Share

BAB 1 - Kenapa Harus Dia?

Mili cemberut kesal setelah bel pulang sekolah berhasil menghilangkan bayangan Bimo, kakak kelas tiga, gebetan yang hampir dua tahun digebet dengan penuh rasa kagum dari benaknya. Sudah menjadi ritual, membayangkan hal-hal indah bersama Bimo saat pelajaran terasa membosankan. Dengan cepat dia membereskan buku-buku, memasukan satu-persatu ke dalam tas secara asal, lalu mengambil cardigan kesayangannya dari sandaran kursi dan memakainya. Cardigan berwarna merah mudah dengan renda yang terjahit di bagian kerahnya. Terdapat sulaman berbentuk kupu-kupu di kedua sakunya. Oleh-oleh dari sang Papa yang minggu lalu baru kembali dari Sidney.

Oh, damn, kenapa tugas hari ini banyak banget, sih? Artikel bahasa Indonesia, makalah fisika, tambah lagi tugas matematika buat besok belum selesai. Gue kan sibuk mau ada casting weekend ini.” Mili mengambil sisir dari dalam tas, menyisir rambut sebahunya dan memasang hair roll tepat di poni ratanya.

Karina yang duduk di sampingnya hanya bisa menahan tawa. Matanya fokus menatap hair roll. “Udah ributnya nanti aja. Mending sekarang kita tagih traktiran ke Abdul. Setuju, nggak? ”

“Kenapa nggak besok aja? Pas kita lagi latihan teater. Kan biar dia rugi bandar. Soalnya semua anak-anak teater harus ikut ditraktir. Saatu tahun sekali lho, Kar. Dan mungkin bakal jadi ujian terhebat buat dia juga. Lo tahu kan Abdul pelitnya kayak apaan.”

“Itu sih kamu aja, Mil, yang punya dendam gara-gara dua bulan lalu dia memperlakukan hal yang sama ke kamu. Kalau aku ya nggak sekejam itu juga. Cuma mau iseng doang. Bikin dia deg-degan, kayaknya asyik.” Seketika Karina bisa membayangkan ekspresi wajah Abdul yang ditodong untuk traktir anak satu tim. “Lagian kalau dipikir-pikir, nggak tega juga kali ngerjain Abdul sampai kayak gitu.” Ponsel Karina bergetar tepat ketika Karina mengucapkan nama ‘Abdul’.

Bingo! Gara-gara dia, gue terpaksa traktir semua anak tim. Bahkan, asal lo tahu, gue juga mau nggak mau bayarin makan dan minum para Geng Udik. Iww! Gimana gue nggak dendam?” Mili masih bisa membayangkan betapa kesalnya dia saat itu.

Lengan Karina menyikut Mili pelan. Kepalanya menoleh ke sekeliling kelas. “Mil, please, berhenti nyebut mereka dengan sebutan Geng Udik. Kamu nih, kalau ada dari mereka yang denger gimana?”

“Bodo amat, gue nggak ngerti kenapa mereka bisa masuk tim teater kita. Akting nggak bisa, nyanyi apa lagi. Kalau disuruh ngutarain pendapat, cuma senyum-senyum nggak jelas. Gue paling sebel sama orang kayak gitu. Pacar lo tuh terlalu baik. Harusnya waktu audisi, tolak aja mereka. Kita nggak butuh anggota kayak mereka. Cuma menuhin tempat latihan.”

Mili selalu anti untuk berdekatan dengan kelompok kutu buku di sekolah. Baginya, kelompok kutu buku itu mahluk-mahluk aneh yang punya dunia sendiri. Menganggap, apa yang mereka lakukan tidak jelas dan annoying. Apalagi, saat mendengar pengumuman mengenai anggota baru tim teater dan mereka masuk di dalamnya 8 bulan lalu.

Setelah membereskan segala macam perintilan, Mili dan Karina bergegas keluar dari kelas, berjalan menuju tempat parkir. Sesuai dengan rencana mereka untuk mengerjai Abdul.

“Karina!” Seseorang tampak berlari kecil berusaha menghampiri, membuat langkah Karina dan Mili terhenti.

Oh my god.” Mili berdecak tidak percaya.

“Tiara?” Karina menyambut dengan seulas senyum ramah yang khas.

