LOGINSinar matahari pagi yang menerobos masuk melalui celah gorden sutra di kamar utama tidak memberikan kehangatan sedikit pun bagi Queen yang terbangun dengan perasaan hampa dan tubuh yang terasa sangat kaku. Ia menghabiskan malam dengan meringkuk di sofa panjang karena tidak sudi menyentuh ranjang yang pernah menjadi saksi bisu pengkhianatan Tama, meskipun punggungnya kini harus menanggung rasa sakit yang sangat luar biasa.
Suasana rumah yang sangat sunyi itu tiba-tiba terpecah oleh suara ketukan pintu yang tegas, membuat Queen tersentak kaget dan segera merapikan pakaian serta rambutnya yang sedikit berantakan karena posisi tidurnya yang tidak nyaman. Ia menarik napas panjang, mencoba memanggil kembali keberaniannya yang sempat memudar, sebelum akhirnya ia melangkah untuk membuka pintu besar yang selama ini mengurungnya dalam ketakutan yang sangat mendalam. Seorang pelayan wanita paruh baya berdiri di sana dengan baki berisi sarapan mewah dan sebuah amplop cokelat tebal yang diletakkan tepat di samping piring porselen putih yang tampak sangat mahal sekali. "Tuan Tama menunggu Anda di ruang kerja setelah Anda selesai menikmati sarapan ini, Nyonya," ucap pelayan itu dengan nada suara yang sangat datar dan wajah yang tidak menunjukkan ekspresi apa pun. "Aku bukan nyonya di rumah ini, tolong panggil aku Queen saja," jawab Queen dengan nada bicara yang tegas, meskipun ia tahu bahwa protes kecilnya itu tidak akan mengubah posisi tawar yang ia miliki. Ia menatap amplop cokelat itu dengan penuh rasa curiga, merasa bahwa di dalamnya pasti terdapat aturan-aturan baru yang akan semakin membatasi ruang geraknya sebagai tawanan di dalam rumah megah ini. Setelah memaksakan diri untuk menelan beberapa suap roti meskipun seleranya telah hilang total, Queen mengambil amplop itu dan melangkah menuju lantai bawah dengan perasaan yang dipenuhi oleh berbagai macam prasangka buruk. Ia melewati lorong-lorong panjang yang dihiasi oleh lukisan-lukisan abstrak bernilai tinggi, yang bagi Queen justru tampak seperti jeruji besi yang sengaja disamarkan dengan seni agar terlihat lebih indah bagi orang luar. Pintu ruang kerja Tama yang terbuat dari kayu jati berukir tampak sangat mengintimidasi, seolah-olah ruangan di baliknya adalah pusat dari segala skenario jahat yang sedang direncanakan oleh pria itu untuk menghancurkannya. Queen mengetuk pintu itu dua kali, dan tanpa menunggu jawaban yang pasti, ia segera melangkah masuk ke dalam ruangan yang didominasi oleh aroma tembakau mahal dan wangi parfum maskulin yang sangat tajam. Tama duduk di balik meja kerja besarnya yang sangat rapi, matanya tidak lepas dari layar monitor komputer, namun ia seolah bisa merasakan kehadiran Queen tanpa harus melihat secara langsung ke arah pintu masuk. "Kau terlambat sepuluh menit dari waktu yang aku tentukan di dalam jadwal harianmu, Queen. Di rumah ini, disiplin adalah hal utama yang harus kau pelajari kembali jika ingin hidupmu terasa lebih mudah." Queen melemparkan amplop cokelat itu ke atas meja kerja Tama dengan perasaan geram yang sudah tidak bisa ia bendung lagi sejak ia terbangun dari tidur yang sangat tidak nyenyak pagi tadi. "Apa lagi ini, Tama? Belum cukupkah kau mengurungku di sini dan memutus komunikasiku dengan dunia luar? Apa kau berencana untuk mengubahku menjadi robot yang hanya bisa mengikuti semua perintah gilamu?" Tama akhirnya mendongak, menyandarkan punggungnya pada kursi kulit yang tampak sangat nyaman, lalu menatap Queen dengan pandangan yang sangat tenang namun mengandung intimidasi yang sangat kuat serta mematikan bagi lawan bicaranya. "Itu