Masuk"Jadi, hari ini kita kemana?" Tanya seorang pria yang terduduk di kursi belakang mobil.
"Sesuai perintah Tuan Emir, kita akan ke kantor terlebih dahulu." Baru saja tiba di tanah air, pria ini sudah harus disibukkan dengan berbagai keinginan sang papa. "Setelah itu, apalagi rencananya?" Tanyanya kembali. "Sore nanti, anda ada pertemuan di restoran." "Fal, serius. Apa Papa benar-benar mau gue ketemu sama gadis itu?" Tanyanya. Naufal Arviano, pria yang sedang menyetir itu pun mengangguk. "Mungkin... Tuan Emir ingin segera menimang cucu." "Jika dia hanya ingin cucu, maka carikanlah wanita yang ingin menampung benihku. Maka, semuanya selesai!" Azael Malik Zayn, putra satu-satunya yang dimiliki oleh Emir Dzaidan Malik. Sedari kecil dia hanya tinggal bersama dengan sang papa, ibunya telah meninggal dunia disaat melahirkannya dahulu. Maka, dirinya tidak ingin memiliki hubungan dengan wanita mana pun, karena dia tidak mau kehilangan lagi seperti dia kehilangan sang Ibu. "Oh... tidak semudah itu anak muda!" Protes Naufal. Naufal dan Azael sudah bersahabat sedari mereka berada di bangku Sekolah Dasar. Emir sengaja mengangkat Naufal menjadi anaknya, agar Azael tidak terlalu merasa kesepian, agar anaknya itu memiliki seorang teman. Teman yang bisa ada dengannya setiap saat, karena Emir sadar diri, jika dia akan lebih sibuk di perusahaan dan itu akan membuat Azael semakin merasa kesepian. Tetapi, hadirnya Naufal, membuat Azael seolah memiliki saudara laki-laki. Membuat hari-hari, Azael lebih hidup. "Lo udah mulai sama menyebalkannya kaya, Papa." Naufal melirik pria yang berada di kursi belakang lewat kaca spion dalam. "Kenapa gak lo aja yang lebih dulu ngasih cucu sama, Papa?" "Rasanya akan berbeda, Azael Malik Zayn!" Kesal Naufal merasa tidak habis fikir dengan jalan pikiran lelaki ini. Naufal melihat dari spion jika Azael akan kembali membuka suaranya, sehingga dia lebih dahulu membungkamnya. "Bisakah anda diam, jangan terlalu banyak mengoceh!" Azael pun diam dibuatnya. Meskipun disini Azael adalah bosnya, tetap saja Naufal sebagai asisten pribadinya bisa membuat dia diam. Ingat, hanya Naufal. Karyawan lain mana berani. "Lo..." "Apa?" Sahut Naufal dengan kedua alis yang mengangkat. "Sudahlah." Malasnya, lalu memalingkan wajahnya menatap keluar jendela, memperhatikan jalanan di luar sana yang di penuhi oleh kendaraan yang berlalu lalang. Naufal menyunggingkan sudut bibirnya dengan kepala yang dia gelengkan. "Masih saja seperti anak kecil," gumamnya. Mobil pun melaju membelah jalanan kota yang rengang. Hingga mereka tiba disebuah gedung menjulang tinggi bertuliskan Malik Zayn Company. Azael keluar, merapihkan jasnya yang sedikit berantakan, menautkan kancing jasnya, lalu melihat gedung yang berada di hadapannya ini hingga kepalanya mendongak ke atas. Dia pun mulai berjalan memasuki area gedung, dengan Naufal yang berada di belakangnya. Azael yang menjadi pusat perhatian para karyawan yang berada di lobby, pun bersikap cuek. Dia memang tidak pernah memperhatikan sekelilingnya. Jadi, tidak heran jika dia tidak mengenali orang-orang disekitarnya, dan lagi-lagi Naufal lah yang akan mengingatkannya nanti. Mereka segera menuju lift yang memang khusus untuk CEO dan lift itu pun akan langsung mengantarkannya ke ruangan CEO. "Selamat siang, Tuan Azael!" Ucap sekertaris Emir yang terduduk di mejanya yang berada di depan ruangan Emir. Azael tidak meresponnya, dia hanya melirik sekilas pada sekertaris wanita itu. Waw, benar-benar pria dingin. Pintu terbuka dan menampilkan sosok pria paruh baya tengah duduk di kursi kebanggaannya. Pria itu pun berdiri kala menyadari ada seseorang yang masuk, tersenyum ramah pada kedua pria itu. "Selamat datang anak-anakku." Sapa Emir seraya merentangkan tangannya. Azael memeluknya lebih dahulu dan setelahnya barulah Naufal. Perlakuan Emir terhadap Azael dan Naufal, pun sama, tak ada yang dia bedakan. Itulah, yang membuat Naufal semakin sungkan dan begitu menjaga keluarga ini, serta setia. "Bagaimana perjalanan kalian? Menyenangkan?" "Sangat menyenangkan, Tuan." Jawab Naufal dan dia pun mendapatkan jitakan di