Napas cewek itu terengah-engah. Kemeja putih kebesaran yang dikenakannya keluar berantakan dari rok di bawah lutut. Sangking panjangnya, rok abu-abu itu terlihat mendekati betis, membuat sepasang seragam itu kian kebesaran.

“Besok latihan, kan?” tanya Tiara sambil sesekali membenarkan kemejanya. Sepertinya dia sangat sadar dengan penampilannya sekarang.

Mili bersedekap. Dia mengeluarkan tawa kecil. “Memangnya lo nggak lihat jadwal di Mading? Bukannya lo anak Mading ya? Di situ udah jelas jadwal latihan tim kapan aja.”

“Mil, ah.” Mata Karina melirik Mili, membuatnya berhenti berbicara dengan nada menggerutu seperti itu. “Iya, besok ada latihan, Ra. Aku denger dari Roni kamu sama teman-teman kamu kasih rekomendasi cerita, ya? Nggak sabar buat rapait bareng-bareng besok.”

Tiara mengangguk semangat. “Ceritanya seru dan kayaknya nggak begitu rumit buat persiapannya. Acara kelulusan anak kelas 3 kan tinggal empat bulan lagi. Jadi...”

Sorry, bisa nggak jelasinnya besok aja? Gue sama Karina mau balik sekarang nih,” potong Mili tanpa basa-basi.

“Maaf ya. Aku cuma mau pastiin aja kalau besok beneran ada latihan, Mil. Soalnya mau disesuain sama jadwal rapat anak Mading.” Tiara tersenyum tidak enak.

“Nggak apa-apa, Ra. Kan memang sering batal juga latihannya. Aku aja kadang bingung kok. Jadi, besok jangan lupa datang latihan ya!”

“Kalau gitu, aku balik ke ruang Mading deh.” Tiara membalikan badan sambil melambaikan tangan, kemudian lari menjauh. Sekejap menghilang di ujung koridor.

Mili menggeleng, “Panjang umur banget! Baru kita ngomongin soal Geng Udik, eh, muncul salah satunya. Iww banget!”

“Udah, orangnya juga udah nggak ada. Masih mau nggak ngerjain Abdul? Atau mau ngomongin soal Geng Udik itu terus?”

Tangan Mili menarik lengan Karina dan mengajaknya melanjutkan perjalanan. “Abdul lah! Gue harus bisa bales dendam sama tuh anak!”

Tim teater sering mendapat jadwal tampil di banyak acara sekolah. Bahkan mereka juga sering ikut perlombaan dan telah memborong banyak piala. Bisa dikatakan tim teater SMA Primadani adalah salah satu esktra kulikuler andalan sekolah yang menghasilkan pundi-pundi uang juga penghargaan.

Tidak sedikit dari mereka yang memengincar bersekolah di sini untuk mendalami bakat akting. Apalagi sekolah ini dikenal sebagai sekolah bertaraf internasonal dengan akreditasi A. Tidak ada yang menolak untuk bersekolah di sini kecuali mereka yang tidak memiliki nyali untuk berhadapan dengan sistem pertemanan yang luar biasa berat.

Mili menjadi salah satu anggota tim yang wajib diikutsertakan di setiap penampilan karena bakat aktingnya yang memukau. Sejak masuk ke sekolah ini, Mili sudah sering menjadi pusat perhatian. Mili pernah menjadi kandidat sepuluh besar salah satu ajang pencarian model di salah satu majalah ternama ketika dia masih duduk di bangku SMP. Dan inilah yang membuat Mili selalu percaya diri setiap tampil. Dia juga pernah membintangi sebuah iklan makanan ringan yang membuat banyak mata akan familiar ketika melihat wajahnya.

Kalau kata para senior, Mili ini calon the next Vanessa Avrilia, cewek cantik yang tahun ini akan lulus dari sekolah. Vanessa sendiri sudah dikontrak oleh sebuah agensi ibu kota dan siap menjadi aktris papan atas. Bedanya, bila Vanessa memiliki perawakan campuran Jawa dan Belanda, Mili asli orang Indonesia dengan darah Sunda. Cantiknya, cantik khas gadis Kota Kembang.

Sedangkan Karina lebih suka berada di balik layar. Meski begitu, Karina juga menjadi salah satu anggota terpopuler tim. Kemampuannya dalam bidang fashion dan memoles make up tidak usah diragukan lagi. Baik untuk para pemain perempuan mau pun laki-laki bisa diatur oleh Karina. Terkadang Karina juga membantu bagian dokumentasi.