adalah daftar tugasmu selama berada di sini. Kau tidak akan duduk diam sebagai pajangan rumah, karena aku ingin kau bekerja untuk membayar setiap sen yang kukeluarkan untuk hutang ayahmu." Dengan tangan gemetar karena emosi, Queen membuka amplop itu dan membaca poin-poin yang tertulis di sana, yang ternyata bukan hanya soal pekerjaan rumah, melainkan tugas administratif sebagai asisten pribadi Tama. Ia harus menemani Tama ke setiap acara bisnis, mengatur jadwal pertemuannya, dan bahkan menyiapkan segala keperluan pribadinya dari pagi hingga pria itu memejamkan matanya kembali untuk beristirahat di malam hari. "Kau ingin aku menjadi asisten pribadimu? Kau pasti sudah gila jika berpikir aku akan dengan senang hati melayanimu setelah semua hal buruk yang kau lakukan kepadaku di masa lalu, Tama!" teriak Queen. Ia merasa ini adalah cara Tama untuk terus menyiksanya secara mental dengan cara memaksanya berada di dekat pria itu setiap detik tanpa ada celah untuk menjauh sedikit pun. Tama berdiri dari kursinya, berjalan perlahan mendekati Queen hingga ia bisa merasakan hawa panas yang terpancar dari tubuh wanita yang sedang dipenuhi oleh amarah yang meledak-ledak di hadapannya saat ini juga. "Ini bukan tawaran, Queen, melainkan kewajiban yang harus kau jalani sebagai bagian dari kontrak penyelamatan aset keluargamu yang kini berada sepenuhnya di bawah kendali tanganku yang sangat kuat ini." Ia mengambil salah satu lembar kertas dari amplop tersebut dan menunjukkannya tepat di depan wajah Queen, di mana terdapat poin tentang sanksi jika Queen menolak untuk menjalankan tugas-tugas yang telah ditetapkan oleh Tama. "Setiap pembangkangan yang kau lakukan akan berakibat pada penundaan pembayaran cicilan hutang perusahaan ayahmu, dan kau tahu pasti apa konsekuensi akhirnya bagi orang tuamu yang sudah sangat tua itu." Queen memejamkan matanya, merasakan kepahitan yang sangat luar biasa meresap ke dalam jiwanya, menyadari bahwa Tama telah memikirkan setiap langkahnya dengan sangat detail dan tanpa celah sedikit pun bagi Queen untuk melawan. Ia merasa seperti bidak catur yang sedang dimainkan oleh seorang ahli, di mana setiap gerakannya sudah diprediksi dan akan berakhir pada kekalahan yang sangat telak bagi dirinya sendiri. "Baiklah, aku akan melakukannya. Tapi jangan pernah berharap kau akan mendapatkan loyalitas atau rasa hormat dariku, karena bagiku kau tetaplah seorang pengkhianat yang tidak layak mendapatkan maaf dari siapa pun," desis Queen. Ia menatap Tama dengan penuh kebencian, namun di balik tatapan itu, terdapat luka yang masih berdarah dan belum benar-benar mengering meskipun waktu telah berlalu cukup lama sekali. Tama hanya tersenyum dingin, seolah kata-kata tajam dari Queen sama sekali tidak mampu melukai kulitnya yang keras dan hatinya yang sudah membeku sejak hari di mana Queen memutuskan untuk pergi meninggalkannya. "Aku tidak butuh rasa hormatmu, yang aku butuhkan hanyalah kepatuhanmu yang mutlak dan kehadiranmu di sisiku sampai aku merasa bosan dan memutuskan untuk melepaskanmu kembali ke duniamu yang kecil itu." Tugas pertama Queen dimulai saat itu juga, ia diminta untuk merapikan berkas-berkas penting yang berantakan di sudut ruangan, sebuah pekerjaan yang sebenarnya bisa dilakukan oleh pelayan mana pun namun sengaja diberikan untuk merendahkannya. Sambil bekerja, Queen terus memikirkan Arka, bertanya-tanya apakah anaknya sudah makan atau apakah ia sedang mencari bundanya yang tiba-tiba menghilang tanpa memberikan penjelasan yang jujur tentang alasan kepergiannya yang mendadak. Setiap kali ia melihat Tama yang sedang