‘Kamu harus bangkit Efita, kamu nggak boleh terpuruk seperti ini.’
Aku beranjak dari dudukku, menekan sakelar lampu karena rumah sudah seperti gua. Gelap gulita.Menyalakan keran air, mengguyur tubuh ini lalu mengambil wudu dan lekas melaksanakan ibadah salat magrib dilanjut dengan bermuroja’ah untuk menghibur hati yang sedang lara.Aku harus berprasangka baik terhadap Tuhan. Mungkin Sang Maha Rahim sedang menyiapkan rencana indah untuk diriku nanti, jika tidak di dunia mungkin di alam keabadian kelak.Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sepuluh malam. Aku mengambil gawai, melihat aplikasi berwarna hijau yang sudah dipenuhi ratusan notifikasi pesan masuk. Ternyata dari grup RT yang sedang ramai membahas masalah perzinaan yang dilakukan Dewi dan Mas Akmal. Bahkan, ada yang sengaja menjadikan kasus ini sebagai candaan.Kenapa harus itu yang di bahas? Apa mereka tidak tahu kalau di sini ada hati yang sedang tersakiti saat membaca cuitan mereka yang seolah menertawakan diriku yang sedang dirundung duka?Segera kuletakkan kembali gawai di atas nakas, merebahkan bobot menjemput lelap supaya besok tidak kesiangan. Kubenamkan tubuh ini ke dalam selimut dan lekas berlayar ke samudera mimpi.***[Mang, besok pagi tolong bawakan saya sayur sawi, bakso, ayam, udang sama wortel ya, Mang. Totalnya berapa nanti uangnya saya transfer. Sayurannya nanti tolong digantung di pagar saja ya] kukirim pesan kepada tukang sayur langganan, karena belum siap diberondong pertanyaan para tetangga yang terlihat begitu haus akan informasi perselingkuhan antara Mas Akmal dan Dewi.[Siap, Mbak Fita] jawab Mamang sayur.Setelah dia menotal semua belanjaanku, segera kutransfer uang pembayarannya.Aku membuka kulkas, mengambil dua butir telur dan mendadarnya dengan kornet, sebab stok bahan makanan di dalam lemari esku sudah habis semua.“Kalau makan sama kamu, pake beginian doang juga enak, Fit!” kata Mas Akmal sembari menekan dagunya di bahuku sambil melingkarkan kedua tangannya di pinggang.“Jangan peluk-peluk, aku lagi masak, gerah. Lagian nggak enak diliatin Dewi,” ucapku sambil mengurai pelukan laki-laki berhidung bangir tersebut.“Dewi di kamar dan nggak bakalan liat. Lagian kita kan pasangan halal!” Dia memutar tubuhku dan mencium pipiku dengan lembut.Aku mengendus saat bau sangit menguar di udara.Ya Allah, gara-gara melamunkan Mas Akmal telur dadarku menjadi gosong.‘Bangun, Fit. Sadar. Kamu harus move on dari laki-laki seperti dia!’ rutukku dalam hati.Membanting bokong di kursi karena selera makanku hilang sudah. Bahan-bahan makanan juga sudah tidak ada. Aku mendengus kesal, merasa sebal dengan diriku sendiri yang masih memikirkan laki-laki yang telah merobek hati.Kuambil gawai yang sudah sejak tadi didiamkan di atas meja, membuka aplikasi pesan makanan online karena tidak mungkin ke warung makan di depan kompleks. Di tempat itu kan markasnya orang ngerumpi, sudah pasti banyak ibu-ibu sedang menggosipkan masalah perselingkuhan mantan suami serta adikku.‘Astagfirullah, kenapa aku jadi mudah suuzan begini!’ keluhku dalam hati.Aku menegakkan kepala, menyambar dompet yang ada di atas kulkas lalu keluar membeli makan di warung. Aku harus bisa menghadapi semua ini. Untuk apa diri ini harus merasa malu. Toh, yang berzina itu mereka, bukan aku.“Eh, Mba Efita. Baru kelihatan. Ngerem mulu, emang nggak gerah apa di dalam rumah terus?” sapa Bu Hilma yang kebetulan sedang berbelanja di tempat itu juga.