kepalanya, membuat pria itu meringis. "Tuan, Tuan. Siapa Tuanmu?" Emir sudah sering mengatakan jika panggil dirinya Papa sama seperti Azael, tetapi Naufal segan untuk memanggil pria itu dengan panggilan tersebut. Azael hanya tersenyum miring, dengan kedua tangannya yang sudah tenggelam dalam saku celananya. "Kenapa kamu tersenyum, apa kamu senang melihat saudaramu terluka!" Omel Emir dan dia pun menjitak kepala Azael, yang berhasil membuat pria itu meringis dengan kedua alis yang saling bertaut. "Papa menyuruh kami datang ke kantor hanya untuk menyiksa kami!" Protes Azael. "Dasar anak nakal!" Sahutnya. "Apa kamu belum mengatakan pada anak nakal ini, Fal?" "Aku sudah mengatakan seluruh jadwal pria ini," tunjuknya pada Azael, "tadi saat di perjalanan" Azael melirik Naufal dengan satu alis yang terangkat. "Pa, kalau Papa mau cucu.. " ucapan Azael pun terpotong. "Sudah, jangan berkata apa-apa lagi. Sekarang, kamu bawa anak ini untuk mempersiapkan dirinya. Restoran Bintang!" Kata Emir pada Naufal dengan menunjuk ke arah Azael menggunakan kepalanya. "Baik, Tuan!" Patuhnya dengan kepala yang dia anggukkan. Setelah kepergian kedua pria muda itu, Emir pun kembali pada kursinya, mengembuskan nafasnya lelah. "Anak-anak itu." ** "Kita kemana dulu?" Tanya Naufal yang merasa bingung sendiri. "Papa menyuruh kita kemana?" Naufal melirik jam yang melingkar. "Masih lama, ini masih siang. Sedangkan pertemuan itu sore." "Kita makan siang dulu, cacing di perut gue udah pada demo, apa lo gak lapar?" Sarkasnya. Naufal pun melajukan mobilnya menuju sebuah restoran terdekat disini. Mereka akan makan siang lebih dahulu, setelah itu barulah menuju restoran bintang sesuai intruksi dari Emir. Seperti biasa, Naufal yang akan memesankan beberapa menu untuk mereka. Karena jika Azael yang memesan, maka sudah bisa dipastikan, satu meja ini tidak akan cukup untuk menampung makanan tersebut. Prinsip hidup Azael adalah banyak uang untuk dinikmati, jangan kau simpan begitu saja. Hidup kita itu hanya sekali, jadi nikmatilah apa yang sudah kita miliki saat ini. Ya.. begitulah prinsip Azael. Mereka pun menikmati makan siang kali ini dengan damai, tak ada yang membuka suara diantara dua pria ini. Ntah, mungkin karena lapar, atau memang mereka sedang hemat berbicara. Setelah selesai, Naufal melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Dia pun mengajak Azael untuk bergegas menuju restoran bintang. Mungkin saja gadis itu sudah menunggunya disana. Selama perjalanan menuju restoran, Naufal memberitahukan indentitas si wanita kepada Azael. Mulai dari nama, dan juga anak siapa. Satu lagi, meja pun akan direservasi atas nama si wanita. Jadi, jangan sampai dia mencari meja atas nama dirinya nanti. Cukup lama mereka menempuh perjalanan ini, hingga mobil yang Naufal kendarai sudah tiba di pelantara parkir restoran. Azael terdiam untuk beberapa saat setelah keluar dari mobil, dan melihat Naufal yang setia berdiri di samping mobil. "Lo gak ikut masuk?" "Gue gak mau jadi nyamuk. Gue tunggu disini." Azael pun melangkahkan kaki masuk ke dalam restoran, mencari meja yang sudah direservasi atas nama si wanita. Dia menanyakannya pada pelayan restoran. Dan pelayan itu pun menunjukkan meja yang sudah terisi oleh wanita dengan gaun maroon disana. "Selamat sore, Nona!"Mobil dengan lambang RR dibagian depan itu berhenti di depan lobby. Seorang vallet membukakan pintu belakang. Yang pertama terlihat adalah sepatu fantopel hitam mengkilap, setelahnya barulah penampakan pria tinggi, tampan, dan mempesona. Mengaitkan kancing jas kemaja, lalu dia pun mulai berjalan dengan seorang pria yang selalu mengekorinya di belakang. Setiap langkahnya membuat mereka yang berada di gedung ini menundukkan kepala memberikan hormat. "Kenapa mereka menumpuk di depan lift?" Tanyanya kala matanya melihat para karyawan tengah berdiri di depan lift. Tak lama dari itu pintu lift terbuka dan sebagian karyawan masuk, sebagian lagi masih menunggu. "Lift sebelahnya masih dalam tahap perbaikan, jadi membuat mereka harus mengantri untuk bisa menggunakan lift." "Tidak bisakah perbaikan lift dipercepat. Mengganggu sekali!" "Sudah sesuai SOP." Kedua pria ini pun tiba di depan lift. Si pria yang selalu berdiri di belakang menekan tombol lift agar terbuka. Barulah keduanya