sibuk menelepon mitra bisnisnya dengan nada bicara yang sangat berwibawa, Queen merasa dadanya sesak karena ia menyadari betapa kuatnya pria ini sekarang dibandingkan dengan lima tahun yang lalu. Tama telah bertransformasi menjadi monster yang sangat cerdas dan berkuasa, yang menggunakan segala cara untuk mendapatkan apa pun yang ia inginkan tanpa peduli pada perasaan orang lain yang hancur. Tiba-tiba, Tama menghentikan aktivitasnya dan menatap Queen yang sedang melamun sambil memegang tumpukan kertas di tangannya, membuat Queen merasa tertangkap basah sedang memperhatikan pria yang seharusnya ia benci seumur hidupnya tersebut. "Berhenti memikirkan cara untuk lari, Queen. Fokuslah pada pekerjaanmu jika kau tidak ingin aku menambahkan jam kerjamu hingga larut malam di dalam ruangan yang sangat tertutup dan pribadi ini." Queen mendengus pelan, mencoba mengabaikan godaan Tama dan kembali fokus pada kertas-kertas di hadapannya, meskipun pikirannya tetap saja terbang menuju rumah kecilnya yang penuh dengan kehangatan dan tawa polos dari Arka. Ia harus mencari cara untuk bisa mengirim pesan kepada Bi Ijah tanpa ketahuan oleh sistem pengawasan ketat yang telah dipasang Tama di seluruh penjuru rumah mewah yang terasa sangat mencekik ini. Di sela-sela pekerjaannya, Queen menemukan sebuah foto lama yang terselip di antara tumpukan dokumen bisnis milik Tama, sebuah foto yang memperlihatkan mereka berdua sedang tersenyum bahagia di bawah rintik hujan lima tahun lalu. Ia terdiam sejenak, menatap foto itu dengan perasaan yang campur aduk antara rindu dan benci, sebelum akhirnya ia segera meremas foto itu dan membuangnya ke dalam tempat sampah dengan gerakan yang sangat kasar. Tama melihat tindakan Queen tersebut dari sudut matanya, dan untuk pertama kalinya sejak Queen masuk ke ruangan itu, raut wajahnya menunjukkan sedikit perubahan emosi yang sulit untuk dijelaskan secara kata-kata oleh siapa pun. Ia merasa ada sesuatu yang berdenyut nyeri di balik dadanya yang dingin, namun ia segera menekan perasaan itu dengan logika bahwa semua yang ia lakukan saat ini adalah bentuk keadilan atas luka lamanya. "Malam ini akan ada jamuan makan malam penting dengan investor asing, dan kau harus ikut bersamaku mengenakan gaun yang sudah aku siapkan di dalam kamarmu," perintah Tama dengan nada bicara yang tidak menerima bantahan. Queen ingin sekali berteriak menolak, namun ia tahu bahwa itu hanya akan membuang-buang energinya yang sudah sangat terkuras habis sejak pagi hari karena harus berhadapan dengan ego pria tersebut. Ia hanya mengangguk lemah, mengakui kekalahannya untuk saat ini, dan melangkah keluar dari ruang kerja Tama dengan perasaan yang sangat berat seolah ia membawa beban seluruh dunia di atas pundaknya yang rapuh. Queen menyadari bahwa setiap babak baru dalam hidupnya di rumah ini akan selalu penuh dengan kejutan menyakitkan, dan ia harus mempersiapkan hatinya agar tidak hancur menjadi serpihan kecil yang tidak bisa disatukan. Sesampainya di kamar, ia melihat sebuah kotak besar berwarna hitam di atas tempat tidur, yang berisi sebuah gaun malam berwarna merah darah yang tampak sangat berani, seksi, sekaligus sangat elegan untuk dikenakan olehnya. Queen tahu bahwa warna merah adalah warna favorit Tama, dan pria itu sengaja memilihkan gaun itu untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Queen adalah miliknya, sebuah trofi yang berhasil ia rebut kembali dari masa lalu. Ia menyentuh kain sutra gaun itu dengan ujung jarinya, membayangkan bagaimana ia akan berdiri di samping Tama malam nanti sebagai wanita simpanan yang berkedok asisten