Mas Kenzo melirik ke arahku. Apa dia percaya dengan omongan Dewi?Ingin rasanya diri ini kembali turun dari mobil Ayahnya Saquina dan menabok mulut adikku dengan sandal jepit yang sedang aku pakai."Kita jalan sekarang, Dek," ucapnya lembut.Aku hanya menjawab dengan anggukan.Deru mesin kendaraan membawa kami menjauh dari pekarangan rumah Emak. Aku terus memandangi bangunan tua yang penuh dengan kenangan itu. Air mata tiba-tiba luruh membasahi pipi tanpa mampu aku bendung. Teringat dulu ketika kami masih bersama di rumah tersebut, hidup saling menyayangi dan tidak ada pertengkaran seperti sekarang ini, bahkan berkata kasar pun kami tidak pernah. Semua gara-gara perselingkuhan Dewi sama Mas Akmal, keluargaku jadi hancur. Sifat adikku menjadi berubah, pun dengan diri ini yang jadi gampang sekali emosi."Ini, Dek!" Mas Kenzo menyodorkan sebuah sapu tangan kepadaku. Aku lekas menghapus air mata kemudian menyandarkan pun
Papa Surya mengulurkan tangan hendak menjabatku, namun aku tetap bergeming enggan meraih tangan pria yang hampir saja menodaiku itu. Hilang sudah rasa hormatku semenjak kejadian malam itu.***Mataku mulai mengembun ketika Mas Akmal membaca ikrar talak, memutuskan ikatan suci yang telah kita bina selama lima tahun lamanya. Kini resmi sudah diri ini menyandang status janda dan tinggal menunggu akta cerai serta masa idahku selesai. Aku harus menata hidup kembali dengan statusku yang baru. Dan tanpa menoleh ataupun mengatakan selamat tinggal, Mas Akmal berlalu begitu saja setelah persidangan selesai. Hanya tinggal Papa Surya yang berdiri di halaman pengadilan Agama sambil terus menatapku dengan tatapan yang sulit sekali diartikan. Jujur, aku takut sekali kepadanya, khawatir dia menyimpan dendam karena aku telah melukainya tempo hari."Apa kabar, Efita?" sapa Papa sambil tersenyum."Seperti yang Papa lihat, saya baik-baik saja!" j
Aku membuka mata perlahan, bahagia sekali melihat kekasih hatiku masih duduk setia menungguku. Aku merasa menjadi laki-laki paling beruntung di muka bumi ini. Tidak sempurna, tetapi memiliki istri yang sangat setia dan mencintaiku.“Fit,” panggilku pelan, karena badan ini masih terasa lemas. Tapi, kenapa Efita malah membuang muka?“Efita,” aku berusaha bangkit dan meraih tangan wanita berhijab peach itu“Kamu sudah sadar, Mas? Kalau begitu, aku pamit pulang. Biar nanti Dewi yang menemani kamu di sini!” sahut Efita sambi beranjak pergi.Ya Allah, ada apa. Kenapa dia terlihat begitu marah?Papa masuk dan mengenyakkan bokongnya kasar di kursi sebelah ranjangku.“Bener-bener istri kamu, Mal. Masa disuruh donorin darah saja tidak mau. Nggak ada balas budinya sama sekali kepada suami. Mauanya duitnya doang!” rutuk Papa membuat sesak dada ini.Aku terus berusaha mencerna ucapan Papa. Apa iya Efita tidak mau mendon
Baru beberapa hari aku tidur secara terpisah dengan Efita. Aku sudah tidak bisa menahan rindu kepada wanita itu. Bayang-bayang senyuman istriku selalu menari di ingatan. Bagaimana kalau nanti aku benar-benar berpisah dengan dia. Apa aku sanggup, menjalani hari-hari dengan kesendirian?Aku keluar dari kamar karena ingin mengintip rumah istriku yang berseberangan dengan rumah Papa. Aku terkejut ketika melihat Papa keluar dari kamar Dewi tengah malam seperti ini. “Papa?!” Laki-laki berusia lebih dari setengah abad itu terkejut ketika aku memanggilnya.“Papa ngapain keluar dari kamar Dewi?” tanyaku sambil menatap menyelidik.“Pa–Papa mau minta dibuatin mie instan sama dia!” sahut Papa tergagap.Dahiku mengernyit mendengar jawaban Papa. Sepertinya ada yang disembunyikan oleh pria tersebut.“Kamu juga ngapain malam-malam begini keluar dari kamar. Bukannya tidur?!” Papa balik bertanya.