“Kalau gerah tinggal nyalain AC, Bu!” selorohku membuat Bu Hilma dan pemilik warung tertawa.Lekas kupesan dua potong rendang dan oseng pare kesukaanku. Pare itu sayur kehidupan, biar pun pahit, tetapi tetap dinikmati.“Eh, Mbak Fita. Si Dewi sama Mas Akmal sekarang tinggal di mana? Kasian ya mereka diusir sama warga dari sini!” kata Bu Hilma memancing obrolan mengenai makhluk tak berperasaan itu.“Saya kurang tahu, Bu. Dan sudah bukan urusan saya lagi,” jawabku sembari mengulas senyum.Jadi, Dewi sama Mas Akmal diusir dari kompleks ini? Baguslah!“Kalau butuh teman curhat, hubungi saya saja ya, Mbak Fit. Saya siap menjadi pendengar setia Mbak Efita!”“Iya, Bu. Terima kasih. Saya masuk dulu ya, Bu. Assalamualaikum!” Bergegas diri ini menutup pintu sebelum wanita berparas cantik paripurna tersebut mewawancaraiku.Kuletakkan sayur serta rendang yang aku beli tadi kemudian pergi ke samping rumah untuk membersihkan serpihan kaca yang aku sebar di bawah jendela kamar Dewi, menghela napas salam ketika melihat bercak darah yang sudah mengering dan masih terlihat jelas di lantai rumah. Pasti rasanya sakit sekali menginjak pecahan-pecahan kaca yang begitu tajam. Walaupun aku tahu rasanya tidak melebihi apa yang hati ini rasakan.Sudahlah, tidak usah dipikirkan lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Aku harus menata hidup kembali, karena hidupku lebih berarti dari pada harus meratapi yang sudah menghianati.Setelah selesai membersihkan pecahan-pecahan gelas tersebut, bergegas diri ini membuangnya ke tong sampah, dibuang seperti mantan. Apalagi kalau mantannya meninggalkan jejak perih di sanubari.“Assalamualaikum!” Tok! Tok! Tok!Terdengar suara parau seorang wanita mengucap salam. Aku sangat mengenali suara itu. Lekas diriku mengenakan kerudung, berjalan perlahan menuruni undakan teras ingin melihat siapa yang datang.Seorang wanita paruh baya dengan gamis hitam berdiri mematung dengan mata sudah berkaca-kaca. Emak. Ternyata ibuku datang menjengukku.Apa yang harus aku katakan jika Emak menanyakan keberadaan Dewi juga mantan suamiku?Pukul tujuh malam, selepas melaksanakan shalat isya, Ridwan kembali datang dan meminta Dewi untuk menjadi pendamping hidupnya. Kali ini dia meminta wanita tersebut kepada sang kakak, dan Efita tetap saja menyerahkan semuanya kepada Dewi. "Sudah aku bilang kan, Mas. Aku ini bukan wanita sempurna. Kamu akan menyesal jika menikah denganku nanti. Apa kamu tidak berpikir sampai kesitu, Mas?" Dewi membuang muka menghindari tatapan Ridwan yang begitu menghanyutkan."Saya akan menerima segala kekurangan serta kelebihan kamu, Wi. Lillahi taala. Menikah itu ibadah. Kebahagiaan sepasang suami istri itu bukan hanya karena adanya anak. Tapi dengan saling percaya serta melengkapi, kita akan merasa hidup bahagia selamanya. Apalagi sudah ada Arjuna. Dia juga butuh figur seorang ayah, Wi. Kamu jangan egois!" desak Ridwan memberi keyakinan kepada wanita yang dia kagumi."Justru karena aku tidak mau dianggap egois, makanya menolak kamu, Mas." "Wi, tolong pertimban
