Alya kembali ke ruang kerjanya dengan perasaan berantakan. Membanting pintu ruang kerjanya dengan keras hanya semakin membuatnya semakin emosi.
Sialan! Bagaimana bisa Leo, si turis miskin adalah orang yang sama dengan kakak laki-laki Salma. Nasibnya buruk sekali?
Ia baru saja menemukan inspirasi untuk novelnya, sekarang inspirasi itu sendiri adalah mimpi buruk! Pantas saja Hendra tidak menyetujui. Leo bukanlah seorang pangeran yang diidamkan perempuan. Sama sekali tidak, setidaknya Alya tidak berada dalam barisan perempuan-perempuan bodoh yang jatuh hati dalam sekali pandang kepada laki-laki setengah bule itu atau mungkin ia berusaha mengingkarinya?
Alya sungguh tak menduga, sudah berapa lama mereka tak bertemu? Lima tahun? Sepuluh tahun? Dua belas tahun! Pantas saja, seorang remaja nakal yang sombong telah menjelma menjadi menjadi laki-laki dewasa yang macho dan menarik. Terlalu menarik bahkan, jika Alya mau jujur. Bagaimana mungkin ia bisa menge
Situasi di ruangan yang biasanya gaduh itu sungguh bertolak belakang dengan yang terjadi sekarang. Keheningan menyelimuti, dua orang yang baru pertama kali bertemu setelah belasan tahun terpisah saling berpandangan. Alya bisa merasakan sentuhan lembut ibu jari Leo di dahinya. Jari itu bekerja seperti jari seorang pemijat handal, tanpa Alya sadari ia menyukainya, matanya terpejam setelah beberapa saat. Sialan. Ia telah jatuh ke tangan laki-laki bajingan itu! Alya semakin mengkerutkan dahinya, bukannya ia sengaja untuk mendapatkan pijatan gratis dari Leo, tetapi merupakan respon spontan atas ketidaksukaannya pada sesuatu dan saat ini, ia sedang tak menyukai situasi yang ia alami. Ingin sekali ia membuka mata, tetapi takut, jika ia membuka mata, maka ia akan jatuh semakin dalam kedalam jebakan si brengsek. Beraninya ia memperlakukan dirinya seperti ini. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menutup matanya sambil mengabaikan betapa pijatan itu
Leo sedang bersantai di dalam ruang kerjanya yang berada di lantai empat, gedung milik Omar Corp. yang ia dan Haidar sewa dari perusahaan keluarga besar Haidar. Mereka masih belum mampu membangun gedung AHA Architect sendiri. Leo berharap ia bisa segera pindah dari tempat itu. Ia tak senang dengan kenyataan bahwa ia berada di wilayah musuh. Ya, ia berbagi gedung dengan Omar yang membuatnya kadang bertemu dengan Omar dengan tidak sengaja di dalam lift atau lobby. Hal itu sangat tidak menyenangkan. Matanya terbuka begitu ia mendengar derit pintu digeser, namun ia tak memutar kursinya untuk melihat siapa tamunya, ia tahu, tamu tidak sopan itu pastilah Haidar. Brakkk Haidar meletakkan setumpuk dokumen di meja yang terbuat dari kayu bercat putih. Meja itu terlihat begitu polos tanpa hiasan bila dibandingkan dengan miliknya di ruangan CEO. Leo menarik napas lalu memutar kursinya, mengangkat pandangannya, menatap Haidar dengan alis terpinci
Suasana pada senin malam di kafe 'Kopi dan Lemon' cukup ramai. Hampir semua pelanggan yang pergi kesana adalah orang lama. Lana, pegawai baru di kafe itu cukup cekatan meski sudah tiga gelas pecah sepanjang pagi. Alya memakluminya karena Lana masih baru, dari cerita yang ia dapat Lana sebelumnya bekerja sebagai intern sambil mengambil kuliah untuk karyawan pada akhir pekan atau malam. Ia adalah perempuan pekerja keras, Alya menyesal ia tidak memberinya kesempatan saat pertama kali Mario membawanya ke kafe beberapa hari lalu. "Lana, kamu istirahat aja dulu, kamu belum makan, 'kan? Ayo sana makan dulu, minta Reno atau Mario," ucap Alya ketika ia menghampiri Lana yang sedang merapikan meja, sepasang pelanggan baru saja meninggalkan kafe dengan tumpukan piring dan gelas kotor di meja. "Iya, kak, sebantar saya bereskan ini dulu," Lana menyahut sambil mengelap meja. Alya tersenyum, puas dengan kerajinan pegawai barunya. "Malam ini kamu brati bis
