Share

Kotak Itu Berbicara
Kotak Itu Berbicara
Author: Amelia N

PROLOG - Permulaan

Dari balik panggung, keriuhan terlihat jelas menghampiri sebuah ruangan yang berisi penuh sesak para pemain. Udara terasa lebih hangat dan wewangian yang tidak tahu dari mana saja asalnya menyerbak. Para pemain sibuk dengan tugas dan pekerjanya masing-masing. Ada yang terus memoles wajah dengan polesan makeup, berbagai macam warna eye shadow terlukis di kelopak mata, dipaduk dengan warna lipstick nyentrik yang membuat bibir terlihat lebih tebal, sekaligus menyita perhatian. Ada juga yang terlihat sibuk membenarkan kostum, memastikan seluruh bagiannya menempel sempurna pada tubuh. Serta, ada juga yang tampak tidak berhenti membaca skrip, mengulang dialog demi dialog, menghafalnya baik-baik.

 “Duh, ini lipstick-nya udah hilang lagi aja warnanya. Mau berapa kali di-touch up, coba? Jangan minum terus dong, Mili!” Cewek berseragam putih-abu dengan rambut panjang yang dibiarkan terurai itu menggerakan tangannya, mengoleskan kembali lipstick pada bibir tipis di hadapannya. Sang pemilik bibir itu terlihat pasrah, mengikuti apa yang baru saja dia dengar. Dalam waktu singkat, bibir itu kembali berwarna, warna merah cabai.

Sambil memandangi cermin, Mili menegakan tubuhnya yang sedari tadi duduk, membuat tubuhnya lebih relaks. Sesekali dia mengipaskan kipas lipat bermotif batik ke wajahnya, lalu membenarkan rambut lurus sebahunya yang berwarna hitam berkilau, dan mengelap butiran keringat yang tidak berhenti muncul dari pori-pori di keningnya.

“Gue grogi, Karina. Nggak tahu kenapa perasaan gue kok hari ini nggak enak aja gitu.”

“Ya tapi nggak usah minum lagi, deh. Entar pas di panggung malah mau ke toilet gimana? Lagian tumben banget pakai grogi segala. Biasanya paling tenang dan semangat. Ingat, kamu nggak mungkin bisa ke toilet selama di panggung.” Karina memasukan satu-persatu make up brush ke dalam pouch.

Dia meminta Mili untuk berdiri, membantu membenarkan kebaya berwarna merah khas peran Bawang Merah yang digunakan Mili. Kebaya penuh brokat yang cantik, dengan gemerlap dari mute-mute berbentuk berlian terjahit di antara brokat tersebut, membuatnya terlihat sangat pas dikenakan oleh Mili yang memiliki postur tubuh langsing. Kesan anggun terasa sekali ketika melihatnya secara keseluruhan. Tidak banyak kipas angin yang berada di balik panggung, hanya ada dua dan ditaruh di sudut-sudut ruangan. Membuat Mili tidak juga berhenti menggerakan kipas di tangannya.

“Kayaknya ada yang salah deh sama hari ini. Grogi gue kali ini beda, Kar. Mana panas banget pula. Bikin gue jadi tambah haus dan pengin minum terus. Eh ya, lima menit lagi mulai nih. Si Roni mana, sih? Kok nggak kelihatan dari tadi?” Bola mata Mili mengamati seluruh bagian ruangan.

Karina membenarkan headband merah bermotif polkadot di kepalanya sambil memandangi cermin. “Dia lagi ke kantin. Katanya sih mau beli permen karet. Dia kan gitu kalau udah nervous. Eh sini deh, Mil, aku kayaknya perlu tajemin eye liner kamu lagi. Kalau antagonis kan harus lebih tajam.”

“Cowok lo bisa nervous juga? Biasanya dia kan sok paling santai. Sok paling nggak gugup dan ngerasa semuanya bakal berjalan sempurna. Mana? Ini masih kurang tajam ya? Bawaan lahir, sorry.

“Hahahaha ya dia manusia biasa kali, Mil. Dia itu memang selalu gitu kok, cuma nggak ketahuan aja. Sini, harus tunduk sama tukang make up!” Karina menarik wajah Mili, mengambil eye liner hitam, menajamkan sudut mata Mili. Membentuk garis lengkung yang lebih tebal dari sebelumnya.

Sementara itu, suasana aula SMA Primadani sejak tadi sudah riuh dengan teriakan murid-murid. Hari itu aula yang cukup menampung 1500 orang tersebut terasa ramai dan penuh. Aula itu memang selalu penuh ketika pagelaran seni bulanan diadakan dari tim teater. Tidak hanya murid, guru-guru pun ikut tidak sabar untuk menonton dan memberi apresiasi. Mereka selalu semangat melihat hasil kerja keras dari anak didiknya. Para orangtua pemain yang juga ikut serta diundang duduk di kursi khusus dan terdepan.

Namun, di balik kemeriahan aula dan repotnya persiapan, seseorang terlihat berdiri tegak di ujung aula. Dia berpura-pura membaca lembaran skrip dan dari balik lembaran itu, terdapat wajah yang memerah dan air mata yang mengalir, menggambarkan kemarahan. Rasa kecewa berterbangan dari kerutan keningnya. Dia berusaha menutupi wajahnya, tidak mengizinkan siapa pun untuk melihat keadaannya yang tidak baik-baik saja. Hanya dia lah yang tahu segalanya. Hanya dia yang tahu alasan mengapa amarah dan kecewa itu datang menghampiri.

Tidak lama, semua pemain bersiap menaiki panggung yang terletak tepat di tengah aula. Roni, ketua tim mengarahkan semua pemain, dari posisi hingga mengingatkan kapan para pemain tersebut harus menaiki panggung. Dia juga mulai memimpin doa singkat agar acara hari ini berjalan sesuai harapan. Setelah yakin semua siap, Roni memberi kode pada mereka yang bertugas sebagai pengelola acara. Bunyi gamelan pun mulai terdengar, disambut sorakan, dan tepuk tangan meriah. Seolah para penonton memberi isyarat ‘selamat datang’, menyambut pagelaran yang sudah lama dinanti.

Semua anggota tim semakin sibuk. Sibuk mengatur, sibuk bebenah melakukan persiapan, sibuk memerhatikan jalannya pertunjukan, dan juga sibuk melakukan tugasnya masing-masing. Mereka selalu berusaha melakukan yang terbaik demi menampilkan penampilan yang maksimal.

Kecuali dia, orang yang sejak tadi berdiri di ujung aula. Dengan seragam putih-abu SMA Primadani, berdiri kaku dengan ekspresi dingin, hidung dan pipinya memerah berusaha menghentikan tangis, berusaha memperlihatkan bahwa dia kini baik-baik saja. Tangannya terus menggenggam lembaran skrip dan diam-diam meremuknya seiring degungan gamelan mengalun tegas bebarengan dengan teriakan penonton yang tidak henti terdengar.

Lama-lama rasa muak itu kembali terasa, membuatnya melangkahkan kaki ke toilet sambil sebelumnya cepat-cepat ke belakang panggung untuk mengambil sebuah pakaian. Kemudian dia merobek-robeknya dengan gunting secara kasar, membakarnya. Dia  meluapkan emosi dengan benda itu.

“KALIAN HARUS MUSNAH! PANGGUNG ITU NGGAK PANTAS BUAT KALIAN! MATI KAMU! HAHAHAHA.” Tawa penuh kemenangan keluar dari mulutnya. Tidak ada yang peduli padanya, semua terlalu sibuk dengan pagelaran seni bulan Februari.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status