Keduanya tidak bisa hanya terus diam seperti ini, apalagi setelah menikah.Layla berinisiatif untuk memulai pembicaraan dan mencoba dengan pertanyaan sederhana, "Emm, ngomong-ngomong, apa pekerjaanmu masih banyak? Apa mungkin ada sesuatu yang bisa kubantu?"Arsen tampak terkejut dengan pertanyaan itu. Apakah membantunya adalah sesuatu yang berlebihan? Atau karena Layla mengajaknya mengobrol terlebih dahulu?Arsen kemudian tampak mengontrol ekspresinya dan tersenyum kecil. "Tidak perlu, tinggal sedikit lagi," jawabnya. "Tapi terima kasih untuk tawaranmu.""Sama-sama," balas Layla. Ia memutar otak untuk mengajukan pertanyaan lain ketika Arsen kembali bicara."Kau ingin membeli buku apa sampai ke toko di pusat kota? Pasti buku penting, ya?"Layla menggigit bibir bawahnya dan gelagapan sendiri. "Ah, itu—buku psikologi, kejiwaan. Ya, bacaan semacam itu. Iya, begitu," ucapnya dengan terbata-bata. Ia hampir menepuk dahinya karena malu. Kenapa lidahnya harus terlipat segala? Sejujurnya ia bi
Layla menatap Randy dengan wajahnya yang dipenuhi keterkejutan. Ia memperhatikan penampilan Randy dari atas sampai ke bawah, tampak sangat berbeda dari terakhir kali mereka bertemu. Teman masa SMP-nya itu telah tumbuh menjadi pemuda dewasa yang keren."Kau di sini?! Bagaimana—bukankah—?" Layla kesulitan melanjutkan kata-katanya.Layla ingat Randy harus ikut ke luar negeri bersama ibunya setelah perceraian kedua orang tuanya. Ia kehilangan kontak Randy saat ponselnya hilang dan keduanya tidak pernah berkomunikasi lagi.Lalu pagi ini, melihat presensinya di hadapannya, ia tidak menyangka mereka akan bertemu lagi setelah sekian lama."Aku ingin menemui pamanku," jawab Randy, terkekeh. Matanya ikut memperhatikan penampilan Layla dari ujung rambut hingga ujung kaki—takjub. "Kau tahu, dia akan menikah lagi bulan depan.""Benarkah?" Layla tidak bisa menahan tawanya, teringat dengan masa lalu. Paman Randy, dengan umur yang sudah memasuki usia 40 tahun, masih saja tidak bisa belajar dari kesal
Olivia menatap Arsen yang duduk bersandar di sofa sambil memejamkan mata. Senyum kecil terbentuk di bibirnya, ia meletakkan jusnya dengan perlahan di atas meja. Namun, suara dentingan kecil dari kaca yang bertemu berhasil membangunkan Arsen dari tidur-tidur ayamnya."Hei." Senyum Olivia melebar, ia melemparkan tubuhnya ke sofa di seberang Arsen."Hm," balas Arsen. Ia mengerjap-ngerjap dan meregangkan tubuhnya yang terasa kaku dan pegal. Pandangannya terarah ke jendela yang terbuka, menyadari bahwa hujan deras telah reda. Ia beralih ke Olivia yang menyesap jusnya dengan santai. "Jam berapa sekarang?""Jam empat sore. Kau hanya tidur sekitar 15 menit," jawab Olivia.Arsen mengangguk dan menegakkan tubuhnya. Sore ini, ia datang ke apartemen Olivia atas permintaan wanita itu. Lagi pula, sudah lama keduanya tidak bertemu secara langsung. Apalagi beberapa hari ke depan, Arsen tidak akan bisa menemui Olivia setelah rangkaian acara pernikahannya dengan Layla selesai.Empat hari lagi, pikirnya
Layla meremat tangannya dan menarik napas panjang berulang kali. Sesuatu terasa menekan dadanya dengan keras, membuatnya susah untuk bernapas. Ia kira, ia hanya gugup semata, tetapi ternyata lebih dari itu.Ia merasa akan pingsan.Gaun pengantin yang membalut tubuhnya tampak indah, tetapi tetap saja Layla tidak tahan untuk menatap pantulannya terlalu lama di cermin. Rambutnya digelung ke belakang dengan hiasan bunga-bunga kecil, sementara wajahnya diberi riasan pengantin yang tidak terlalu tebal.Ketika Layla menatap wajahnya sendiri, perasaannya menjadi tidak karuan. Perutnya terasa diaduk-aduk, dan ia menahan diri untuk tidak muntah.Layla mengambil waktu lebih lama dari seharusnya untuk menenangkan diri. Ketika ketukan terdengar di pintu, ia hampir melompat di tempat."Layla, Nak?" Suara ibunya terdengar.Pintu terbuka dan ibunya melongokkan kepala ke dalam. Senyum manis menghiasi bibirnya. "Sudah siap? Semua orang sudah menunggu, Sayang."Layla mengangguk dan menarik napas dalam-d