Keluarga besar Efita sudah bersiap-siap pergi ke kota Tegal untuk melangsungkan pernikahan Salman dengan putri sulung Gus Fauzan. Pernikahan yang rencananya akan diselenggarakan awal tahun, akan tetapi harus ditunda beberapa bulan karena Salman belum bisa mengambil cuti dan Nabila mendapat tugas dari kampusnya untuk melakukan kuliah kerja nyata di luar kota. Hal itulah yang membuat acara harus ditunda sementara, dan hari ini, dua insan manusia yang saling mencintai itu akan mengucap janji suci di depan Allah, menjadikan hubungan mereka menjadi halal serta diridhai Tuhan."Santai saja, nggak usah gemetar!" bisik Salim kepada sang adik ketika mereka sudah berada di masjid pesantren menunggu ijab qobul dimulai.Salman menerbitkan senyuman. Rasa grogi terlihat jelas di wajah pria berusia sudah genap dua puluh empat tahun itu, apalagi ketika pembawa acara memulai susunan acara.Keringat dingin terus saja membanjiri tubuhnya walaupun ruangan tempat dia akan meng
"Maaf, Wi. Kamu yang tenang. Kalau kamu tidak mau menyerahkan Arjuna tidak apa-apa. Mas tidak memaksa. Tapi kalau suatu saat Mas ingin mengajaknya bermalam di rumah, tolong kamu izinkan ya? Biar dia juga deket dengan Papa Surya."Mendengar nama Surya, entah mengapa ada rasa seperti termas-remas di dada Dewi. Dia ingat betul ketika pria paruh baya itu merenggut dengan paksa kehormatannya, melakukannya berkali-kali hingga akhirnya dia mengandung dan kehilangan masa depan. Selain itu, dia juga harus menjadi duri dalam daging di kehidupan rumah tangga Efita, merobohkan benteng yang telah dibangun dengan kokoh hingga hancur lebur serta rata dengan tanah.Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari sudut netra perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu. Walaupun rasa benci terhadap Surya mendominasi di hati, akan tetapi dia begitu mencintai Arjuna. Apalagi Efita selalu memberinya wejangan, kalau anak adalah masa depan yang akan menjamin masa tua kita, j
#POV AuthorEfita sedang duduk di teras sambil mengawasi Arjuna, Syabil dan Faza bermain pasir di taman depan rumah. Dia segera menoleh ke arah pintu ketika mendengar seseorang mengucap salam. Seulas senyum tergambar di bibir Akmal, sambil menatap wajah Efita yang tertutup cadar. Ada rasa rindu yang kian menggebu di dalam kalbu, karena sampai saat ini dia belum benar-benar bisa melupakan sang mantan. Cinta yang ditancapkan Efita di dinding hatinya terlalu dalam dan tidak mudah terhapuskan.Semakin dia mencoba, maka rasa itu kian terasa serta menyiksa."Kamu apa kabar, Fit?" tanya Akmal setelah dia dipersilahkan masuk oleh mantan istrinya."Alhamdulillah aku sehat. Mas Akmal sendiri bagaimana kabarnya, tumben mampir ke rumah, setelah beberapa tahun tidak pernah keliatan batang hidungnya?" "Aku pengen ketemu Juna, Fit."Efita menanggapi dengan ber oh ria. Dia kemudian memanggil keponakan kesayangannya itu dan menyuruh pr
Setelah selesai memberikan keterangan kepada penyidik. Perawat serta polisi wanita yang mendampingi segera membawa Safina keluar dari ruangan tersebut karena harus segera kembali ke rumah sakit."Apa saya bisa bicara dengan Safina sebentar, Bu?" Ragu aku mengatakan hal itu, karena takut Safina kembali mengamuk jika aku mengajaknya berbicara."Silahkan, Pak." Kami pun berjalan menuju kursi panjang yang ada di teras kantor polisi, duduk di tempat tersebut dengan perasaan bersalah menyelimuti hati."Fin," panggilku pelan."Aku tahu apa yang ingin Mas Salim katakan sama aku," sahut Safina dengan suara parau. "Mas nggak usah khawatir. Aku tidak akan lagi mengganggu atau merepotkan Mas. Aku juga sudah ikhlas dengan pernikahan Mas dan Ning Azalia. Aku doakan, semoga kalian berdua hidup bahagia hingga maut yang memisahkan." Seulas senyum tercetak di bibir merah muda Safina walaupun aku lihat ada kabut di kedua sudut netranya.