pribadi di depan mata para kolega bisnis pria tersebut. Air mata kembali menggenang di pelupuk matanya, namun ia segera menghapusnya dengan cepat, berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan bertahan demi Arka, satu-satunya alasan ia masih bernapas hingga detik ini. Malam itu akan menjadi ujian pertama bagi Queen untuk tampil di depan publik sebagai bagian dari kehidupan Tama, dan ia tahu bahwa banyak mata yang akan menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu dan berbagai macam gosip. Namun, di balik semua kemewahan yang akan ia kenakan nanti, Queen merasa dirinya hanyalah seorang tawanan yang sedang didandani dengan sangat indah sebelum akhirnya ia dikembalikan ke dalam jeruji besi emasnya yang sunyi. Tama berdiri di depan jendela ruang kerjanya, menatap senja yang mulai turun, dan ia membayangkan bagaimana Queen akan terlihat di dalam gaun merah pilihannya malam nanti di bawah sorotan lampu pesta yang sangat megah. "Permainan ini baru saja dimulai, Queen. Dan aku tidak akan membiarkanmu menang sampai kau sendiri yang berlutut dan memohon pengampunan kepadaku atas semua luka yang pernah kau torehkan di hatiku yang terdalam."Pertanyaan polos dari bibir Arka terasa seperti sambaran petir yang membelah keheningan kamar mewah itu, membuat napas Queen mendadak tercekat di tenggorokan dan jantungnya berdegup dengan irama yang sangat tidak beraturan. Ia menatap lekat-lekat mata biru gelap putra kecilnya, mata yang merupakan salinan sempurna dari pria yang kini sedang berdiri diam di balik pintu kamar, mendengarkan setiap patah kata yang akan terucap.Queen merasakan tangannya dingin membeku saat ia membelai lembut pipi Arka, mencoba mencari kekuatan di dalam dirinya untuk memberikan jawaban yang tidak akan menghancurkan hati kecil anaknya namun juga tidak mengkhianati harga dirinya. Ia tahu bahwa satu kebohongan lagi mungkin akan memperpanjang ketenangan sesaat, namun kebenaran yang tertunda suatu saat nanti bisa menjadi bom waktu yang jauh lebih mematikan bagi hubungan mereka berdua di masa depan."Kenapa Arka bertanya seperti itu, Sayang? Bukankah Bunda sudah pernah bilang kalau Ayah sedang berjuang di tempat
Kesadaran Queen kembali secara perlahan, namun hal pertama yang ia rasakan bukanlah kenyamanan, melainkan rasa sakit yang berdenyut di pelipisnya dan aroma obat-obatan yang samar bercampur dengan wangi maskulin yang sangat ia hafal. Ia mendapati dirinya terbaring di atas ranjang besar di kamar utama kediaman Ardiansyah, dengan lampu kamar yang diredupkan, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang tampak mencekam di setiap sudut dinding ruangan yang luas.Ingatan tentang kejadian di pesta tadi malam menghantamnya seperti ombak besar yang menghancurkan segala pertahanan mentalnya, membuat napas Queen kembali memburu saat ia mengingat kalimat terakhir Tama tentang penjemputan paksa Arka. Ia segera bangkit dari tempat tidur dengan gerakan yang terlalu cepat hingga kepalanya terasa berputar hebat, namun rasa takut akan keselamatan putranya jauh lebih kuat daripada rasa sakit fisik yang ia derita."Arka! Di mana anakku? Tama, apa yang kau lakukan pada putraku!" teriak Queen dengan suara se