Layla duduk di tepi tempat tidur yang telah disiapkan oleh ibu mertuanya. Ia memperhatikan sekeliling ruangan yang telah dihias dengan bunga mawar merah, kemudian meregangkan tubuhnya.Tangannya membelai gaun pengantinnya dengan ringan. Ia belum berganti baju sejak kembali dari gedung tempat acara pernikahan diselenggarakan. Ia hanya menghapus riasan wajahnya dan melepas gelungan rambutnya.Seluruh tubuhnya sakit, terutama tungkainya yang pegal luar biasa. Layla seharusnya beristirahat, tetapi ia tidak mengantuk sama sekali.Seluruh keluarga tengah berkumpul di lantai bawah. Nenek Arsen baru tiba bersama Kiran. Mereka sebenarnya berniat untuk datang sehari sebelum pernikahan, tetapi jadwal penerbangan mereka mengalami penundaan.Kiran bersama sang nenek rupanya sedang mengunjungi tunangan Kiran yang sedang berada di Jepang. Katanya, mereka akan melangsungkan pernikahan tahun ini—rencananya.Pernikahan di usia muda. Sama seperti Layla. Bedanya, Kiran dan tunangannya saling mencintai, s
Layla keluar dari kamar setelah mandi pagi. Suasana rumah Arsen tampak sepi, tetapi ketika ia menginjakkan kaki di lantai satu menuju ruang makan, riuh rendah percakapan keluarganya sayup-sayup terdengar.Di meja makan, ia melihat ibunya, mertuanya, nenek Arsen, Kiran, juga suaminya yang tengah menyantap sarapan.Suaminya.Kata itu masih agak asing di telinganya.Mereka telah sah menjadi suami-istri sejak kemarin, tetapi rasanya tidak ada yang berubah.Layla berjalan mendekat dengan suara pelan, tetapi ketika menginjakkan kaki di ambang pintu ruang makan, atensi semua orang langsung tertuju padanya. Mereka tersenyum manis—kecuali Arsen yang menunduk—dan Layla balas tersenyum."Ah, sudah bangun, Sayang?" Ibu mertuanya berdiri dari kursi dan menghampiri Layla dengan wajah ceria. Ia segera menuntun gadis itu menuju meja makan. "Maaf tidak membangunkanmu Nak, kami pikir kau butuh istirahat.""Tidak apa-apa, Ibu."Layla duduk di kursi dan menyapa ringan semua orang. Ibunya menyodorkan sepi
"Arsen melakukannya dengan lembut 'kan, Sayang?"Layla hampir menyemburkan tehnya keluar mendengar pertanyaan itu. Ia menatap ibu mertuanya yang tersenyum lembut, bingung harus menjawab apa. Ia tahu bahwa ibu mertuanya bertanya seperti itu semata-mata karena mengkhawatirkannya, tetapi tetap saja rasanya memalukan. Mereka bahkan tidak melakukannya.Apa yang harus ia katakan?"Jangan bertanya begitu, Arinda. Coba lihat, Layla jadi malu," sahut nenek Arsen. Layla langsung menghela napas lega. Ia menatap Layla dengan senyum penuh kasih sayang.Arinda tersenyum kecil dan mengusap punggung tangan Layla. "Aku hanya khawatir, tapi baiklah. Ibu minta maaf, kalau begitu?"Layla buru-buru menggeleng. "Ah, tidak apa-apa, Ibu.""Ya sudah, ayo habiskan tehnya, Nak."Layla mengangguk dan meraih cangkir tehnya yang masih mengepul. Sore ini, setelah membersihkan rumah, mereka bertiga memutuskan untuk minum teh di halaman belakang sembari mengobrol ringan.Rencananya, Layla berniat pulang ke rumah oran
Layla menghela napas panjang.Sepertinya ia terlalu banyak menghela napas hari ini sampai-sampai Arsen menatapnya dengan cemas. Pria itu sepertinya ingin bertanya, tetapi diurungkan melihat Layla yang memalingkan wajah.Pagi ini, mereka akan berkunjung ke perusahaan keluarga Arsen: Sergio Industri.Ibu mertuanya telah mendadaninya dengan gaya formal. Layla memakai dress yang diberikan, rambutnya diikat ke belakang, lalu wajahnya diberi riasan tipis. Ia biasanya tidak suka memakai sepatu dengan hak tinggi, tetapi hari ini ia harus memakainya.Ketika ia menatap pantulannya di cermin, hanya ada dua kata yang menggambarkan penampilannya: mewah dan berkelas.Ibunya cenderung mendandaninya dengan manis seperti kebanyakan remaja—sesuai dengan umurnya. Tetapi ibu mertuanya, dia telah mendandani Layla dengan gaya dewasa seolah ia adalah seorang istri dari politikus terkenal. Atau dekat dengan itu.Arsen adalah seorang direktur dan mungkin beginilah cara berdandan yang ibu mertuanya inginkan. M