“Oh ya, sebenarnya gue masih penasaran sama kasus kostum terbakar itu, Kar. Serem juga lho kalau dipikir-pikir.” Mili berbisik sambil menunggu Abdul di parkiran sekolah.

Karina mengangguk setuju. “Iya seram, Mil. Kayaknya baru kali ini ada kejadian kayak gitu deh di tim teater. Maksudnya di angkatan sebelum kita perasaan baik-baik aja. Harusnya sih kita cari tahu, cuma supaya anak-anak nggak heboh dan ketakutan, Roni minta buat biasa aja. Katanya, lebih baik nggak usah dibahas lagi.”

“Amit-amit deh kalau sampai kejadian ke gue. Pantesan waktu itu perasaan gue nggak enak dan grogi. Roni cuma ngomong gitu doang? Siapa tahu yang bakar kostum itu punya niat jahat sama dia. Itu kan kostum punya dia. Udah termasuk perbuatan kriminal kalau dipikir-pikir lagi malah.” Mili menepuk-nepuk keningnya sendiri.

Karina mengoprek ponselnya, mencari kontak Roni. “Duh, ini kenapa lagi Roni nggak bales-bales chat. Tumben banget.”

“Kar, jangan-jangan Roni.....”

“Jangan-jangan apa?”

“Siapa tahu ada hubungannya sama kostum kebakar kemarin.” Mili menatap serius Karina. “Siapa tahu Roni diculik atau....”

“Mil, nggak usah mikir yang macam-macam. Kamu kebanyakan nonton sinetron deh kayaknya.” Karina menahan tawa. “Udah ah, aku mau samperin Roni. Kayaknya dia masih ngumpul sama anak-anak basket. Tuh Abdul tuh. Dadah, Mili!”

****

Koridor lantai dasar sekolah masih ramai dengan anak-anak yang asyik dengan aktivitas selepas sekolah. Beberapa di antaranya terlihat berkumpul bersama untuk nongkrong sambil membicarakan banyak hal. Ada yang dengan santai memantul-mantulkan bola basket berwarna merah bata ke lantai, ada yang sibuk membaca komik sambil menikmati minuman bersoda dengan rasa caramel, dan ada juga yang sibuk bermain dengan laptop menikmati fasilitas WiFi sekolah. Di antara mereka, terdapat Roni yang sedang meluruskan kakinya dengan duduk di lantai, bersandar pada dinding. Seragam kemeja putih yang dikenakannya terlihat sedikit kebesaran di tubuhnya yang jangkung. Karena tubuhnya yang jangkung pula, bahu Roni tampak sedikit bungkuk.

“Roni!” Karina muncul dari sudut lapangan, tidak jauh dari koridor lantai dasar. Sudut lapangan itu memiliki pintu yang menjadi salah satu jalan menuju tempat parkir motor. Dia berlari kecil, membuat rambut panjangnya ikut berayun mengikuti gerakan tubuhnya.

Roni melambaikan tangan. Cowok berambut cepak, hidung yang setengah mancung, dan bibir yang tebal itu meminta Karina untuk berhenti berlari, memberi isyarat bahwa dia lah yang akan menghampiri Karina. Dia beranjak berdiri, berjalan pelan menghampiri Karina. Dengan lembut Roni menggenggam tangan Karina, mengajaknya duduk di salah satu bangku panjang yang terletak di depan kelas yang sudah kosong.

“Kok chat Rina nggak dibalas?” Mata Karina menyipit, mengamati ekspresi Roni. Cara Karina untuk membaca raut wajah Roni yang baginya mudah sekali untuk dibaca.

“Hahaha nggak usah pakai curiga, HP Roni mati, Rin.” Roni mengambil ponsel dari dalam saku celana. “Nih. Roni lupa bawa power bank.

“Nggak curiga ah. Jangan ge-er!”

Telapak tangan roni berusaha mengusap kepala Karina lembut. “Siapa yang ge-er? Rina aja yang nggak mau ngaku kalau takut Roni macem-macem. Apa yang Roni nggak tahu soal Rina? Eh ya, mana Mili? Nggak pulang bareng?”

Karina berusaha menghindar dari usapan itu. Menolaknya karena merasa risih. Tidak sedikit pasang mata yang sedang memerhatikan mereka. “Mili? Dia lagi jadi preman tuh.”

“Korbannya?”