"Arabella... bangun.... kamu bisa telat ke kantor!" Teriakan melengking yang setiap pagi selalu terdengar menggema di rumah kecil nan sederhana ini. Si pemilik nama pun tengah menggeliatkan badannya di atas kasur. Karena misinya semalam yang membutuhkan waktu ekstra. "Iya, Bu. Aku sudah bangun," sahutnya dengan suara serak khas bangun tidur. Wanita itu pun bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya, lalu bersiap menuju kantor. "Bangun tuh pagi, jangan diteriakin Ibu dulu baru bangun lo." Omel sang adik Azelan. Dia adalah adik laki-laki Arabella, adik laki-lakinya masih bersekolah, duduk di kelas 3 SMA. "Berisik lo!" Sahutnya seraya mendudukkan tubuhnya di atas kursi. Mengambil nasi goreng buatan sang ibu, yang selalu menemani pagi mereka. Nasi goreng buatan ibu mereka ini enak, namun jika hampir setiap pagi selalu sarapan dengan ini terkadang mereka pun bosan. "Kapan, Kakak gajian?" Bisik Azelan. Arabella sudah paham, pasti adik laki-lakinya ini ingin dibeli
"Lama banget sih!" Gerutu Arabella. Sudah hampir 30 menit dirinya terduduk di kursi seorang diri. Tapi, pria yang dia tunggu-tunggu tak kunjung datang. Arabella mengambil ponselnya yang berada di dalam tas kecilnya, membuka room chatnya dengan Shreya. "Udah dimana Bapak CEO yang super sibuk itu" pesan pun dia kirimkan, tepat dengan adanya suara bariton seseorang. "Selamat sore, Nona." Arabella melirik ke atas, melihat si pemilik suara. Kesan pertama yang dia dapatkan dari pria ini adalah tampan. Untuk sesaat Arabella terpesona dengan ketampanan si pria. Hingga dia tersadar lalu bangkit dari duduknya dan segera menjalankan aksinya. "Tuan Azael?" Tanya Arabella dengan gaya centilnya. Azael mengangguk, "Nona Shreya?" Arabella kembali tersenyum dengan sangat centil. "Oh, ya.. Shreya Varelly," ucapnya memperkenalkan diri dengan menjulurkan tangannya. Arabella akan merubah dirinya menjadi gadis centil di hadapan para kandidat calon suami sahabatnya, agar perjodohan ini ga
"Jadi, hari ini kita kemana?" Tanya seorang pria yang terduduk di kursi belakang mobil. "Sesuai perintah Tuan Emir, kita akan ke kantor terlebih dahulu." Baru saja tiba di tanah air, pria ini sudah harus disibukkan dengan berbagai keinginan sang papa. "Setelah itu, apalagi rencananya?" Tanyanya kembali. "Sore nanti, anda ada pertemuan di restoran." "Fal, serius. Apa Papa benar-benar mau gue ketemu sama gadis itu?" Tanyanya. Naufal Arviano, pria yang sedang menyetir itu pun mengangguk. "Mungkin... Tuan Emir ingin segera menimang cucu." "Jika dia hanya ingin cucu, maka carikanlah wanita yang ingin menampung benihku. Maka, semuanya selesai!" Azael Malik Zayn, putra satu-satunya yang dimiliki oleh Emir Dzaidan Malik. Sedari kecil dia hanya tinggal bersama dengan sang papa, ibunya telah meninggal dunia disaat melahirkannya dahulu. Maka, dirinya tidak ingin memiliki hubungan dengan wanita mana pun, karena dia tidak mau kehilangan lagi seperti dia kehilangan sang Ibu. "O
"Bella, please, ya, ya.. Janji deh, ini yang terakhir," ucap Shreya dengan mengatupkan kedua tangannya dan tak lupa memasang puppy eyes. Arabella memicingkan kedua matanya, menatap sahabatnya. Menyenderkan punggungnya pada sandaran kursi dengan tangan yang menyilang di dada. Shreya Valerry dan Arabella Zayana, mereka sudah bersahabat sedari masih duduk dibangku SMP. Shreya yang seorang anak broken home, sedangkan Arabelle yang memiliki keluarga harmonis. Sangat berbanding terbalik keadaan keduanya. Tetapi, kehidupan ekonomi Shreya lebih menjanjikan dari pada Arabella. Shreya adalah putri tunggal dari seorang pengusaha di negeri ini, sedangkan Arabella hanyalah anak dari seorang pemilik toko kue. Bukan toko besar, hanya sebuah toko kecil, namun banyak diminati oleh orang-orang karena ibu Arabella sangat pandai dalam membuat kue. Kehidupan dua sahabat ini sangatlah berbanding terbalik, satu beruntung karena memiliki keluarga yang utuh dan harmonis, tetapi tidak beruntung dari s