Dari luar, pada Senin malam, kafe kopi dan lemon tampak sepi bila dibandingkan dengan kafe lain yang menjamur di kota Jakarta. Alya memang tak terlalu mementingkan income dari kafe, baginya yang terpenting adalah ia bisa makan apapun yang ia inginkan dengan mudah juga memberi lapangan pekerjaan bagi mereka yang membutuhkan. Bila hitung-hitungan untung rugi, jelas Alya rugi. Ia bahkan sering mengucurkan dana darurat dari kantong pribadinya dan ia tak keberatan. Leo mengawasi kafe dari dalam mobilnya yang terparkir tepat di depan kafe. Dari dalam mobilnya, ia bisa melihat jelas Alya yang tengah mengobrol dengan seorang perempuan yang memunggunginya. Ia melihat jam tangannya sekali lagi, sudah hampir jam sembilan malam. Mendorong handle pintu mobil dengan gaya yang pas, pintu itu terbuka dalam sekejap. Ia menurunkan kaki kanannya lebih dulu disusul oleh kaki kirinya. Lalu keduanya melangkah mantap bergantian saling memimpin, masuk ke dalam kafe
Selama sepuluh menit penuh, Alya menatap langit-langit kamarnya lalu mendesah. Argh! Beraninya laki-laki licik itu memintanya untuk menjadi kekasihnya! Apakah aku terlihat sangat membutuhkan seorang laki-laki? Pikirnya sebal. Memalingkan wajah dari atap polos, ia beralih menatap cermin di meja riasnya saat ia memiringkan badan, memeluk guling dengan erat. Ia kembali mendesis. Jika saja ia memiliki kekuatan supranatural, ia akan membunuh Leo tadi malam. Sialan! Laki-laki pecundang itu membuatnya tak bisa tidur sepanjang malam dan kini ia sangat mengantuk, padahal ia harus pergi ke rumah sepupunya, Omar, karena ia telah berjanji akan menjaga Jeje dan Saif, selama Laila pergi ke rumah sakit untuk mengunjugi seorang temannya yang melahirkan. Alya melirik jam dinding yang mengantung di atas pintu kamar mandi. Jam tujuh pagi. Argh! Alya melempar selimut dan bantalnya dengan kesal. Ia memiliki waktu satu jam untuk bersiap
"Al.""Yes, baby?"Mereka sedang menunggu adonan pizza itu untuk mengembang. Sambil menunggu, Reno memotong beberapa sayuran seperti permintaan Jeje dan Saif."I'm not baby! Daddy said I am big boy!" Jeje membantah dengan tegas. Reno dan Lana juga siska yang mengawasi dari kejauahan hanya bisa menahan tertawa.Alya hanya bisa menggelengkan kepalanya, "Okay, big boy, what do you want?" jawabnya lalu mendesah. Semoga permintaannya lebih masuk akal."Can you play me some song?" Jeje melihat Alya dengan tatapan memohon."What song?""Daddy's song!" Jeje berseru. "Yey!""What's daddy's song?" Alya menatap Jeje bingung. Tidak mungkin anak sekecil Jeje menyukai musik rapper, 'kan? Entahlah, siapa yang tahu?"Its daddy's!" Jeje berkata dengan tegas.Alya menatap Reno, mungkin Reno memiliki koleksi daddy's yang dimaksud
Sh*t. Maki Leo dalam hati. Umpatan itu keluar begitu ia melihat Alya dan Reno berduaan di dalam dapur. Ingin sekali rasanya ia menyeret Alya keluar dari sana atau lebih baik lagi jika ia menyingkirkan Reno dari hidup Alya. Selamanya. Hal itu akan lebih masuk akal. Menahan emosi yang baru saja ia kenali sebagai kecemburuan, Leo menaiki anak tangga dengan langkah panjang. Dua anak tangga dalam sekali langkah. Dengan empat kali langkah ia sudah berada di tengah-tengah tangga. "Leo?" Menyadari hanya dirinya yang kemungkinan besar bernama Leo di kafe itu, Leo menghentikan langkah panjang kakinya, ia memutar kepalanya sedikit untuk melihat wajah si pemilik suara yang asing. "Ya Allah, kamu beneran ternyata?" Perempuan berhijab yang mengenakan terusan berwarna abu-abu dan sedikit warna hijau dan putih pada motif yang tersebar merata di gaun panjang itu tampak terkejut. Tentu, melihat Leo di hari kerja pada jam-jam kantor adalah hal yang luar b
"Ehem!" Reno berdehem, "Mbak, mbak pacaran sama orang itu?" Tanya Reno yang begitu penasaran. Perasaannya campur aduk. Saat ia melihat dengan mata kepalanya sendiri Alya duduk di pangkuan Leo tanpa membuat keributan, ia mulai menyadari, mungkin Alya memang tak terjangkau olehnya. Alya tersentak dengan pertanyaan Reno, "Kenapa, Ren?" Tanya Alya tertawa canggung. Ia sangat berharap Reno tuli dan buta beberapa saat yang lalu atau pegawai kesayangannya itu akan menjadi saksi kunci atas runtuhnya tembok harga diri dan pertahanannya. Reno tahu benar, sikap salah tingkah itu bisa menjadi bukti yang kuat atas pelbagai hipotesa yang ada di dalam benaknya saat ini. "Nggak papa, kalau udah minta tolong diberesin," Reno akhirnya tak berani mengungkapkan isi hatinya. Meski ia sangat ingin tahu. Mungkin karena ia sebenarnya takut, takut jika jawaban Alya sama seperti yang ia pikirkan. Alya menjalin hubungan romantis dengan laki-laki blasteran itu!