Karina terkekeh, menyayangkan kenapa dia tadi harus pergi meninggalkan kedua orang itu. Pasti sekarang mereka sedang adu mulut. “Abdul. Dia lagi mau malak Abdul, buat minta traktiran. Balas dendam gara-gara Abdul malak dia waktu itu.”

“Mili memang nyeremin abis. Kayaknya cuma dia deh yang luarnya bak gadis sampul tapi kelakukan preman terminal. Oh ya, ngomongin Mili, kira-kira dia mau nggak ya dikasih peran pemeran pembantu?” Roni membungkuk, mengelus-ngelus dagu dengan ibu jari dan jari telunjuk bersamaan.

“Kenapa pemeran pembantu? Bukannya akting dia kan yang paling bagus?”

“Soalnya Roni penginnya, Rina yang sekali-sekali jadi peran utama. Buat apa ada terus di balik layar? Cantikan juga Rina dibanding Mili.” Roni memandangi wajah Karina.

Tangan Karina menepuk lengan Roni. “Roni mau Mili ngambek sama Rina dalam empat bulan ke depan? Kayak yang nggak tahu Mili aja. Lagian akting Rina nggak sebagus dia. Rina nggak bisa akting, bisanya main sama alat-alat make up. Apa lah Rina ini dibanding Mili.”

Roni paham. Sejak awal Karina masuk menjadi anggota tim memang untuk menjadi staf make up dan kostum. Tetapi tidak ada salahnya juga kalau dicoba. “Kan tinggal diasah aja, Rin. Lagian kayaknya untuk pertunjukan selanjutnya, Roni mau ambil cerita yang nggak biasa kita ambil. Atau nge-remake film luar yang dijadiin drama. Ya tahu sendiri, Mili itu doyan pilih-pilih. Pertunjukan terakhir aja kita semua ngabisin waktu cuma buat debat sama dia soal cerita. Makanya, kalau dia protes lagi, mending masukin Rina jadi pemeran utama dan dia jadi pemeran pembantu.”

“Debat sama Mili itu kayak perang dunia, Ron. Nggak nggak lagi deh. Ya lihat besok aja, gimana respon dia. Semoga nggak pakai ngambek dan debat panjang lagi.” Rasanya mustahil untuk mulus mendapatkan respon positif dari Mili dan Karina sudah dapat membayangkannya. Hanya tinggal bagaimana dia dan anak-anak lain menghadapinya.

“Pokoknya kalau dia ngambek, kamu gantiin dia, Rin.” Roni tetap dengan pendapatnya. “Maksudnya, biar ada warna baru juga di teater kita. Jangan itu terus, itu terus.”

“Nggak mau. Roni mau bikin Rina sama Mili jadi musuhan?”

Roni mengedipkan sebelah mata. “Kenapa nggak?”

“Ish! Nyebelin banget! Pokoknya kalau sampai Mili ngambek sama Rina, kita putus!” Karina bersedekap.

“Ah, apaan? Rina malah belain Mili nih.”

“Makanya jangan macam-macam!” Tangan Karina menyentil kening Roni. “Roni kan ketua tim, harus bijaksana dong. Jangan ngasal dan malah bikin tim pecah.”

“Iya deh iya.” Tangan Roni kembali mengelus kepala Karina. Dan kali ini Karina tidak menolaknya.

Sekolah mulai terlihat sepi dan kosong. Hanya tersisa sedikit murid yang belum mau meninggalkan sekolah, seperti mereka yang sedang mengikuti ekstra kulikuler Paskibra. SMA Primadani memiliki dinding berwarna krem, sederhana dan klasik. Kusen-kusennya berwarna maroon, menambah kesan bersih. Pepohonan hijau besar tumbuh subur mengelilingi lingkungan sekolah. Angin bulan Maret tidak henti menerbangkan dedaunan kering yang rontok di lapangan.

Salah satu daun terbang, mengusap sepasang kaki di ujung lapangan. Roni dan Karina tidak menyadari bahwa ada seseorang yang sejak tadi memerhatikan kebersamaan mereka. Memang tidak aneh lagi bila selalu ada banyak pasang mata selalu memerhatika mereka karena Roni dan Karina menjadi salah satu pasangan populer di sekolah. Tapi tatapan yang dipasang oleh orang itu berbeda. Bukan tatapan yang sering diperlihatkan anak-anak lainnya, melainkan tatapan penuh luka dan tidak suka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status