"Kenapa liatin saya seperti itu?" tanya Fahri seraya menatap menghunus ke arahku.Aku mengangkat satu ujung bibir. Sepertinya Tejo dan Fahri begitu membenci diriku, padahal antara aku dan mereka berdua tidak pernah ada urusan apa-apa. Kenal saja baru-baru ini setelah aku menikah dengan Safina dan Azalia. Tapi, entah mengapa tatapan mereka terlihat penuh dengan kebencian kepadaku.Petugas menyuruh Fahri untuk duduk, menginterogasi dia menanyakan hubungan laki-laki tersebut dengan mantan istri, walaupun Fahri terus saja berbelit-belit memberikan keterangan, malah cenderung mengelak kalau dia tidak pernah melakukan pelecehan seksual terhadap SafinaHingga akhirnya seorang wanita berhijab ungu ditemani oleh seorang perawat juga dua orang polisi wanita datang, membuat Fahri serta Tejo tercengang. Gurat ketakutan tergambar jelas di wajah keduanya."Sa--Safina?" Bahkan Tejo sampai tergagap melihat kehadiran wanita yang sudah dia nodai tersebut.
"Insya Allah saya bersedia, Mas," jawab si wanita dengan intonasi sangat lembut serta gemetar, dan semua orang yang ada ramai gemuruh mengucap hamdalah."Alhamdulillah, berarti Bunda mau nambah mantu lagi!" seloroh Bunda Efita terdengar bahagia."Ini kenapa ujung-ujungnya jadi kaya lamaran begini?" Azalia ikut menimpali. "Cie...Bila, akhirnya bisa menikah dengan sang pujaan hati!" ledek istriku seraya memeluk adik sepupunya."Jangan ledekin aku terus dong, Mbak Lia. Aku 'kan jadi malu!" Nabila memonyongkan bibir manja. Dia persis seperti istriku ketika sedang merajuk. Semoga saja sifatnya juga sama seperti Azalia. Penyayang, bijaksana dan menghormati serta menyangi Bunda Efita tentunya."Kapan akan diadakan lamaran secara resmi, Gus. Biar saya siapkan segala keperluannya?" Bunda Efita terlihat begitu bersemangat."Tidak usah ada acara lamaran lagi, Mbak Fita. Sebaiknya langsung dinikahkan saja. Toh, mereka sudah sama-sama d
#Part menuju ending"Astaghfirullahaladzim!" teriak kami ketika tubuh Bu Veronika ambruk ke lantai.Kepanikan mulai terlihat di wajah Dokter Fatih ketika melihat sang ibu tidak sadarkan diri. Kedua mata laki-laki itu sudah dipenuhi kabut dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening mulai meluncur dari balik kelopaknya meninggalkan jejak lurus di pipi."Ibu, bangun, Bu. Ya Allah. Kenapa Ibu malah pingsan seperti ini, Bu?" Dia menepuk-nepuk pelan pipi ibunya."Angkat ibu kamu, Mas. Bawa dia ke kamar tamu atau direbahkan di sofa!" perintah bunda Efita dan segera dikerjakan oleh dokter berkacamata tebal tersebut.Azalia yang sejak tadi berdiri di ambang pintu berinisiatif mengambil minyak kayu putih lalu menggosokkannya ke pelipis serta dekat hidungnya.Tidak lama kemudian mata Bu Veronika terbuka. Dia memalingkan wajah ketika melihat sang anak yang sedang duduk di sebelahnya sambil menggenggam erat jari keriputnya. "
"Assalamualaikum!" Kami yang sedang duduk santai di teras menoleh secara serempak ketika mendengar suara Bu Veronika mengucap salam."Waalaikumussalam!" Ummi segera beranjak dari duduknya, berjalan menuju pintu garasi dan mempersilahkan ibunya Dokter Fatih untuk masuk.Kali ini Bu Veronika datang tidak hanya sendiri, tapi bersama anaknya yang meresahkan itu. Sepertinya dia menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Berpura-pura ingin mengenal lebih jauh keluarga besarku, padahal sebenarnya ingin melihat istriku yang memang begitu cantik memesona dan siapa pun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta.Dari balik kacamata tebalnya, terlihat sekali kedua bola mata Dokter Fatih membulat tanpa berkedip menatap ke dalam rumah. Aku menoleh berniat menyuruh Azalia masuk, tapi mataku dibuat memicing olehnya sebab yang sedang dia pandangi malah bukan istri, melainkan Bunda Efita. Sepertinya dokter genit tersebut terpesona dengan kecantikan wajah bunda yang tertutup niqo