Lampu kristal raksasa yang menggantung di langit-langit aula hotel membiaskan cahaya yang menyilaukan, namun bagi Queen, kemilau itu terasa seperti duri yang menusuk pandangannya di tengah keramaian pesta yang sangat menyesakkan. Ia bergerak dengan kaku dalam pelukan Tama saat mereka berdansa di lantai dansa, mencoba menjaga jarak agar tubuh mereka tidak bersentuhan terlalu intim meskipun tangan Tama terus menarik pinggangnya dengan sangat posesif.Musik klasik yang mengalun lembut seharusnya menciptakan suasana romantis, namun bagi Queen, setiap nada yang terdengar justru seperti melodi duka yang merayakan hilangnya kebebasan pribadinya di bawah cengkeraman kekuasaan seorang Pratama Ardiansyah. Ia bisa merasakan tatapan mata Tama yang tajam terus menghunjam wajahnya, seolah pria itu sedang berusaha mencari celah di balik topeng ketegaran yang sudah ia bangun dengan sangat susah payah.Tiba-tiba, mata Queen tertuju pada sosok pria di sudut bar yang sedang memperhatikannya dengan raut
Queen menatap pantulan dirinya di cermin besar dengan tatapan yang penuh dengan kekosongan, seolah wanita di dalam cermin itu adalah orang asing yang sedang mengenakan gaun merah darah milik seorang narapidana kelas atas. Gaun itu melekat sempurna di tubuhnya, menonjolkan setiap lekuk yang selama ini ia sembunyikan di balik pakaian kerja yang longgar, namun bagi Queen, kain sutra itu terasa seperti duri yang menusuk kulitnya.Suara langkah sepatu pantofel yang berat bergema di koridor, menandakan bahwa sang pemegang kendali hidupnya telah datang untuk menjemput properti berharganya malam ini guna dipamerkan di depan rekan-rekan bisnisnya yang sombong. Pintu kamar terbuka tanpa ketukan, dan Tama berdiri di sana dengan setelan tuksedo hitam yang membuatnya tampak seperti dewa kematian yang sangat tampan namun tidak memiliki belas kasihan sedikit pun.Tama tertegun sejenak saat matanya menyapu penampilan Queen dari ujung kepala hingga ujung kaki, sebuah reaksi spontan yang menunjukkan ba
Sinar matahari pagi yang menerobos masuk melalui celah gorden sutra di kamar utama tidak memberikan kehangatan sedikit pun bagi Queen yang terbangun dengan perasaan hampa dan tubuh yang terasa sangat kaku. Ia menghabiskan malam dengan meringkuk di sofa panjang karena tidak sudi menyentuh ranjang yang pernah menjadi saksi bisu pengkhianatan Tama, meskipun punggungnya kini harus menanggung rasa sakit yang sangat luar biasa.Suasana rumah yang sangat sunyi itu tiba-tiba terpecah oleh suara ketukan pintu yang tegas, membuat Queen tersentak kaget dan segera merapikan pakaian serta rambutnya yang sedikit berantakan karena posisi tidurnya yang tidak nyaman. Ia menarik napas panjang, mencoba memanggil kembali keberaniannya yang sempat memudar, sebelum akhirnya ia melangkah untuk membuka pintu besar yang selama ini mengurungnya dalam ketakutan yang sangat mendalam.Seorang pelayan wanita paruh baya berdiri di sana dengan baki berisi sarapan mewah dan sebuah amplop cokelat tebal yang diletak
Pagi itu, langit Jakarta seolah turut merasakan kegundahan hati Queen dengan menyajikan mendung kelabu yang menggantung rendah di cakrawala, menutupi sinar matahari yang biasanya memberikan harapan baru bagi setiap orang yang memulai hari. Queen berdiri di depan cermin besar kamarnya, menatap bayangan seorang wanita yang tampak begitu asing baginya, dengan mata yang sembab dan bibir yang pucat karena kurang tidur semalaman.Pesan singkat dari Tama tadi malam telah mengubah seluruh rencana hidup yang sudah ia susun dengan sangat rapi dan penuh kehati-hatian selama lima tahun terakhir di perantauan yang tenang ini. Ia menyadari bahwa berlari bukanlah lagi sebuah pilihan yang masuk akal, karena Tama telah menyebarkan jaring-jaring kekuasaannya hingga ke depan pintu rumahnya yang paling rahasia sekalipun tanpa ia sadari.Dengan tangan yang masih gemetar, Queen mulai memasukkan beberapa pakaian ke dalam koper besar, seolah-olah ia sedang mempersiapkan diri untuk pergi ke medan perang ya







