Langit mendung menggelayut di atas atap rumah besar keluarga Rayendra. Angin sore meniup tirai tipis di ruang tamu tempat Alinea duduk gelisah, menanti Leon yang masih bicara dengan seseorang di telepon. Hatinya belum tenang sejak kejadian mawar hitam kemarin. Terlalu sunyi, terlalu mencekam.Tak lama, Leon kembali dan duduk di depannya, wajahnya tampak serius."Aku udah selidiki nomor yang kirim pesan kemarin," ucapnya perlahan. "Nomornya pakai akun palsu. Tapi polanya familiar. Gaya ancamannya… aku pernah lihat sebelumnya."Alinea menatapnya cemas. "Maksud kamu?"Leon menatap mata Alinea sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku curiga itu Claudia."Alinea tercekat. Nama itu kembali menggema. Claudia—wanita yang dulu nyaris menjadi bagian dari hidup Leon. Cantik, pintar, dan... penuh ambisi."Apa kamu yakin?" tanya Alinea pelan."Aku nggak punya bukti kuat. Tapi Claudia punya alasan untuk dendam. Sejak aku batal
Alinea terbangun dengan kepala yang sedikit berat. Cahaya matahari menerobos lembut dari sela tirai, membias hangat ke seluruh ruangan. Ia masih berada di kamar yang sama. Masih di ranjang yang sama. Dan yang lebih penting… masih bersama pria yang sama.Leon.Perlahan, Alinea menggeser tubuhnya, mencoba duduk. Tapi gerakannya langsung terhenti saat ia menyadari…Leon sedang duduk di kursi dekat jendela. Rambutnya sedikit acak, kemeja tidurnya terbuka dua kancing, dan di tangannya ada secangkir kopi.Mata mereka bertemu.Canggung.Alinea langsung membuang pandangan. Ia merapikan selimut dan mengusap wajah, seolah itu bisa menghapus ketegangan aneh yang tiba-tiba melingkupi udara.“Pagi,” ucap Leon lebih dulu.Alinea mengangguk. “Pagi…”Hening.Suasana yang biasanya dipenuhi adu mulut atau saling cuek itu kini jadi lebih aneh. Mereka tidak tahu harus bersikap seperti apa. Terlalu hangat
Pagi itu, Alinea bangun lebih awal dari biasanya. Ia turun ke dapur dengan rambut masih sedikit berantakan, hanya mengenakan sweater panjang dan celana kain tipis. Cahaya matahari pagi masuk dari jendela kaca, memantul lembut di lantai marmer.Ia membuka kulkas dan mulai menyiapkan sarapan—tanpa sadar, kebiasaan lamanya kembali muncul. Ia merasa lebih nyaman menjadi dirinya sendiri.Saat sedang mengocok telur, suara langkah kaki terdengar dari arah tangga.Leon muncul dengan rambut acak-acakan, kaus putih dan celana tidur. Tatapannya agak heran melihat Alinea yang sudah sibuk di dapur.“Kamu masak?” tanyanya singkat.Alinea menoleh, tersenyum. “Iya. Aku nggak suka sarapan instan tiap hari. Kamu mau kopi?”Leon berjalan mendekat, lalu duduk di stool bar sambil menatap punggung Alinea yang sedang sibuk.“Mau. Tapi jangan terlalu manis,” jawabnya. “Kamu bisa jadi istri sungguhan dengan cepat, ya.”Alinea terk
Balkon masih sunyi. Hanya angin malam yang berbisik pelan dan lampu kota di kejauhan yang berkedip samar. Alinea menunduk, masih merasakan sisa hangat dari genggaman tangan Leon tadi. Ia tak tahu kenapa, tapi hatinya terasa sedikit bergetar.“Kenapa kamu melihatku seperti itu?” tanya Leon tiba-tiba, membuat Alinea menoleh.“Aku hanya… penasaran,” jawabnya jujur. “Kamu ini pria yang sulit ditebak.”Leon menyeringai kecil, lalu menyandarkan punggungnya ke pagar balkon. “Bagus. Karena kamu juga bukan wanita yang mudah dibaca.”Alinea tertawa pelan. “Kita ini aneh, ya? Menikah karena kontrak, pura-pura bahagia, lalu berdiri di sini seperti pasangan yang sedang jatuh cinta.”Leon diam. Ada bayangan ragu di wajahnya. “Mungkin pura-pura itu… kadang jadi terlalu nyata.”Perkataan itu membuat Alinea menoleh cepat. “Apa maksudmu?”Leon tak menjawab. Ia hanya menatap Alinea dalam-dalam. Sekilas, hanya sekilas, ada luka lama yang mu
Matahari sore menembus kaca jendela besar ruang kerja Leon, mewarnai ruangan dengan cahaya keemasan. Suasana terasa hening, kecuali suara detik jam yang pelan. Leon duduk di balik mejanya, menatap layar laptop, tapi pikirannya tidak sepenuhnya di sana.Sebuah undangan elegan tergeletak di mejanya — pesta ulang tahun perusahaan partner lama dari bidang properti internasional. Salah satu acara sosial kelas atas yang selalu dia hindari, kecuali kehadirannya memang dibutuhkan secara simbolik.Tapi bukan itu yang membuatnya ragu.Leon menatap nama yang tertera di sudut bawah undangan: Claudia Marettha — CEO Marettha Holdings.Claudia.Wanita yang dulu hampir ia nikahi. Wanita yang meninggalkannya demi ambisi pribadi, demi mengejar takhta perusahaan ayahnya. Dan kini… Claudia kembali.Leon menarik napas dalam, lalu memencet tombol interkom.“Suruh Alinea ke ruang kerja. Sekarang.”Tak sampai lima menit, pintu diketuk.
Pagi itu, sinar matahari menembus kaca jendela besar kamar Alinea. Ia duduk di meja makan besar yang sunyi, dengan hanya satu piring sarapan di depannya dan segelas jus jeruk yang mulai kehilangan dinginnya.Ia menunggu. Tapi kursi di seberangnya tetap kosong, seperti kemarin, dan hari sebelumnya.“Selamat pagi, Nyonya Alinea.” Anin, pelayan pribadi, menyapanya dengan hangat. “Apakah Anda ingin menunggu Tuan Leon untuk sarapan?”Alinea tersenyum tipis. “Tidak perlu. Aku rasa dia punya sarapannya sendiri… di tempat lain.”Suaranya pelan, tapi getir. Ia menusuk roti panggang dengan garpu, tapi tak benar-benar memakannya. Hatinya lebih penuh dari perutnya.Baru saja ia hendak berdiri, suara langkah berat terdengar dari arah tangga.Leon muncul, mengenakan kemeja putih setengah dikancing, dan rambutnya sedikit acak-acakan seperti baru bangun tidur. Alinea mematung sejenak. Ia tak menyangka akan melihat Leon sepagi ini, terlebih di me