menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang masih terasa sesak setelah melihat berita tentang Jonathan dan Melissa Queen. Alya tidak berniat menunggu suaminya pulang. Ia sudah hafal kebiasaan Jonathan—lelaki itu jarang pulang malam-malam begini, dan kalaupun pulang, sikapnya selalu dingin, seolah kehadiran Alya tidak pernah berarti apa-apa. Lagi pula, dalam kontrak pernikahan mereka jelas tertulis bahwa Alya tidak diwajibkan menjalankan peran istri sepenuhnya. Ia

  • Kontrak Nikah dengan CEO Kejam   Bab 8 (wanita lain)

    Alya tiba di apartemen sekitar pukul setengah tiga siang. Begitu pintu terbuka, suasana di dalam apartemen terasa begitu tenang — bahkan terlalu tenang. Tidak ada suara langkah kaki pelayan atau aroma masakan yang biasanya memenuhi ruangan. Yang terdengar hanya suara lembut pendingin udara dan dengung samar dari luar jendela. Alya melepaskan sepatunya dengan perlahan, lalu melangkah ke arah dapur. Di sana, di atas meja makan marmer putih, tergeletak sebuah catatan kecil yang tampak ditulis dengan tergesa namun tetap rapi. Alya mengambilnya dan mulai membaca. “Maaf, Nyonya Muda. Saya pulang lebih awal karena anak saya masuk rumah sakit. Saya sudah menyiapkan makan siang dan menyimpannya di kulkas. Sekali lagi mohon maaf, Nyonya.” Di bagian bawah catatan itu, tertulis nama sang pelayan dengan huruf kecil dan agak miring: Ranti. “Jadi namanya Ranti…” gumam Alya pelan, menatap tulisan itu beberapa detik sebelum akhirnya meletakkannya kembali di meja. Ada nada iba dalam suaranya. Ia b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status