Dua bulir air bening mengalir membasahi pipi wanita itu. “Tolong katakan sama saya, Wi. Jangan terus diam seperti itu. Karena diam kamu telah menghancurkan rumah tangga saya!”Dewi mengangkat wajahnya menatapku, seperti ingin memprotes ucapanku.“Mas, ada Mas Alfin,” ucap salah seorang pegawaiku. Duh mengganggu saja. Padahal sepertinya Dewi sudah mau mengaku.Alfin bergabung bersama kami sambil menunggu pegawaiku memprogram TV pesanannya. Dia membicarakan tentang masa lalu konyol kami, membuat diriku melupakan duka yang sedang menimpa untuk sesaat, karena pria itu mampu membuatku tertawa.Setelah Alfin pulang aku kembali mendesak Dewi. Dan akhirnya dia mau mengatakan kalau laki-laki yang selama ini bersama dia adalah Papa. Aku benar-benar syok mendengarnya. Tidak percaya kalau Papa bisa berbuat asusila kepada adik iparku.“Saya akan melindungi kamu, Dewi!” “Tolong jangan sampai Om Surya tahu k
Aku lihat dua sudut mata Dewi mulai menganak sungai, dan aku tidak peduli itu. Dia sudah keterlaluan. Aku benar-benar tidak percaya bocah seumuran Dewi bisa berbuat seperti ini. Sedang kakaknya saja tidak seagresif dia walaupun sudah sah menjadi istriku. “Maaf!” pelan dia berucap, bagai angin sedang berbisik. Aku menyentak napas kasar. Menata perasaan supaya tidak lagi marah kepada adik iparku. Sesampainya di rumah Emak. Banyak sekali orang berada di sana. Ada bendera kuning di halaman rumah Emak, menandakan kalau di tempat itu ada yang sedang berduka cinta. Dewi turun dari mobil dan berjalan gontai masuk ke dalam rumah. Aku sangat terkejut ketika melihat wanita yang sudah aku jatuhi talak satu berada di dalam sana, sedang menangisi seseorang yang sudah terbujur kaku serta di tutup oleh kain. Dan ternyata yang meninggal adalah Emak. Semua mata tertuju kepadaku serta Dewi, menatap mencemooh ke arah kami. Mungkin semua sudah mendengar gosip tentang perselingkuhanku dengan Dewi. A
#Efita Aku duduk di sebelah Mbak Kenza sambil sesekali melirik Mas Akmal yang duduk di meja seberang. Nafsu makanku hilang seketika karena kembali dipertemukan dengan mantan suamiku yang masih teramat aku cintai. Laki-laki yang selalu menghuni sanubari, dan tidak akan terganti oleh siapa pun. "Loh, kok kamu nggak makan, Fit?" tanya Ibu Fatimah–Ibunya Mas Kenzo, dengan intonasi sangat lembut. "I–iya, Bu!" Aku mengulas senyum dan lekas menyantap makananku meski rasanya sudah tidak lagi bernafsu. Kami datang ke tempat ini karena hari ini Saquina berulang tahun yang keempat dan merengek minta makan di restoran cepat saji. "Kamu jangan mikirin mantan suami kamu terus, Mbak. Sampe badan kamu kurus begitu!" seloroh Mbak Kenza. "Move on dong, Mbak. Cari yang lain. Di dekat Mbak Efita ada loh, laki-laki yang diam-diam naksir Mbak Efita tapi cemen, nggak mau ngomong!" imbuhnya lagi. Tiba-tiba Mas Kenzo tersedak dan langsung menatap ke arah Mba Kenza kemudian melirik ke arahku. Apa yang
Aku menghampiri gadis itu karena dia terlihat begitu pucat serta kelelahan. "Mbak," sapaku, memegang pundak perempuan tersebut. Dia berjingkat kaget lalu menoleh. Ya Allah, ternyata dia benar-benar Dewi adikku. Tapi, kenapa dia menjadi seperti ini. Pakaiannya terlihat kumal, badan serta wajahnya sangat tidak terawat. Tidak seperti ketika ia masih hidup bersamaku. Dan, perutnya, apa dia sedang mengandung? tapi, bukannya Mas Akmal mandul? "Kakak!" Mata cekungannya menatapku, membuatku iba melihatnya. Biar bagaimanapun aku adalah kakaknya. Perempuan yang pernah menyayangi dia sepenuh hati, sebelum dia ketahuan selingkuh dengan suamiku. "Kamu kenapa jadi seperti ini, Dewi?" tanyaku, mencoba menata perasaan yang berkecamuk dalam hati. Antara kasihan serta kecewa melihat dia. "Ini semua gara-gara kakak. Kakak itu wajahnya doang kaya malaikat, tapi hatinya kaya iblis. Kakak itu serakah, nggak punya hati!" rutuknya sembari menatapku sinis. Aku tertawa sumbang mendengar dia menyebutku t